Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyebut Aceh dengan Bumi Tsunami itu Tidak Pantas

22 September 2017   12:06 Diperbarui: 22 September 2017   15:19 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memperkenalkan museum tsunami kepada anak. Doc.Pribadi

Oleh Tabrani Yunis

Seperti biasanya, setiap pagi aku berolah raga sekitar 30 menit untuk menjaga kesehatan tubuh. Adakalanya, aku berjalan kaki dan berlari-lari dengan tanpa menggunakan alas kaki, seperti sepatu arau selop alias sandal. Ya aku lebih suka berjalan dengan kaki telanjang  mengelilingi area bawah jembatan Pango yang terletak di desa Pango Raya, Banda Aceh itu.  

Kata banyak orang dan entah itu mitos,  olah raga dengan berjalan kaki tanpa alas kakai itu bagus untuk tidak terserang rematik. Makanya, dengan pengetahuan yang kurang soal itu, aku sendiri memang merasa lebih enak tidak menggunakan  alas kaki. Namun, tadi pagi, Kamis 21 September 2017, aku memilih  menggunakan sepeda sebagai moda olah raga dengan mengambil rute yang lebih jauh.  

Aku ingin mengayuh sepeda dari kediamanku di toko Balitaku Gallery yang sudah mengubah nama menjadi POTRET Busana itu, ke arah jembatan dan kemudian menuju pasar Beurawe. Lumayan jauh, tetapi sudah cukuplah untuk mengencangkan sedikit otot-otot di kaki, sembari merasakan hangat peluh yang mulai   membasahi baju kaos yang aku kenakan.

Ketika mendekati jembatan Pango itu, tiba-tiba sebuah bus Pariwisata melintas dan mendaki ke jembatan.  Sangatlah manusiawi ya, ketika ada orang atau mobil yang lewat, mata selalu saja menoleh. Begitu pula halnya dengan mataku. Kala itu mataku langsung tertuju kepada bus pariwisata itu. Nah, saat melihat bus, mataku tersangkut pada sebuah spanduk kecil dengan ukuran sekitar 1 meter yang menempel di badan bus itu. Di dinding sebelah kiri, ditempel sebuah spanduk kecil. Aku mengira itu aalah iklan berjalan seperti kebanyakan armada angkutan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan lain-lain. 

Ternyata itu bukan iklan, tetapi hanya spanduk yang mungkin sebagai tanda bahwa penumpang bus itu adalah para wisatawan yang datang ke kota Banda Aceh untuk berwisata. Ya, sekarang ini, terutama pasca bencana perdamaian, arus wisata di Aceh dikabarkan terus meningkat. "Setiap tahun jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke Aceh mengalami peningkatan. Pada Tahun 2016 ini sebanyak 2.154.249 orang wisatawan terdiri dari 76.452 orang wisman dan 2.077.797 orang wisnus,". Ya, syukurlah. Hitung-hitung, bisa menambah denyut perekonomian daerah ini yang kalau boleh dikatakan sedang sakit-sakitan.

Spanduk itu mengusik Nuraniku

Spanduk atau stiker yang ditempelkan di dinding mobil, di kaca atau dimana saja, selama ini adalah hal yang sudah lazim dilakukan orang. Ya hal biasalah. Namun, ketika mata dan mulut membaca tulisan yang ditulis di spanduk kecil di dinding bus pariwisata itu, sangat mengusik nuraniku. Bagiku cukup beralasan, ketika berkata, itu klaim yang kelewatan. Bayangkan saja, sebutannya " Bumi Tsunami". Wajar saja kalau di pikiran saya menggelayut sejuta pertanyaan semisal, apa yang ia maksudkan dengan bumi tsunami itu? Apakah ketika mereka memasang spanduk itu tidak melukai perasaan orang lain dan sebagainya. Pokoknya, sangat banyak pertanyaan yang kalau ditulis, akan menghabiskan banyak halaman dan membuat orang-orang akan kesulitan memberikan jawabannya. Apalagi perntayaan-pertanyaan yang diajukan bukan dalam bentuk multiple choice seperti di ujian nasional yang terus ingin dibunuh oleh orang-orang yang takut pada ujian nasional itu.

Ya, bagi saya menyebut " Aceh sebagai Bumi Tsunami" itu keterlaluan. Penetapan sebuatan bumi tsunami itu sesungguhnya memberikan makna yang bercabang-cabang, sesuai dengan kemampuan orang mencerna dan memahami. Tentu bagi aku yang masih terlalu pendek antenna pemahaman, sebutan Aceh sebagai bumi tsunami adalah sebuah tindakan yang mengusik tanah psikologiku. 

Bagiku, tsunami itu adalah sebuah bencana yang datang tiba-tiba dan tidak dikehendaki kehadirannya oleh manusia. Apalagi bencana itu adalah bencana dahsyat yang telah merenggut lebih kurang 200.000 jiwa dan menghancurkan semua sector kehidupan di daerah yang dihempas bencana itu. Walau benar bahwa Aceh dilanda bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 itu, tetapi karena itu adalah bencana yang memilukan, maka sebutan Aceh sebagai bumi tsunami adalah sesuatu yang memilukan. 

Betapa mengerikan makna yang akan muncul. Orang-orang bisa akan semakin takut ke Aceh, yak arena takut diterjang tsnami lagi. Jadi menggunakan sebutan tsunami pada kegiatan-kegiatan seperti ini, harusnya kita harus hati-hati dan bahkan ekstra hati-hati, karena bisa merugikan sebuah daerah. Walau barangkali maksud hati ingin membantu Aceh, tetapi secara factual akan merugikan Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun