Wacana pengembalian Ujian Nasional (UN) ke dalam sistem pendidikan Indonesia kembali menjadi topik perbincangan publik. Di bawah kepemimpinan Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, gagasan ini dihidupkan kembali dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitas UN dalam meningkatkan mutu pendidikan secara menyeluruh. Dalam pandangan Mu'ti, UN dapat menjadi instrumen pengukuran standar pendidikan yang komprehensif jika diterapkan dengan pendekatan yang lebih relevan, adil, dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik masa kini. Langkah ini memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat, para pendidik, serta pakar pendidikan, yang mencerminkan tantangan sekaligus peluang dari rencana ini.Â
Keputusan untuk mempertimbangkan kembali UN didasari oleh fakta penurunan kualitas pendidikan yang signifikan setelah penghapusan UN. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa skor literasi dan numerasi siswa mengalami penurunan pada tahun 2022 dan 2023, terutama di wilayah terpencil dengan keterbatasan akses terhadap sumber daya pendidikan berkualitas. Hal ini menguatkan kekhawatiran akan semakin besarnya kesenjangan pendidikan di Indonesia, baik dari segi geografis maupun sosio-ekonomi.Â
Sebagai alat penilaian nasional, UN sebelumnya berfungsi sebagai standar penilaian yang seragam di seluruh Indonesia, yang memungkinkan pemerintah untuk memantau dan membandingkan kualitas pendidikan di berbagai wilayah. Dengan tidak adanya UN, proses penilaian menjadi lebih subjektif dan bergantung pada kebijakan sekolah masing-masing, sehingga sulit untuk memastikan pemerataan kualitas pendidikan.Â
Penurunan skor literasi dan numerasi menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan sebelumnya. Standar pendidikan yang tidak seragam berpotensi memperparah kesenjangan, terutama di daerah-daerah terpencil. Oleh karena itu, wacana pengembalian UN dianggap sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan ini.Â
Menurut Dr. Harun Subrata, pakar pendidikan dari Universitas Indonesia, UN memainkan peran vital dalam memberikan tolok ukur objektif bagi pencapaian siswa, terlepas dari latar belakang geografis atau sosio-ekonomi mereka. Hal ini tidak hanya penting untuk menilai kualitas pendidikan di setiap provinsi, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan peluang yang setara dalam pendidikan.Â
Lebih dari itu, UN juga dianggap sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan pendidikan antarwilayah. Dengan adanya standar nasional yang seragam, pemerintah dapat memastikan bahwa siswa di daerah terpencil memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing dengan siswa di kota-kota besar. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pemerataan pendidikan yang telah menjadi salah satu tujuan utama pembangunan nasional.Â
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal 2024 mencatat bahwa 54% masyarakat mendukung pengembalian UN sebagai alat evaluasi akhir bagi siswa. Mereka menilai UN sebagai instrumen yang adil untuk mengukur keberhasilan siswa secara merata. Dengan kata lain, UN tidak hanya menjadi tolok ukur pencapaian individu, tetapi juga alat untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional.Â
Ketiadaan UN telah menimbulkan tantangan bagi para pendidik. Survei nasional terhadap guru pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 68% guru merasa kesulitan dalam melakukan penilaian yang konsisten dan objektif tanpa adanya standar nasional seperti UN. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kebijakan penilaian antar sekolah yang sering kali tidak seragam.Â
UN memberikan kerangka kerja yang jelas bagi guru dan sekolah untuk mengevaluasi kemampuan siswa. Dengan adanya standar yang seragam, proses pendidikan dapat lebih terarah, dan capaian siswa tidak hanya dinilai berdasarkan standar internal sekolah. Selain itu, UN mendorong siswa untuk menghadapi tantangan dengan standar yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan daya saing mereka di tingkat nasional dan global.Â
Para pendukung UN juga berpendapat bahwa ketiadaan standar penilaian nasional membuat pendidikan kehilangan arah yang jelas. Tanpa tolok ukur yang sama, sulit untuk menentukan apakah sistem pendidikan berhasil dalam mencetak generasi muda yang kompetitif dan adaptif.Â
Meski demikian, rencana pengembalian UN tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan penyempurnaan yang diperlukan. Salah satu kritik utama terhadap pelaksanaan UN di masa lalu adalah tekanan psikologis yang dirasakan oleh siswa. Oleh karena itu, implementasi UN yang lebih fleksibel dan berbasis kompetensi esensial menjadi solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan tersebut. Dalam hal ini, pendekatan berbasis penilaian kompetensi dan keterampilan berpikir kritis dapat menjadi alternatif yang lebih relevan. Dengan fokus pada pengembangan kemampuan siswa, UN tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, tetapi juga sebagai instrumen pembentukan karakter dan peningkatan daya saing siswa.Â