Mohon tunggu...
Tias Tono Taufik
Tias Tono Taufik Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Arsitektur Universitas Aisyiyah Yogyakarta

Jika seseorang hanya tahu apa yang dia ingin tahu, maka hatinya akan beku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sangat Mudah! Cara Mengetahui Kadar Intelektualitas Seseorang, Aibnya Terbongkar Semua!

29 Desember 2020   15:28 Diperbarui: 29 Desember 2020   16:24 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : guidelinesia.blogspot.com)

Intelektual adalah kemampuan sesorang dalam menerima informasi, berpikir, dan menjawab permasalahan yang terjadi. Bagaimana cara menakar kadar intelektualitas seseorang? Ini bisa kita pakai  untuk introspeksi diri dan juga bisa digunakan untuk menakar kondisi intelektualitas orang lain.

Kita mulai dengan hal yang sangat sederhana, untuk mengukur kadar intelektualitas seseorang dimulai dengan melihat sampai sejauh mana intensitas dia dalam mengatakan ‘pokoknya’ kalau ada orang yang sering mengatakan ‘pokoknya’ itu biasanya memiliki kadar intelektualitas yang rendah. Kata ‘pokoknya’ adalah sebuah doktrin atau mungkin juga dogma, tetapi yang lebih mungkin itu adalah akibat dia meyakini sesuatu tetapi dia tidak bisa mengajukan argumentasinya karena memang apa yang menjadi keyakinannya itu lemah atau salah. Setidaknya keyakinan Dia tidak bisa dipertahankan secara argumentatif, maka dia berkata ‘pokoknya’.

Cara terbaik kedua untuk menakar kadar intelektualitas seseorang adalah dengan mengkritiknya, jadi kritik itu sebenarnya sangat penting. Misalkan saya ingin berjumpa dengan seorang presiden dan di tengah jalan saya bertemu dengan seorang kawan, kemudian Dia mengatakan mulut kamu bau. Seandainya kritik itu saya terima maka itu akan baik banget buat saya, itu akan menyelamatkan muka saya di depan presiden, tetapi jika saya  menyerang balik dia dan marah, itu tidak akan menyelamatkan saya sama sekali. Jadi, kritik itu seringkali menyelamatkan seseorang dan siapapun yang dikritik kemudian dia menolaknya maka sebenarnya dia telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam kesesatan. Kita juga bisa melihat bagaimana cara dia bereaksi saat menghadapi kritik, manusia itu seperti air dalam bejana, semakin besar jiwanya semakin besar bejananya itu. Jadi ketika air itu ada dalam bejana yang luas kemudian dimasukkan satu sendok teh garam maka dia tetap rasanya tawar, kalaupun dia ditambahkan gula 1 sendok teh dia tetap tawar karena bejananya besar sekali. Ketika mendapatkan kritikan dia biasa-biasa saja dan terima saja tetapi tidak mengubah karakternya, tidak mengubah jiwanya, dan tidak mengubah moodnya. Begitupun ketika mendapatkan pujian dia biasa-biasa saja, orang yang jiwanya lemah itu adalah orang yang ada dalam air dengan bejana yang kecil, diberi garam sedikit langsung asin, dikasih gula sedikit langsung manis. Orang yang jiwanya kecil jika diberi kritikan dia marah-marah, dikasih pujian dia mudah sekali tersanjung. Jadi kalau ada orang yang mengkritik, sikapi itu secara positif, kritik itu mungkin saja menyakitkan tetapi itu sangat berguna dan sangat berfaedah. Orang yang dipuji terus-terusan akan hancur karakternya, orang yang dihina terus-terusan juga akan hancur karakternya.

Kemudian yang ketiga, dan ini saya pikir banyak sekali ada di Indonesia, bagaimana cara menakar kadar kualitas intelektualitas seseorang adalah dengan mengetahui bagaimana cara dia mengambil kesimpulan. Jadi, banyak orang-orang yang ngambil kesimpulan berdasarkan pengalaman pribadinya saja. Misalkan, kamu percaya tidak sama covid19? Tidak, banyak data orang yang positif di kota saya, tapi saya tidak pernah menemukan satu kali pun. Jadi data yang sudah diketahui dibantah oleh pengalaman pribadi karena tidak pernah melihat sama sekali. Jangan jadikan pengalaman pribadi  sebagai cara untuk mengambil kesimpulan akhir tetapi kalaupun ada orang yang melakukan seperti itu artinya orang itu memiliki kadar intelektualitas yang mohon maaf rendah. Dalam metodologi ilmiah, sebenarnya kita bisa menyimpulkan sesuatu dari pengalaman empiris, pengalaman pribadi, kemudian kita ambil kesimpulan dari situ bisa saja, tapi itu baru pengalaman 1 orang dan pengalaman itu disebutnya kasus bukan fenomena. Bagaimana cara mengukur fenomena  adalah dengan melakukan general, jadi dari banyak kasus kemudian kasus-kasus itu di telaah satu-persatu. Kalau ternyata kasus  dalam jumlah banyak menunjukkan karakter-karakter yang sama maka bisa diambil kesimpulan. kemudian tidak semua, tapi banyak sekali orang yang mengatakan misalkan, gila! orang ini cerdas banget mirip seperti pemikiran saya. Jadi menakar kecerdasan seseorang dilihat dari pemikirannya, sesuai dengan saya atau tidak. Orang disebut luar biasa karena secara pribadi cocok dengan pendapatnya, banyak orang-orang yang menakar segala sesuatu itu berdasarkan masalah pribadinya, dan penilaian pribadinya. inilah yang akhirnya memecah belah orang-orang di Indonesia atau bahkan di dunia. Misalkan orang-orang yang menganggap dirinya X atau Y itu hanya ingin mendengar ceramahnya dari ustadz B, tapi tidak mau dengar dari A, yang pengikut A hanya mau dengar dari A tapi tidak mau mendengar ceramah lainnya karena apa dan sebagainya. Akhirnya orang-orang ini terkotak-kotak, karena pengalaman saya pribadi yang bener itu apa sih? Saya ini apa sih? Dan lain sebagainya. Kadar intelektualitas yang rendah ternyata menghasilkan dampak yang sangat buruk yaitu perpecahan, bayangkan kalau orang-orang dengan kadar seperti itu jumlahnya banyak dan kita bisa lihat kondisi sekarang ini bagaimana.

Kemudian kita masuk yang keempat, cara melihat kadar intelektualitas seseorang  biasanya kalau orang itu sering menghakimi orang lain maka fix dia adalah orang yang memiliki kadar intelektualitas yang rendah. Misalkan begini, ah! apasih sok suci, munafik, kata-kata sok suci dan munafik adalah bentuk penghakiman kepada orang lain. Kita tidak pernah tahu orang itu munafik atau tidak, ada orang yang melakukan kebaikan, apakah dia munafik? apakah dalam hatinya sebenarnya pengen cari muka? bisa saja begitu, tapi bisa juga tidak. Maksudnya dalam hal ini adalah perkara gaib, perkara yang tidak mungkin kita ketahui niat orang itu, tapi kalau ada orang yang mengatakan seperti itu maka sebenarnya dia sudah membuka aibnya sendiri. Jadi begini, Misalkan ada gelandangan kurus di pinggir jalan kehujanan kemudian kita melihatnya dan merasa iba dan kasihan. Kenapa kita kasihan sama dia? Kita menakar kasihannya dia dengan membayangkan seandainya saya ada di posisinya, jadi referensi utama setiap orang untuk mengenali orang lain adalah dirinya sendiri. Misalkan saya membantu seseorang dan ada yang mengatakan hanya cari muka, sebenarnya darimana dia bisa menghasilkan kesimpulan itu? Karena kalau ada di posisi yang sama dia memang melakukan itu. Kalau ada di antara orang-orang yang menyebut kamu munafik gara-gara perilaku yang dia tidak tahu sebenarnya, maka camkan bahwa dialah yang munafik. Kenapa, karena dia akan melakukan itu kalau di posisimu dan kalau dibiarkan ini akan berlanjut pada siapapun yang mengkritik saya dia munafik, kafir, siapapun yang di luar kelompok saya dia tidak benar, antek asing dan sebagainya. Muncul pikiran pikiran semacam itu bukan gara-gara dia tahu bahwa musuhnya itu antek asing tapi dia tahu kalau seandainya saya ada di posisi itu dia akan menjadi antek asing. 

Sekarang kita masuk yang kelima, apa yang membuat seseorang itu ketahuan kadar intelektualitasnya adalah dengan bagaimana cara dia meluapkan kebenciannya. Saya pernah mengunjungi laman instagram kekeyi dan melihat komentar-komentar warganet ternyata banyak sekali hujatan, atau siapapun yang dibenci di Indonesia. Orang-orang yang membenci itulah yang jadi masalahnya, misalkan ada orang yang sok cantik, sok bijak, terus kalau dia sok bijak apakah dia menghasilkan inflasi? Tidak, kalau dia sok cantik apakah dia menghasilkan pengangguran yang luar biasa di negeri ini? Tidak. Lalu kenapa kita protes? Kita protes karena punya kebencian. Misalkan kita adalah gelas berisi racun, bagaimana cara mengeluarkan racun itu? Ya menumpahkannya, jadi kalau kita menumpahkan kebencian pada orang lain itu artinya dalam diri kita penuh racun, penuh kebencian, penuh rasa sakit atau penderitaan. Hanya orang yang menderita sakit yang menumpahkan kata-kata kebenciannya kepada pihak lain. Orang dengan intelektualitas tinggi itu susah untuk membenci karena dia mengerti pokok masalahnya dimana, sedangkan orang yang kadar intelektualitasnya rendah itu membenci untuk mengurangi beban tekanan batin yang ada dalam hatinya. Sidharta Gautama pernah mengungkapkan bahwa kebencian itu seperti kita melempar lahar panas ke orang lain, jadi sebelum orang lainnya kena, kita sendiri yang sudah terbakar. Kalau ada orang yang menjudge atau menghakimi orang lain dengan kata-kata yang kasar, siapapun dia, apapun gelarnya, kata-kata kasar itu menunjukkan bahwa memang jiwanya sedang kotor, sedang kasar, dan sedang rusak. Segelas susu hanya bisa menumpahkan susu, segelas anggur hanya bisa menumpahkan anggur, jadi apapun kata-kata yang dilontarkan seseorang  menunjukkan memang hatinya seperti itu. 

Kemudian kita masuk yang keenam, apa yang membuat kita mengetahui kadar intelektualitas seseorang adalah bagaimana cara orang itu menolak objektifitas. Objektif itu sangat penting tetapi sangat jarang sekali dipahami oleh kita. Kita kritiknya terhadap diri kita bukan berarti selalu menjelek-jelekkan. Misalkan Si A berbicara tidak didengarkan sama lawannya dan hanya bilang jangan didengerin cuma begitu saja, kemudian ada lagi Si B berdebat, pintar apaan? Dia itu apa aja yang disalahkan pemerintah atau salah presiden. Jadi, Yang seharusnya kita lihat itu apa yang dikatakannya bukan siapa yang mengatakannya, bukan  soal Si A,B,C atau siapapun. Salah satu nasihatAli bin Abi Tholib adalah lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan. Jika kita melihat apa yang dikatakan dan bukan siapa yang mengatakannya, maka kita tidak akan terkotak-kotak dan tersesat. Jadi sekali lagi, lihat apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakan. Menjadi objektif itu enak, tetapi sulit karena ego kita cenderung mengantarkan kita menjadi pengikut dari satu pihak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun