Mohon tunggu...
Humaniora

Mengkritisi Usulan Hafal Kitab Suci Bagi Mahasiswa Ekonomi-Bisnis

15 Februari 2018   13:30 Diperbarui: 15 Februari 2018   13:36 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


OlehHusein Ja'far Al Hadar

Rapat evaluasi penerimaan mahasiswa baru di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa pekan lalu menghasilkan keputusan yang kontroversial. Seperti terlihat dalam surat dekannya, Eko Suwardi kepada pimpinan UGM, fakultas itu menyatakan kesediaannya menerima mahasiswa baru melalui jalur prestasi penghafal kitab suci. Usulan itu akhirnya ditolak oleh UGM dan sebelumnya menjadi objek kritikan keras publik di media sosial.

Namun, ada yang penting untuk direnungkan terkait fenomena tersebut. Sebab, meski akhirnya ditolak, perbuatan surat itu pernah ada dan merupakan hasil keputusan rapat. Artinya, orang-orang di dekanat FEB minimal bersepakat untuk menerima mahasiswa berpretasi penghafal kitab suci. Tentu, ini bermasalah dan bisa menjadi sangat serius hingga membahayakan.

Mengapa?

Ia bermasalah lantaran memang tak ada langsung dan tak langsung antara studi ekonomi dan bisnis dengan kompetensi hafal kitab suci. Suka eg jika yang melakukan itu adalah faktengan-fakultas agama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atau fakultas atau kampus agama. Begitu, tak heran jika keputusan dekanat FEB UGM itu sama tanda tanya dengan kecurigaan berbagai pihak tentang apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh keputusan itu. Apakah ini bagian dari fenomena menyelinapnya puritanisme ke UGM?

Azhari Husin (Malaysia), Umar Farouk Abdulmutalib (Nigeria), Khalid Shaikh Mohammaed (Kuwait) Mohamed Atta (Mesir), Mohammad Youssef Abdulazeez (Kuwait) dan Faisal Shahzad (Pakistan) adalah nama-nama ektremis yang terkait dengan tindakan kekerasan yang membahayakan orang banyak. Keenamnya memiliki kesamaan yaitu sama-sama memiliki latar belakang teknik pendidikan (teknik). Begitu juga Syaikh Aiman Az-Zawahiri, pengganti Osama Ben Laden sebagai pemimpin Al-Qaeda, salah satu jaringan teroris paling bergengsi di dunia itu. Ia adalah dokter ahli bedah. 

Di sinilah kita bisa meneropong celah berbahayanya isi dekanat FEB UGM tersebut. Entah ini disadari atau tidak oleh pihak dekanat FEB UGM. Dalam artian, tanpa kedalaman, agama -begitu juga Teks Suci sebagai salah satu ornamen penting-bisa jadi akan membawa subjeknya pada kejumudan dan ekstremisme. Itulah yang terjadi pada orang-orang yang bergelut dengan ilmu umum kemudian belajar atau diajari agama secara mendalam. Daftar nama di atas.

Fakta itu ditindaklanjuti dengan penelitian selama beberapa tahun oleh dua ilmuwan sosial, Prof. Diego Gambetta dan Dr. Steffen Hertog yang hasilnya dituangkan dalam karya mereka berjudul Insinyur Jihad: Hubungan Aneh Antara Ekstrimisme dan Pendidikan Ekstrimisme (Princeton University Press) yang memang pendahuluan ekstremis yang berlatar teknik. 

Penelitian itu mendapat apresiasi dari Profesor Jessica Stern, pakar terorisme dari Universitas Boston yang sempat menungkap salah satu penyebab tindak terorisme. Menurut laporan Washington Post, para sarjana teknik memang sangat rentan terhadap ekstremisme kekerasan. Mereka sembilan kali lebih mungkin menjadi ekstremis dari yang Anda kira kebetulan kebetulan. Jacob N. Shapiro, pakar terorisme dan profesor politik dan hubungan internasional di Universitas Princeton. Penelitian ini penting lantaran dengan data statistik yang kuat apa yang selama ini mungkin menilai kebetulan saja ternyata sebuah fenomena.

Apa obat?

Menurut kedua peneliti tersebut, ia disebabkan lantaran memang sarjana tekniknya jauh lebih konservatif dari sarjana fakultas lain, dan jauh lebih mungkin untuk menjadi religius. Mereka tujuh kali lebih mungkin untuk menjadi religius dan konservatif dibanding sarjana sosial. Yang lebih mendasar adalah lantaran para sarjana teknik yang memiliki pola pikir yang merupakan gabungan dari kedua kecenderungan mereka itu dengan hasrat dasar manusia untuk memperoleh jawaban yang pasti dan tidak menyukai ambiguitas. Pola pikir ini, ditambah dengan kekecewaan mereka di negara-negara muslim di mana mereka mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan yang berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun