Mohon tunggu...
Humaniora

Toleransi dalam Ibadah: Hikmah dari Krisis Al-Aqsa

15 Desember 2017   07:52 Diperbarui: 15 Desember 2017   08:34 1351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ByHusein Ja'far Al Hadar

Ibadah adalah kebutuhan non-fisik paling primer bagi setiap umat beragama. Bahkan, bagi para sufi, ia tak ubahnya seperti makan dan minum bagi badan. Batin juga butuh asupan, yakni ibadah. Tanpanya, seorang sufi akan "mati" meski ia masih bernyawa. Oleh karena itu, pembatasan dan apalagi pelarangan terhadap aktifitas ibadah atau akses pada rumah ibadah merupakan salah satu kejahatan paling mendasar terhadap hak manusia, dalam hal ini umat beragama. 

Sehingga, dalam Islam misalnya, Allah dalam firman-Nya di QS. Al-Hajj: 40 dan ditegaskan oleh sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Thabrani, melarang perusakan tempat ibadah dan menganiaya pendeta atau pemimpin rumah ibadah. Menurut Prof. Nadirsyah Hosen, andaikata memerangi orang kafir itu disebabkan kekufurannya, maka seyogyanyalah bahwa yang pertama-tama dibunuh adalah pendeta. Ternyata konsensus (ijma') ulama malah melarangnya.

Karenanya, kita menentang keras dan mengutuk pembatasan akses ibadah bagi umat Islam di Masjid Al-Aqsa oleh Israel beberapa waktu lalu. Dalam konteks penentangan dan pengutukan itu, baik yang moderat maupun radikal sepakat. Namun, ada sebuah pertanyaan mendasar bagi mereka yang radikal: mengapa penentangan dan pengutukan itu berstandar ganda? 

Dalam artian, di sisi lain, alih-alih menentang dan apalagi mengutuk, mereka justru menjadi aktor intelektual bagi pembatasan atau bahkan pelarangan ibadah bagi umat Syiah (pengusiran Syiah di Sampang, Madura), Ahmadiyah (penyegelan masjid dan pusat kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sawangan), hingga Kristen (kasus GKI Yasmin di Bogor).

Kita tak hendak memperdebatkan apakah Syiah sesat, Ahmadiyah bukan Islam, atau Kristen itu kafir. Itu persoalan lain. Namun, jika kepada seorang yang kafir sekalipun, yang tidak memerangi kita, kita dilarang membatasi dan apalagi melarang mereka beribadah, lalu mengapa kepada mereka kita membatasi dan hingga melarangnya beribadah? Bukankah sesuatu yang bijak adalah jangan pernah kita melakukan sesuatu yang kita tak mau itu dilakukan oleh orang lain pada kita?

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

(QS. Al-An'am: 108)

Dalam ayat di atas, Allah menekankan signifikansi penghormatan pada iman orang lain. Bahkan walaupun seorang muslim memiliki pengetahuan akan kesalahan iman orang lain. Sebab, sudah menjadi ketentuan-Nya bahwa setiap orang atas imannya sendiri menganggap benar dan mulia. Dengan begitu, janganlah memaki umat lain atau apalagi mazhab lain yang berbeda dengan kita. Sebab nistaan atas iman orang lain hanya akan mengundang orang lain menista iman kita tanpa pengetahuan.

Terkait ayat di atas, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah melarang terhadap Nasul-Nya dan orang-orang yang beriman dari mencaci sesembahan orang musyrik (bukan sekadar kafir, pen), meskipun cacian itu mengandung kemaslahatan. Lantaran hal itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kemaslahatan itu sendiri, yaitu balasan orang-orang musyrik dengan cacian terhadap Allah, Tuhan kita.

Maka, salah satu pelajaran paling berharga dari krisis Al-Aqsa kemarin adalah renungan dan sikap untuk kita berhenti mencaci iman siapapun yang berbeda dengan kita: dalam sekadar mazhab, agamat, atau bahkan sesembahan. Dan tentunya adalah berhenti membatasi atau melarang mereka untuk beribadah pada sesembahannya. Jika kita ingin orang lain menghormati sesembahan dan ibadah kita, maka hormatilah sesembahan dan ibadah orang lain. Wallahu a'lam.

Sumber: syiarnusantara.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun