Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Pemelajar

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

MBG, Keracunan, dan Jalan Pulang ke Pangan Lokal

3 Oktober 2025   07:04 Diperbarui: 3 Oktober 2025   07:04 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa MBG Harus Pulang ke Dapur Nusantara?

"Gratis tak cukup, MBG butuh jaminan aman, sehat, dan berpihak pada pangan lokal."

Pernahkah kita membayangkan suasana makan siang di sekolah? Anak-anak duduk berjejeran rapi, seragam putih-biru mereka sudah sedikit kusam karena bermain di halaman sekolah. Riang gembira bercampur dengan keluhan lapar dan rasa haus yang melanda. Begitu "food tray" atau "ompreng" makanan dibagikan, mereka menyantapnya dengan sukacita, tanpa sedikit pun curiga bahwa makanan yang tampak biasa itu bisa berubah menjadi ancaman nyata.

Beginilah yang terjadi 4 bulan lalu di SMP Negeri 8 kota Kupang. Sebanyak 84 siswa harus dilarikan ke rumah sakit setelah keracunan makanan yang dibagikan di sekolah. Peristiwa ini membuat para orang tua panik, guru terkejut, dan publik bertanya-tanya: bagaimana mungkin program yang seharusnya menyehatkan justru membuat anak-anak tumbang? Apakah kita masih bisa percaya bahwa makanan gratis otomatis aman untuk dikonsumsi?

Kasus di kota Kupang dan provinsi atau daerah lainnya seolah menjadi alarm keras bagi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tujuannya mulia, ingin menekan angka stunting dan menjamin anak-anak belajar dalam keadaan kenyang. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa gratis tidak otomatis sehat, niat baik tidak selalu berakhir baik bila pengawasan diabaikan, dan lemahnya kontrol mutu, atau minimnya akuntabilitas penyedia layanan. Pertanyaannya, apakah MBG benar-benar disiapkan sebagai strategi jangka panjang, atau hanya sekadar proyek politik untuk menuai tepuk tangan?

Mengapa Kita Terlalu Bergantung pada Nasi

Di balik maraknya kasus pelaporan keracunan ini, ada pertanyaan lebih dalam tentang isi piring anak-anak Indonesia. Selama puluhan tahun, kita menjadikan nasi sebagai satu-satunya sumber karbohidrat utama. Data BPS 2023 mencatat konsumsi beras nasional mencapai 96 kilogram per kapita per tahun. Angka ini membuat beras seakan tak tergantikan, bahkan di daerah-daerah di mana padi bukan tanaman utama sekalipun untuk makanan pokok masyarakat sehari-hari.

"Jagung, kelor, ubi, sagu: kunci gizi Nusantara yang seharusnya hadir di meja sekolah."

Padahal, jagung, ubi, singkong, dan sagu sudah lama menjadi pangan pokok di banyak wilayah di negeri ini. Mereka lahir dari kearifan lokal, dari tanah yang tidak ramah bagi padi, tetapi mampu menghidupi masyarakat setempat. Sayangnya, dalam program nasional, makanan lokal ini sering dianggap nomor dua sebagai hidangan utama. Mengapa kita begitu takut jika di piring anak-anak tidak ada nasi? Bukankah makanan sehat tidak harus seragam, melainkan sesuai dengan kekayaan alam setiap daerah?

Pangan Lokal NTT dan Potensi yang Terabaikan

Ambil contoh Nusa Tenggara Timur. Di tanah Lamaholot, ada jagung titi, camilan tradisional yang renyah, dan bose, bubur jagung khas yang mengenyangkan di daratan Timor. Makanan ini bukan hanya sehat, tapi juga cocok dengan kondisi alam Nusa Tertinggi Toleransi (NTT) yang kering dan gersang. Menurut Dinas Pertanian NTT 2023, produksi jagung di provinsi ini mencapai lebih dari 800 ribu ton per tahun dari hasil musim panen tiba.

Namun ironisnya, di sekolah-sekolah, menu yang disajikan masih berkutat pada nasi, ayam, dan sayur seadanya. Padahal jika jagung bose masuk ke menu MBG, manfaatnya berlipat: anak-anak lebih mudah menerima makanan yang sesuai lidah mereka, petani lokal mendapat pasar, dan ketahanan pangan daerah ikut terjaga. Lalu mengapa justru bahan yang melimpah di halaman rumah sendiri tidak dijadikan andalan? Apakah karena mentalitas lama yang selalu menomorsatukan beras?

Selain jagung, NTT juga punya kelor. Daun mungil berbentuk majemuk, kecil, dan oval ini kaya protein, zat besi, vitamin, dan antioksidan, sampai dijuluki 'miracle tree' oleh badan kesehatan internasional WHO. Sayangnya, kelor atau "moringa oleifera" masih dipandang sebagai sayur kelas kampung dan dibiarkan terlupakan sebagai sayur tradisional saja. Apakah kita rela anak-anak kehilangan gizi melimpah hanya karena gengsi orang dewasa yang menilai rendah makanan lokal?

Ubi, Papeda, dan Sagu: Identitas Pangan Timur Indonesia

Sementara itu, di Papua dengan keanekaragaman budaya dan bahasa, serta kekayaan alamnya, dan juga Maluku hadir dengan sejarah rempah-rempah dan keindahan alamnya yang menyimpan potensi lain. Ubi jalar oranye di Papua terkenal kaya beta karoten, sedangkan sagu di Maluku dan Papua Barat menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat setempat. Papeda dengan kuah kuning, misalnya, bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga ramah bagi penderita diabetes karena kandungan gula yang relatif rendah dan kaya akan serat, sehingga membantu mengontrol kadar gula darah.

Data Badan Litbang Pertanian 2021 mencatat Indonesia memiliki lima juta hektare lahan sagu, dengan sembilan puluh persen berada di Papua dan Maluku. Sayangnya, sagu sering dianggap kalah bergengsi dibanding nasi. Padahal jika papeda, ubi panggang, atau olahan sagu dimasukkan ke menu MBG, anak-anak Papua dan Maluku akan tumbuh sehat sekaligus bangga pada identitas mereka. Lalu pertanyaannya, apakah kita ingin anak-anak Papua tumbuh dengan makanan yang asing bagi mereka, atau justru bangga dengan papeda yang diwariskan leluhur?

Gratis Bukan Berarti Aman

Namun jangan lupa, makanan bukan sekadar soal gizi, tetapi juga keamanan yang harus diprioritaskan untuk mencegah keracunan makanan dan penyakit lainnya, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan orang dengan kondisi kesehatan tertentu. Data BPOM 2024 menunjukkan lebih dari 500 kasus keracunan pangan terjadi dalam setahun, dan sebagian besar menimpa anak-anak sekolah. Penyebabnya klasik: makanan yang disimpan terlalu lama, distribusi tanpa pendingin, hingga dapur yang tidak higienis.

Insiden keracunan di kota Kupang dan kota-kota lainnya di luar NTT memberi peringatan bahwa MBG tidak boleh dijalankan sekadar dengan logika proyek semata. Harus ada dapur sekolah yang higienis, tenaga masak terlatih, dan pengawasan ketat dari pemerintah daerah. Tanpa itu, niat baik bisa berubah jadi bencana kesehatan. Jadi, apakah pemerintah lebih sibuk menghitung anggaran daripada memastikan anak-anak benar-benar aman saat makan di sekolah?

Stunting: Angka yang Masih Mengkhawatirkan

Kita juga tidak bisa menutup mata pada masalah stunting yang masih menghantui banyak anak di Indonesia, karena dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kemampuan kognitif dan produktivitas di masa depan, sehingga memerlukan perhatian serius dan solusi komprehensif dari pemerintah dan masyarakat. Meski data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 mencatat prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8% dari 21,5% pada 2023, angka ini masih jauh dari target WHO, yaitu di bawah 14%. Lebih memprihatinkan lagi, NTT masih menempati salah satu posisi tertinggi, jauh di atas rata-rata nasional.

Bukankah kondisi ini seharusnya membuat program MBG lebih serius diarahkan ke daerah-daerah rawan stunting seperti NTT, Papua, dan Maluku? Apakah kita rela anak-anak di wilayah kering, gersang, dan miskin gizi terus terjebak dalam siklus malnutrisi, sementara program makan gratis lebih banyak dijalankan sebagai seremonial politik di kota besar?

Jalan Pulang ke Dapur Sendiri

Meski penuh tantangan, MBG sebenarnya membuka peluang emas untuk mengatasi masalah gizi buruk, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan memutus rantai kemiskinan, namun keberhasilannya sangat bergantung pada efektivitas implementasi, kualitas makanan, dan pemantauan yang ketat untuk memastikan dampak positif yang maksimal. Ia juga bisa menjadi pintu untuk kembali ke dapur sendiri, ke pangan lokal yang sudah lama terpinggirkan. Bayangkan jika sekolah di NTT menyajikan jagung bose dengan ikan tongkol dan sayur kelor setiap hari. Atau sekolah di Papua menghidangkan ubi jalar panggang dan papeda kuah kuning.

Dengan begitu, rantai pasok MBG tidak hanya mengenyangkan anak-anak, tapi juga menggerakkan ekonomi lokal dan menjaga budaya yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Sekolah pun bisa menjadi ruang edukasi rasa, tempat anak belajar bahwa makanan sehat bukan hanya dari nampan nasi standar, tetapi juga dari tanah dan laut di sekitarnya. Bukankah lebih logis jika uang negara digunakan untuk membeli hasil bumi petani sendiri daripada membayar katering besar yang kadang abai pada kualitas?

Masa Depan Negeri di Meja Makan Anak Ibu Pertiwi 

Keracunan di kota Kupang dan kota lainnya memang menyakitkan, tapi ia memberi pelajaran berharga. Bahwa program makan bergizi bukan hanya soal gratis, melainkan juga soal aman, sehat, dan berakar pada identitas bangsa.

Jika kita berani memberi ruang bagi pangan lokal---jagung, kelor, ubi, sagu, dan lainnya---MBG bisa menjadi lebih dari sekadar proyek pemerintah. Ia bisa menjadi gerakan besar untuk kedaulatan pangan Indonesia.

Dan akhirnya, mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita rela masa depan anak-anak ditentukan oleh piring yang monoton dan rawan bahaya? Atau kita memilih memberi mereka piring yang penuh warna, bergizi, aman, dan berakar pada tanah air sendiri?

Paji Hajju 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun