Mohon tunggu...
Syarwini Syair
Syarwini Syair Mohon Tunggu... Pegiat Lingkungan Hidup

Seorang petani Madura yang selalu belajar membajak dan mencangkul tanah kebudayaan untuk menanam kembang kearifan. Hidup dengan prinsip: tombu atina kembang, ngalotor atina ro'om!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makna Tera' Bulan dalam Tradisi Apol-kompol Madura

27 November 2016   18:08 Diperbarui: 27 November 2016   18:48 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi apol-kompol. Dokumentasi pribadi

Di bawah sinar bulan, di sekitar tanggal lima belas bulan purnama (malem tera’ bulan), menurut perhitungan kalender hijriyah, atau orang Madura menyebutnya pananggalan Madura, adalah momentum istemewa bagi masyarakat Madura yang dimanfaatkan untuk apol-kompol, baik dengan sesama keluarga atau tetangga sekitar. 

Tradisi ini berlangsung di halaman rumah (taneyan) dengan beralas tikar yang terbuat dari anyaman daun siwalan. Para orang tua dan anak-anak berkumpul, laki–laki dan perempuan,sambil bersenda gurau di sela-sela percakapan tentang pengalaman hidup sehari-hari.

Dengan sinar bulan yang terang, berwarna kuning keemasan, dibantun oleh cayaha damar conglet dan damar talpe’ sebagai pelita rumah orang Madura pedesaan sebelum listrik masuk, para kakek/nenek dan bapak/ibu bercerita dan berdongen kepada cucu dan anak-anak mereka. Atau para orangtua bercengkrama dengan sebayanya, sedangkan anak-anak bermain petak umpet, salodur dan permainan lainnya di halaman. 

Lagu-lagu Madura seperti pa’-kopa’ eling, ping pilu’ dan lir-saalir sering disenandungkan oleh mereka sambil bertepuk tangan berlarian dan main kejar-kejaran. Bila di antara anak-anak itu ada yang terjatuh, lalu orang tua datang perlahan sambil mengucapkan mantra penyembuhan: bularak kolare tarebung manyang, baras mare tedung nyaman.

Bukan hanya itu, tradisi apol-kompol di bawah tera’ bulan, sering dijadikan sebagai media mewariskan berbagai kearifan lokal kepada anak-anak sebagai generasi penerus kebudayaan Madura. Di sinilah, para orang tua (sebuatan orang tua ini tidak terbatas pada eppa’ dan embu’ secara nasab) mengajarkan dan anak-anak belajar tentang nilai-nilai luhur ke-Madura-an melalui syi’iran dan pantun Madura serta paparegan yang dilestarikan secara lisan (oral). 

Syi’ir Madura biasanya lebih bernuansa agamis, berisi tentang nasehat, ajaran dan cerita-cerita yang bersumber dari agama Islam. Pantun isinya lebih luas, bukan hanya ajaran agama, tetapi kadang berupa sindiran dan hal-hal yang bersifat lucu. Sementara paparegan lebih bersifat umum lagi dan tidak ada aturan baku sebagaimana syi’ir dan pantun, bahkan kadang hanya berupa senda gurau dan celetukan saja, seperti: pangkor koneng nyang kornyangan, oreng dapor nyang kencangan.

Tera’ Bulan Versus Lampu Pijar  

Nuansa kearifan tera’ bulan dalam tradisi apol-kompol masyarakat Madura sedikit mengalami perubahan (penyusutan) di tengah gemerlap lampu pijar sebagai penerang kegelapan hari (malam). Cahaya bulan yang sejuk tentu tidak akan mampu mengalahkan sinar lampu pijar yang menderang, mulai dari lampu bohlam, neon, halogen dan lampu LED. 

Tera’ bulan jadi tertutup bukan karena terhalang awan hitam tebal, yang dikabarkan bulan sedang tidur oleh ibu-ibu kepada anaknya ketika mereka bertanya tentang bulan yang tidak tampak pada saat apol-kompol, tetapi karena pandangan manusia sudah terkurung dalam pijaran lampu buatan pabrik sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap kebiasaan hidup mereka.

Tera’ bulan membawa nilai peradaban yang berlangsung bertahun-tahun dalam kebudayaan Madura. Tera’ bulan adalah milik bersama, sehingga cara menikmatinya bagi masyarakat Madura juga dengan bersama-sama keluarga dan tetangga, melalui opol-kompol di halaman. Berbeda dengan lampu pijar, apapun jenisnya, setiap rumah memilikinya sendiri-sendiri. 

Rumah yang lampunya lebih terang menunjukkan si pemiliknya lebih sejahtera dari penghuni rumah yang lain. Terciptalah garis-garis vertikal kebudayaan melalui “sistem penerangan”: yang kaya memakai lampu neon, yang miskin hanya memakai lampu bohlam 5-10 watt.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun