Dalam kamus besar bahasa Indonesia ego dimaknai sebagai rasa sadar akan diri sendiri dan konsepsi individu tentang dirinya sendiri. Saya memaknai ego sebagai "silau" terhadap diri sendiri, buta terhadap pengawasan Tuhan dan watak setan yang selalu mengkampanyekan "ana khairun minhu" (aku lebih baik daripadanya).
Biang kerok masalah kehidupan kita karena kita menganggap ego sebagai jati diri kita dan kita berupaya untuk membela ego ini. Dan setiap kekurangan dan mudarat yang kita peroleh, semuanya dipicu oleh ego ini. Tidak ada yang lebih mujarab untuk mengatasi dan mengelola ego ini daripada cinta. Cinta memiliki kekuatan untuk melupakan dirimu dan memikirkan sesuatu yang bersifat umum/universal.
Kaum sufi mengatakan bahwa saat seseorang 'asyiq ( jatuh cinta), maka untuk pertama kali  ia mampu "melewati" dirinya dan bila selama ini ia hanya memandang dirinya maka sekarang ia memperhatikan selainnya. Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa cinta majazi (cinta kepada selain Allah yang merupakan jembatan menuju cinta Ilahi) pun akan mengantarkan insan pada cinta hakiki. Mengapa? Karena pada cinta erotis pun pada tahap tertentu  mampu mengurangi egoisme.
Saat ego berkurang dan melemah, perhatian yang terpusat pada diri sendiri pun akan beralih ke pandangan kepada orang lain. Menurut 'urafa, cinta adalah eleksir (obat serbaguna/ramuan) dan kibrit ahmar (korek api yang paling merah).Â
Cinta mampu membuat apapun yang dipegang oleh pencinta berubah menjadi emas. Sebab, selama kita belum menjadi pencinta maka kita menilai diri kita sebagai ego dan kita hanya berpikir untuk kepentingan ego.Â
Bila kita telah menjadi pencinta maka ego ini akan binasa dan kita berubah menjadi pribadi yang berbeda. Dalam hal ini, Maulana Jalaluddin Rumi mengatakan,
Setiap orang yang dadanya lapang cinta
Ia tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan kekotoran jiwa
Dan pada kesempatan lain, Rumi berkata,
Kata-kata-apapun adanya-hanya dalih untuk mengekspresikan cinta
Rumah Tuhan hanya berisi cinta
Dan kamu tinggal di rumah tersebut
Mungkin bait Rumi tersebut mengisyaratkan bahwa hanya pencinta yang mampu melepaskan diri dari jerat dan penjara sempit ego karena ia bermodalkan dada yang "terbelah" alias dada yang luas, seluas samudera hingga tidak gampang tersulut dan tersinggung.
Pencinta punya banyak cara untuk tersenyum; memaafkan dan berdamai serta berkompromi dengan siapapun dan apapun, asalkan itu menyangkut dirinya. Tapi pantang bagi pencinta untuk melempem (melemah), bersikap ganda dan memejamkan mata bila ghirah diniyyah (kecemburuan religiusnya) dan kehormatan Kekasih nomer wahid digangugugat.
Ego Dan Relasinya Dengan Prahara Rumah
Timbulnya prahara dan masalah rumah tangga tak bisa dilepaskan dari pengaruh ego, bahkan dapat dipastikan bahwa ego menempati daftar pertama kasus keributan dan perceraian.Â
Dengan kata lain, selama salah satu pasangan atau dua-duanya hidup dengan egonya maka rumah tangga menjadi miniatur dari Jahanam yang siap "memanggang" pasangan tersebut dan anak-anaknya.Â
Api ego ini merambat sampai ke palung hati terdalam, yang (membakar) sampai ke hati. (QS. Al-Humazah: 7). Dan virus dan wabah di dalam rumah yang bisa "membakar" dan "membunuh" keluarga di antaranya: nasihat yang berulang-ulang, peringatan/ancaman yang kontinu, pencelaan, mengungkit-ungkit, membanding-bandingkan, menuduh, debat kusir, berpikir negatif, dan berkeluh kesah.
Pernikahan dalam Islam bukan pertemuan dua manusia yang berbeda; bukan perjumpaan dua kepala dan badan yang berlainan tetapi persuaan antara separo jiwa dan setengah jiwa yang lain hingga menyatu dalam mahligai rumah tangga. Lebih dalam lagi, pernikahan dalam tinjauan sufistik adalah persilangan antara asma Jamali yang diwakili oleh wanita dan asma Jalali yang diperankan oleh pria.
Dan buah dari kombinasi dua asma ini lahirlah Nur ala Nur (cahaya di atas cahaya), yaitu rumah tangga yang terang benderang dan bermasa depan cerah serta menerbitkan anak-anak yang "menghidupkan" masyrakat, bangsa dan negara. Ketika dua asma ini melebur dan menyatu, tidak ada tempat bagi ego untuk hidup dan tidak ada lagi "aku" dan yang ada hanya "kamu". Â Rumi secara indah berpantun:
Aku selalu melihat obat pada setiap penyakit
Aku senantiasa memandang kelembutan dan kesetiaan pada setiap amarah dan kekerasan
Di hamparan tanah dan di tempat yang rendah dan bukan di atap dan galaksi yang tinggi
Dan apapun yang aku lihat, aku hanya memandangmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H