Bukankah kondisi ini seharusnya membuat program MBG lebih serius diarahkan ke daerah-daerah rawan stunting seperti NTT, Papua, dan Maluku? Apakah kita rela anak-anak di wilayah kering, gersang, dan miskin gizi terus terjebak dalam siklus malnutrisi, sementara program makan gratis lebih banyak dijalankan sebagai seremonial politik di kota besar?
Jalan Pulang ke Dapur Sendiri
Meski penuh tantangan, MBG sebenarnya membuka peluang emas untuk mengatasi masalah gizi buruk, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan memutus rantai kemiskinan, namun keberhasilannya sangat bergantung pada efektivitas implementasi, kualitas makanan, dan pemantauan yang ketat untuk memastikan dampak positif yang maksimal. Ia juga bisa menjadi pintu untuk kembali ke dapur sendiri, ke pangan lokal yang sudah lama terpinggirkan. Bayangkan jika sekolah di NTT menyajikan jagung bose dengan ikan tongkol dan sayur kelor setiap hari. Atau sekolah di Papua menghidangkan ubi jalar panggang dan papeda kuah kuning.
Dengan begitu, rantai pasok MBG tidak hanya mengenyangkan anak-anak, tapi juga menggerakkan ekonomi lokal dan menjaga budaya yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Sekolah pun bisa menjadi ruang edukasi rasa, tempat anak belajar bahwa makanan sehat bukan hanya dari nampan nasi standar, tetapi juga dari tanah dan laut di sekitarnya. Bukankah lebih logis jika uang negara digunakan untuk membeli hasil bumi petani sendiri daripada membayar katering besar yang kadang abai pada kualitas?
Masa Depan Negeri di Meja Makan Anak Ibu PertiwiÂ
Keracunan di kota Kupang dan kota lainnya memang menyakitkan, tapi ia memberi pelajaran berharga. Bahwa program makan bergizi bukan hanya soal gratis, melainkan juga soal aman, sehat, dan berakar pada identitas bangsa.
Jika kita berani memberi ruang bagi pangan lokal---jagung, kelor, ubi, sagu, dan lainnya---MBG bisa menjadi lebih dari sekadar proyek pemerintah. Ia bisa menjadi gerakan besar untuk kedaulatan pangan Indonesia.
Dan akhirnya, mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita rela masa depan anak-anak ditentukan oleh piring yang monoton dan rawan bahaya? Atau kita memilih memberi mereka piring yang penuh warna, bergizi, aman, dan berakar pada tanah air sendiri?
Paji HajjuÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI