Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Millenials dan Prespektif yang Harus Diubah

1 April 2021   18:45 Diperbarui: 1 April 2021   18:51 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada surat yang ditulis oleh penyerang Mabes Polri, ZA yang ditemukan di rumahnyadi Ciracas menyebutkan bahwa selain ZA memohon maaf kepada orangtuanya, dia juga sempat untuk mengingatkan mereka untuk tidak berhubungan dengan Bank termasuk tidak perlu aktif di Daswis (Dasa Wisma) suatu bentuk kegiatan yang dikoordinir RT atau RW setempat. Menurutnya, kegiatan ini sama saja dengan berhubungan dengan pemerintah yang merupakan tougut (sesat)

ZA juga menyinggung Ahok dalam surat wasiatnya. Menurutnya jangan berhubungan dengan beberapa pemimpin kafir seperti Ahok. Isi surat ZA ini hampir sama dengan surat wasiat Lukman yang merupakan pelaku pengeboman gereja Katedral Manado. 

Mereka berdua sama sama tidak setuju dengan adanya bank karena ribha. Ketiganya (termasuk istri Lukman) merupakan kaum millennial yaitu generasi yang lahir pada rentang tahun 1990 -- 2000. Generasi ini punya ciri adaptif terhadap teknologi dan punya prespektif kehidupan yang praktis yang mungkin berbeda dibading generasi sebelumnya.

Jika kita perhatikan sekarang ini perbedaan (baca : kebhinekaan) dilihat secara berbeda oleh dua generasi yaitu generasi Millenilal (generasi Y) dan generasi Z. Mereka besar pada era demokrasi dimana kebebasan mendapat informasi dapat diraih dengan mudah melalui teknologi. Mereka tidak penah merasakan bagaimana di masa lalu dimana teknologi adalah satu kemewahan dan kondisi informasi tidak secanggih dan secepat sekarang. 

Pada masa mereka besar juga sangat dekat dengan agama yang sering dipolitisasi melalui strategi politik identitas. Akibatnya cara berfikir mereka seperti ZA dalam surat wasiatnya soal Ahok itu dimana cara berfikir berdasar politik identitas amat kental.

Sebenarnya tidak ada definisi tunggal soal politik identitas, tapi beberapa literature dan artikel menunjukkan bahwa politik identitas adalah suatu upaya politis yang berbasis cara berfikir berdasar kesamaan identitas. Semisal satu komunitas terbentuk karena mereka sama-sama beragama sama di satu wilayah yang sama. 

Mereka akan saling mendukung dan memperjuangkan kelompok mereka atau kelompok lain yang berbasis sama. Jika kelompok yang beridentitas sama ini sangat besar maka mereka akan punya pengaruh yang besar, dan sebaliknya, kelompok lain yang lebih kecil atau minoritas akan lebih tidak berdaya.

Cara berfikir ini akhirnya masuk ke berbagai sendi kehidupan ; politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Sehingga kita bisa paham jika ZA maupun Lukman tidak setuju pada keluarganya yang berhubungan dengan bank. ZA juga menyoal Ahok karena dalam pertumbuhan dia sejak remaja hingga dewasa hingga dewasa (sekitar 2010 -- 2021) fenomena politik identitas sangat dominan di Indonesia.

Lalu apa yang bisa kita upayakan bersama untuk membuat bangsa ini bisa melewati ini semua ?  

Maka mungkin kita bisa mengajak generasi Millenials dan dan Z untuk mengubah prespektif mereka. Salah satunya dengan cara mengajak berbagai komponen untuk merenungkan kembali makna identitas keagamaan kita di ruang public. Ujaran dan narasi kebencian serta ekerasan harus dihentikan. Eksklusivitas mungkin juga harus dihindari agar semuanya sadar akan keberagaman yang kita jalani sebagai bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun