Di tengah gemerlapnya nama Bali sebagai destinasi wisata dunia, tersembunyi kisah-kisah kehidupan yang unik dan sarat makna, terutama bagi mereka yang hidup sebagai bagian dari masyarakat minoritas. Salah satunya adalah umat Muslim yang tinggal di Bali sebuah pulau yang dikenal sebagai pusat budaya dan spiritualitas Hindu. Kisah mereka menjadi semakin menarik ketika bulan suci Ramadan bersinggungan dengan Hari Raya Nyepi, hari besar keagamaan umat Hindu yang menuntut keheningan total. Lalu, bagaimana rasanya menjadi Muslim yang menjalankan puasa di tengah sunyinya Nyepi?
Ramadan dan Nyepi: Dua Momentum Spiritual
Ramadan adalah bulan suci bagi umat Islam yang diisi dengan ibadah puasa, memperbanyak ibadah, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan. Sementara itu, Nyepi adalah hari raya umat Hindu di Bali yang diperingati dengan cara yang sangat khas: tidak menyalakan api atau listrik (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), tidak bekerja (amati karya), dan tidak bersenang-senang (amati lelanguan). Selama 24 jam penuh, pulau Bali seakan berhenti bernapas. Tidak ada kendaraan di jalan, tidak ada aktivitas di luar rumah, bahkan bandara pun tutup. Ketika dua hari raya ini berdekatan, atau bahkan jatuh pada hari yang sama, masyarakat Bali dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat nilai-nilai toleransi antar umat beragama.
Menjadi Muslim di Pulau Dewata
Populasi Muslim di Bali memang tergolong kecil dibandingkan dengan mayoritas Hindu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sekitar 13% penduduk Bali adalah Muslim, sebagian besar berasal dari keturunan pendatang, seperti Bugis, Sasak, dan Jawa. Mereka tersebar di beberapa wilayah seperti Denpasar, Buleleng, dan Jembrana, serta tinggal dalam komunitas-komunitas yang relatif harmonis. Meskipun minoritas, umat Muslim di Bali telah terbiasa hidup berdampingan dengan damai bersama umat Hindu. Mereka belajar memahami ritus dan tradisi Hindu yang begitu kental dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Salah satunya adalah saat menyambut datangnya Nyepi.
Puasa dalam Kesunyian Nyepi
Ketika Nyepi dan Ramadan bertepatan, umat Muslim di Bali menjalani puasa dalam suasana yang sangat tenang. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada kebisingan, bahkan suasana masjid pun menjadi lebih sepi karena pengeras suara tidak diizinkan menyala selama Nyepi. Namun, ini bukan berarti ibadah tidak bisa dilakukan. Umat Muslim tetap bisa melaksanakan salat dan tadarus, meski harus dilakukan dengan volume yang pelan dan penuh kehati-hatian. "Biasanya kami sahur dengan penerangan seadanya, menggunakan lilin atau lampu kecil agar tidak terlihat mencolok. Adzan Subuh pun kami kumandangkan dengan volume rendah, bahkan kadang hanya dari dalam masjid," ungkap Pak Jamal, seorang takmir masjid di Denpasar. Bagi sebagian besar umat Muslim, kondisi ini justru memberi suasana batin yang khusyuk dan damai. "Nyepi seperti memberi ketenangan tersendiri saat menjalankan ibadah Ramadan. Tidak ada hiruk-pikuk dunia, hanya fokus pada ibadah," tambahnya.
Toleransi yang Dijalani, Bukan Sekadar Dikatakan
Keunikan ini tidak hanya terjadi di kalangan Muslim, tetapi juga di kalangan umat Hindu. Banyak dari mereka yang memahami kebutuhan ibadah umat Muslim selama Ramadan. Dalam beberapa kasus, pecalang petugas keamanan adat Bali dengan bijak mengizinkan umat Muslim untuk tetap beribadah asalkan tidak mengganggu kekhusyukan Nyepi. "Kalau ada umat Muslim yang mau ke masjid, asal jalannya pelan-pelan dan tetap menghormati Nyepi, tidak masalah. Kita semua hidup bersama, harus saling jaga," ujar Made, seorang pecalang dari kawasan Buleleng. Bentuk toleransi ini tidak hanya terlihat dalam ibadah, tapi juga dalam kehidupan sosial sehari-hari. Tak jarang, umat Hindu memberikan makanan berbuka puasa kepada tetangga Muslim, atau sebaliknya, umat Muslim membantu tetangga Hindu dalam persiapan menjelang Nyepi.
Hikmah di Tengah Perbedaan
Kehidupan Muslim minoritas di Bali, khususnya saat Nyepi dan Ramadan beririsan, menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk hidup rukun. Justru dalam perbedaan itulah tumbuh nilai-nilai saling menghargai, memahami, dan berbagi. Momen-momen seperti ini menjadi bukti nyata bahwa harmoni antarumat beragama bukanlah utopia. Ia adalah sesuatu yang bisa dijalani, dimulai dari hal-hal kecil dari sahur tanpa suara, tadarus dengan lirih, hingga senyum dan sapaan hangat antara tetangga yang berbeda keyakinan. Di Bali, pulau para dewa, suara Muslim minoritas tak hilang dalam heningnya Nyepi. Justru, dalam keheningan itulah, suara mereka terdengar lebih jernih suara tentang damai, toleransi, dan kasih antarsesama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI