Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Liburan Sambil Menonton "Yose" Rasa "Kai-dan" di Indonesia

16 Januari 2019   12:28 Diperbarui: 16 Januari 2019   20:00 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan di Yose (getnews.jp)

Cuaca langit di Tangerang cerah ketika pesawat Boeing 787 All Nippon Airways (ANA) yang saya tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan yang merupakan code sharing dengan Garuda Indonesia ini memakan waktu kurang lebih 8 jam, semenjak lepas landas dari Bandara Internasional Haneda di Tokyo.

Sambil berjalan setelah keluar dari pesawat, saya melepas jaket Uniqlo (brand pasaran yang murmer kalau di Jepang), karena suhu udara saat itu sekitar 30 derajat Celcius. Saya merasa sedikit lega setelah menginjakkan kaki di tanah kelahiran, karena bisa "melarikan diri" sejenak dari suhu dingin di Tokyo, dan terutama dari kesibukan sehari-hari di sana.

Selain untuk refreshing dan urusan keluarga, kepulangan saya kali ini sebenarnya juga ingin mengecek secara langsung bagaimana suasana di Indonesia selama 3 tahun ini, karena saya "pulang kampung" terakhir kali pada tahun 2016 yang lalu.

Sudah hampir seminggu saya di sini, dan ternyata keadaan tidak banyak yang berubah dibandingkan dengan 3 tahun yang lalu.

Maksud saya begini, kalau melihat harga-harga, menurut hemat saya juga masih masuk akal. Misalnya dengan uang sepuluh ribu, saya bisa membeli bubur ayam untuk sarapan. Bubur yang hangat dengan bumbu lengkap, dengan tambahan irisan cakwe serta sedikit daging ayam goreng, kacang kedelai goreng, krupuk, dan tidak ketinggalan sambal. 

Begitu juga dengan harga-harga lainnya, misalnya barang-barang kebutuhan rumah tangga, atau ongkos transportasi.

Tempat-tempat hiburan dan belanja bahkan bertambah banyak, seperti yang saya lihat di perjalanan dari bandara menuju rumah. Bahkan di tempat tinggal saya di daerah Depok pun, sudah ada satu tempat belanja yang baru saja dibuka untuk umum. 

Kalau saya mengunjungi pusat perbelanjaan, orang-orang padat berlalu lalang. Selain tentunya ada yang sekadar melihat-lihat (window shopping), ada juga kerumunan orang di tempat-tempat untuk makan, maupun orang yang mengantre untuk membayar, misalnya di konter pakaian.

Ada pusat perbelanjaan yang bernama Margo City di Depok. Saya ingat zaman masih SMA, tempat di mana Margo City sekarang berada dulunya dipenuhi pepohonan, dan kalau tidak salah ada danau buatan di sana. Daerah Depok sendiri saat itu amat sepi, sehingga orang-orang menyebutnya sebagai daerah "jin buang anak".

Sekarang, keramaian di Margo City (dan sekitarnya) bak Pasar Malam!

Jalan tol dalam kota pun banyak dibangun, terutama yang menghubungkan Jakarta ke kota penopang di sekitarnya. Pengalaman saya kali ini, dengan melalui  tol Antasari yang baru saja diresmikan sekitar September tahun lalu, maka perjalanan dari bandara ke rumah memakan waktu yang lebih singkat dari biasanya. 

Hal ini tentunya menggembirakan, sehingga saya bisa cepat sampai lalu beristirahat, karena duduk di kursi pesawat selama 8 jam adalah "siksaan" bagi saya.

Sebenarnya tak banyak kegiatan yang saya lakukan selama berada di Indonesia, karena untuk urusan acara keluarga pun, segalanya (misalnya memesan aksesori untuk hiasan ruangan yang digunakan, makanan, dan sebagainya) bisa dilakukan melalui online.

Saya banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Kegiatan yang saya lakukan antara lain beres-beres rumah, membaca buku koleksi maupun melewatkan waktu dengan menonton televisi, sambil berbincang dengan keluarga. 

Nah dari kegiatan-kegiatan itu, terutama dari menonton acara televisi, ada beberapa hal menarik yang saya temukan.

Seperti, saya baru tahu ternyata sinetron Dunia Terbalik dan Tukang Ojek Pengkolan menarik untuk ditonton. Keduanya mengangkat tema sederhana yang terkadang memang terjadi di masyarakat sekitar kita. 

Alur ceritanya yang menarik dan terutama mudah untuk dipahami, membuat saya terkadang tertawa (bukan tertawa sendiri lho) dan tersenyum.

Akan tetapi, yang paling menarik menurut saya adalah, acara pidato kenegaraan salah satu capres yang disiarkan oleh televisi beberapa hari yang lalu.

Dari hasil pengamatan saya tentang pidato-pidato yang disampaikan oleh kedua capres pada beberapa acara terpisah, saya melihat ada dikotomi (yang mencolok) dari esensi yang selama ini disampaikan kedua calon. 

Satu calon isinya tentang optimisme, sementara calon yang lain adalah tentang "menakut-nakuti" atau mungkin bisa saya katakan saja, isinya melulu mengenai pesimisme (disini saya tidak akan berbicara tentang validitas informasi data-data yang disajikan).

Saya tidak akan berbicara pidato yang membahas tentang optimisme, karena jelas kita semuanya pasti mempunyai optimisme, dalam segala hal. Menurut saya, lebih asyik kalau membicarakan orang yang hanya bicara tentang pesimisme. 

Kok bisa? Ya bisa dong! Salah satu sebabnya adalah, karena saya bisa "menikmatinya", persis seperti saya sedang menonton sinetron Dunia Terbalik atau Tukang Ojek Pengkolan itu. Levelnya hanya untuk "hiburan". Intermeso lah.

Tapi sewaktu melihat pidato kebangsaan itu, saya kok rasanya seperti sedang di Jepang sambil menikmati dua kesenian Jepang yang bernama kai-dan dan yose ya?

Begini alasannya.

Ketika isi pidatonya mengatakan Indonesia punah setelah 100 tahun, atau stok bahan bakar dan makanan yang kurang, atau kalau perang "pelor" cuma cukup 3 hari (walaupun menurut saya, hari gini negara lain juga ogah kalau perang "fisik" dengan dor-dor an), dan sebagainya, saya merasa kok rasanya isinya kebanyakan hal-hal yang bersifat "menakut-nakuti".

Sehingga, saya jadi ingat setiap musim panas di Jepang ada acara yang bernama kai-dan (atau kwai-dan). Dalam acara ini, ada beberapa orang yang menceritakan tentang pengalaman misterius (yang lebih bersifat klenik) misalnya bertemu atau diganggu setan dalam berbagai bentuk, yang membuat pendengarnya merasa "takut". 

Omong-omong, orang Jepang masih banyak juga yang suka hal-hal klenik seperti ini, dan ketakutan mendengar cerita-cerita itu lho!

Kalau berbicara kenapa acara seperti ini hanya ada pada musim panas, alasannya simpel saja. Karena tujuannya ya cuma itu tadi, membuat pendengar takut!

Sehingga, karena ketakutan, pendengar menjadi berkeringat. Dengan begitu, keringat ini diharapkan bisa menurunkan suhu tubuh. Hal menurunkan suhu tubuh ini penting, sebab musim panas di Jepang, rasa panasnya seperti kita berada di dalam sauna!

Saya tidak tahu persis, apakah tujuan dari pidato salah satu capres dengan menakut-nakuti itu, sama dengan cerita "kai-dan" di Jepang, yaitu untuk membuat pendengarnya berkeringat sehingga bisa menurunkan suhu tubuh?

Kalau itu tujuannya, saya berpikir bagus juga, karena memang "suhu" politik sudah mulai "panas". Sehingga perlu juga untuk paling tidak menurunkan sedikit suhu tubuh.

Lalu, bagaimana dengan "yose"?

Yose adalah tempat pertunjukan hiburan di Jepang, yang berpusat pada Rakugo (yaitu orang yang bercerita dengan isi cerita lucu, umumnya menceritakan kejadian yang diambil dari kehidupan sehari-hari, dari legenda dan sebagainya) dan beberapa pertunjukan hiburan lainnya.

Ada kesamaan antara yose dengan pidato kebangsaan yang disiarkan beberapa hari yang lalu.

Yose dan pidato kebangsaan itu sama-sama berisi cerita saja, seperti penutur Rakugo bercerita pada pertunjukan di yose.

Saya anggap sama karena tidak bisa dimungkiri juga bahwa "cerita" dari pidato tersebut bisa terjadi di mana saja, bukan hanya di Indonesia. Peristiwa yang diceritakan bisa juga terjadi di tempat/negara lain, bahkan di negara maju seperti Jepang (misalnya untuk cerita tentang orang yang gantung diri karena beban ekonomi atau kesulitan hidup).

Tapi sejujurnya, kesamaan antara yose dan pidato kebangsaan itu, ya cuma pada sisi keduanya sama-sama "cerita" saja.

Karena kalau bicara tentang kualitas "isi" dari ceritanya, yose lebih unggul karena dia bukan hanya berisi cerita-cerita saja. Penutur cerita Rakugo pada yose bertutur dengan alur cerita yang jelas, menggunakan tata bahasa dan kosa-kata yang baik. 

Terkadang, cakap membaca dan bertutur Bahasa Jepang saja belum cukup, karena penutur Rakugo terkadang menggunakan ungkapan yang jika pendengar tidak punya pengetahuan tentang hal itu, akan susah untuk memahaminya.

Pada akhir alur cerita yang dituturkan oleh Rakugo-ka (julukan bagi penutur Rakugo), biasanya ditutup dengan kesimpulan yang banyak berisi petuah maupun nasihat (pelajaran).

Berbeda jauh dengan pidato kebangsaan kemarin, di mana pada akhir pidato, saya pribadi tidak menemukan dan tidak bisa menyimpulkan apa tujuan dari semua cerita itu. Boro-boro menemukan petuah atau nasihat di sana. 

Saya juga tidak bisa fokus pada isinya, mungkin karena ceritanya kepanjangan, dan lompat sana-sini, seperti yang dituturkan juga oleh penggede PKS . Mungkin Sohibul penggemar yose (karena saya tahu dia pernah sekolah di Jepang), sehingga dia merasa pidato kebangsaan itu terlalu panjang. Karena dari pengalaman saya menonton yose, setiap pertunjukan dari para seniman yang tampil disitupaling pol berjangka waktu hanya 30 menit saja.

Tapi perbedaan yang paling mencolok, tidak seperti pidato kebangsaan, cerita yang disajikan pada yose bukanlah mengenai kalah dan menang. Dengan Yose, selain kita bisa mendapat hiburan (yang membuat hati kita terhibur tentunya), sekaligus kita juga bisa memetik pelajaran berharga yang dapat kita terapkan pada kehidupan sehari-hari. 

Seperti ketika saya pulang setelah menonton yose di Ikebukuro, mendengar cerita dari Ningen Kokuhou (Living National Treasure) yang bernama Yanagiya Kosanji. Saya pulang dengan hati senang dan penuh harapan baru. 

Begitulah sekelumit pengalaman liburan saya kali ini. 

Kegiatan untuk sisa waktu liburan saya di Indonesia akan ditambah dengan berbelanja. Karena saya harus membeli kopi Toraja kesukaan teman saya Yoshikawa dan Muramatsu, lalu sambal kesukaan Tsunekawa, maupun dodol durian kesukaan Nagai. Juga membeli kue kecil untuk dibagikan di kantor ke teman yang lain.

Dulu saya juga pernah membawakan rokok Gudang Garam untuk Arai-san, yang ketagihan rokok ini karena dia pernah tinggal di Pulau Jawa dalam jangka waktu yang lama, sewaktu dia mengerjakan proyek pemasangan microwave. Sayangnya dia sudah pensiun sekarang, dan saya sudah lama tidak ada kontak dengannya.

Yang pasti, tentunya saya juga akan bercerita dan terus mempromosikan Indonesia setelah kembali ke Tokyo. Supaya teman-teman saya juga mau mengunjungi, dan bermain kembali ke sini (bahkan kalau bisa, supaya mereka jadi repeater).  

Apalagi pada tahun-tahun kedepan, saya yakin Indonesia bisa lebih Maju dan berkembang dari sekarang, dan tidak akan pernah punah 100 atau bahkan 1000 tahun lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun