Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kaleidoskompasianensis

28 Desember 2021   18:00 Diperbarui: 28 Desember 2021   18:12 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(diolah dari kompasiana.com)

words like violence
break the silence

Enjoy the Silence - Depeche Mode

Perasaan berdebar-debar ketika ikan merah bermata belok yang seumur hidup baru pertama kali saya lihat, direbus lalu ditaruh di piring berhias bunga botan (Paeonia suffruticosa), dilumuri saus encer rasa manis berwarna merah muda, kemudian beberapa iris shouga (jahe) ditaruh di atasnya. 

Maklum waktu itu saya baru datang di Jepang, dan belum banyak tahu tentang masakannya. Belakangan saya tahu bahwa ikan itu namanya kinmedai, dan masakan bernama kinmedai-no-nitsuke.

Meskipun masakan rasanya enak, namun karena bentuk ikannya "menyeramkan", maka saya cukup puas untuk menikmati/memakannya sekali-sekali saja. Toh masih ada makanan lain yang lebih saya suka, dan relatif mudah ditemukan di warung.


Mungkin begitu analoginya ketika saya pertama kali mengunjungi laman kompasiana.

Akun pertama saya buat pada tanggal 1 Juli 2017. Entah kenapa pada awal Februari 2018, tiba-tiba tidak bisa masuk (password tidak bisa diterima). 

Waktu itu saya mengirim surel ke alamat yang dicantumkan pada petunjuk penggunaan kompasiana. Akan tetapi karena masih tetap mengalami masalah login, maka dengan sukarela alias tanpa paksaan (tentu dong, lagipula gratis kan), saya membuat akun lagi pada tanggal 9 Februari 2018. Akun tersebut masih bisa digunakan sampai sekarang.

Seperti tahun lalu, kompasiana merilis kaleidoskop untuk tahun 2021. Kita bisa mengecek berbagai macam pencapaian selama kurun waktu 11 bulan.

Saya bukan orang yang cakap melakukan segala sesuatu. Sehingga tidak perlu diragukan lagi, tidak ada bahan cerita untuk menuliskan sebagai pencapaian atas hasil dari kaleidoskop.  

Secara umum, kaleidoskop merupakan sarana atau alat pembantu untuk mengingat kembali peristiwa yang pernah terjadi. Apakah itu peristiwa tentang keberhasilan atas usaha tertentu, mungkin kegagalan, maupun perubahan besar terjadi termasuk yang pernah kita alami. 

Pada kaleidoskop, pasti ada peristiwa yang membuat kita tersenyum dan tertawa, namun ada juga peristiwa yang membuat kita sedih.

Tentu maksudnya bukan hanya kaleidoskop kompasiana saja. Ada juga yang lain, misalnya kaleidoskop kehidupan.

Bagi saya, kaleidoskop mempunyai dua arti. Pertama, merupakan bahan untuk perenungan. Kedua dan ini terpenting, melalui kaleidoskop saya bisa mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, atas segala berkat dan penyertaanNya. Baik ketika saya dapat tersenyum dan tertawa, maupun ketika menitikkan air mata.

Berbicara khusus tentang kompasiana, melalui beberapa tulisan kompasianer, saya membaca ada beberapa isu yang sedang terjadi. 

Oh ya, saya sudah cuti sejak minggu lalu karena rencananya mau pulang kampung untuk liburan Natal. Apa daya karena muncul omicron dan berhubung satu serta lain hal, maka tiket pesawat yang sudah ditangan dengan berat hati harus dibatalkan dengan membayar sejumlah denda administrasi. 

Cuti sih harus tetap diambil dan dinikmati dong. Sehingga saya mengisinya dengan "bermain" agak lama di dunia maya.

Saya tidak akan membahas polemik kompasiana lebih jauh. Alasannya, meskipun saya merasakan gundah gulana kompasianer yang sudah curhat, namun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di "dapur" kompasiana. Saya pun bukan Nostradamus, sehingga tidak bisa mengira-ngira atau meramal apa yang sedang dan akan terjadi.

Disamping itu, sampai sekarang saya belum juga paham makna dari semboyan "Beyond Blogging" yang tertulis di banner halaman muka kompasiana, dan bagaimana pelaksanaannya.

Mungkin karena menggunakan bahasa Inggris, sehingga saya tidak tahu apakah pasangan kata beyond dengan blogging itu merupakan sesuatu bermakna baik/positif atau tidak.

Mengapa bisa berpikiran seperti itu? Saya ambil contoh jika kata beyond dipadukan dengan hope yang merupakan kata bermakna positif, maka beyond hope bukanlah sesuatu yang mempunyai makna baik. Begitu juga kata beyond control, beyond grasp dan sebagainya.

Kalau maksudnya beyond blogging adalah interaksi selain tulisan, maka saya boleh jadi termasuk murid bandel.

Ada banyak alasan kenapa bisa begitu. Saya akan menyebutkan dua saja. Sebelumnya mohon perhatian, bisa jadi alasan ini terlalu konyol bagi Anda.

Pertama, sila percaya atau tidak, saya pernah mendapat wangsit bahwa ternyata saya termasuk keturunan Pithecanthropus malu-ensis. Kalau Anda belum tahu apa itu, terjemahkan saja sebagai orang pemalu, kadang malu-maluin.

Meskipun dalam pekerjaan mengharuskan hubungan dengan teknologi terkini (kalau kata anak Jaksel, cutting edge technology), namun dalam pertemanan saya masih sangat analogue. Artinya, saya masih memegang teguh falsafah pertemanan tradisional secara luring. Ini adalah alasan kedua.

Walaupun tidak ada niat sama sekali untuk mencari musuh, tetapi saya bukan penganut aliran seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Saya juga sadar hanya mempunyai kemampuan untuk memuaskan beberapa orang saja.

Sekali lagi, saya bukan orang yang cakap untuk melakukan segala sesuatu. Sehingga suatu hari saya pasti akan merasa bete, jemu, dan perasaan negatif lain. Kalau sudah begini, kemungkinan besar akan merembet kemana-mana termasuk pada pertemanan, jika saya harus berhubungan dengan banyak orang.

Karena keterbatasan itulah maka saya menganut falsafah, lebih baik mempunyai teman sedikit melalui cara-cara kolot. 

Saya bukan penulis, bahkan hobi juga bukan menulis. Meskipun bukan keturunan orang terkenal, namun saya tidak mempunyai falsafah agar nama bisa terus dikenang, seperti banyak dianut oleh kebanyakan orang.

Ada satu hal yang membuat saya memberanikan diri mendaftar dan mulai menulis di kompasiana. Saya hanya ingin bisa belajar dan terus belajar. 

Terutama ketika membaca beberapa artikel mengenai teknologi dan (budaya) Jepang, yang isinya membuat saya sedikit bingung. Jika menulis, maka saya bisa belajar. 

Saya tidak menganggap tulisan sebagai berbagi. Alasannya, diksi "berbagi" terlalu "mewah" buat saya yang tidak punya apa-apa (untuk dibagikan). Agar bisa berbagi, saya tentu harus punya sesuatu bukan?

Untuk menegaskan sekali lagi, "I write, therefore I learn", meminjam dan mengubah sedikit istilah yang dikatakan Descartes beberapa abad lalu. 

Akhir tahun bagi saya merupakan masa hening dan perenungan. Sehingga mungkin kata-kata, termasuk juga tulisan ini seharusnya tidak perlu dibuat. 

Karena menurut salah satu grup favorit saya Depeche Mode, melalui kutipan syair pada salah satu lagu diawal tulisan, kata-kata bak kekerasan yang bisa merusak kesunyian.

Izinkan saya menutup tulisan dengan peribahasa Jepang. Bunyinya, "kumo no ue wa itsumo hare". 

Arti harfiahnya, meskipun cuaca sedang buruk, namun di atas awan selalu cerah (baca: cuaca pasti bagus). Setelah hujan atau mendung berlalu, matahari pasti akan muncul memberikan sinarnya.

Meskipun ada hal yang terjadi tidak sesuai harapan saat ini, namun kita harus yakin bahwa hal baik pasti menanti setelah orang bisa melaluinya.

Saya tidak paham apa yang sebenarnya terjadi, namun itulah harapan pada kompasiana. Tentu ini juga harapan untuk rekan kompasianer.

Selamat menikmati liburan akhir tahun (bagi rekan yang sudah mengambil cuti), salam sehat, dan selamat menyongsong datangnya tahun 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun