Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Pemelajar

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

MBG, Keracunan, dan Jalan Pulang ke Pangan Lokal

3 Oktober 2025   07:04 Diperbarui: 3 Oktober 2025   07:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Jagung Bose Pangan Lokal Khas Daratan Timor NTT (Sumber: cookpad.com)

Ambil contoh Nusa Tenggara Timur. Di tanah Lamaholot, ada jagung titi, camilan tradisional yang renyah, dan bose, bubur jagung khas yang mengenyangkan di daratan Timor. Makanan ini bukan hanya sehat, tapi juga cocok dengan kondisi alam Nusa Tertinggi Toleransi (NTT) yang kering dan gersang. Menurut Dinas Pertanian NTT 2023, produksi jagung di provinsi ini mencapai lebih dari 800 ribu ton per tahun dari hasil musim panen tiba.

Namun ironisnya, di sekolah-sekolah, menu yang disajikan masih berkutat pada nasi, ayam, dan sayur seadanya. Padahal jika jagung bose masuk ke menu MBG, manfaatnya berlipat: anak-anak lebih mudah menerima makanan yang sesuai lidah mereka, petani lokal mendapat pasar, dan ketahanan pangan daerah ikut terjaga. Lalu mengapa justru bahan yang melimpah di halaman rumah sendiri tidak dijadikan andalan? Apakah karena mentalitas lama yang selalu menomorsatukan beras?

Selain jagung, NTT juga punya kelor. Daun mungil berbentuk majemuk, kecil, dan oval ini kaya protein, zat besi, vitamin, dan antioksidan, sampai dijuluki 'miracle tree' oleh badan kesehatan internasional WHO. Sayangnya, kelor atau "moringa oleifera" masih dipandang sebagai sayur kelas kampung dan dibiarkan terlupakan sebagai sayur tradisional saja. Apakah kita rela anak-anak kehilangan gizi melimpah hanya karena gengsi orang dewasa yang menilai rendah makanan lokal?

Ubi, Papeda, dan Sagu: Identitas Pangan Timur Indonesia

Sementara itu, di Papua dengan keanekaragaman budaya dan bahasa, serta kekayaan alamnya, dan juga Maluku hadir dengan sejarah rempah-rempah dan keindahan alamnya yang menyimpan potensi lain. Ubi jalar oranye di Papua terkenal kaya beta karoten, sedangkan sagu di Maluku dan Papua Barat menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat setempat. Papeda dengan kuah kuning, misalnya, bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga ramah bagi penderita diabetes karena kandungan gula yang relatif rendah dan kaya akan serat, sehingga membantu mengontrol kadar gula darah.

Data Badan Litbang Pertanian 2021 mencatat Indonesia memiliki lima juta hektare lahan sagu, dengan sembilan puluh persen berada di Papua dan Maluku. Sayangnya, sagu sering dianggap kalah bergengsi dibanding nasi. Padahal jika papeda, ubi panggang, atau olahan sagu dimasukkan ke menu MBG, anak-anak Papua dan Maluku akan tumbuh sehat sekaligus bangga pada identitas mereka. Lalu pertanyaannya, apakah kita ingin anak-anak Papua tumbuh dengan makanan yang asing bagi mereka, atau justru bangga dengan papeda yang diwariskan leluhur?

Gratis Bukan Berarti Aman

Namun jangan lupa, makanan bukan sekadar soal gizi, tetapi juga keamanan yang harus diprioritaskan untuk mencegah keracunan makanan dan penyakit lainnya, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan orang dengan kondisi kesehatan tertentu. Data BPOM 2024 menunjukkan lebih dari 500 kasus keracunan pangan terjadi dalam setahun, dan sebagian besar menimpa anak-anak sekolah. Penyebabnya klasik: makanan yang disimpan terlalu lama, distribusi tanpa pendingin, hingga dapur yang tidak higienis.

Insiden keracunan di kota Kupang dan kota-kota lainnya di luar NTT memberi peringatan bahwa MBG tidak boleh dijalankan sekadar dengan logika proyek semata. Harus ada dapur sekolah yang higienis, tenaga masak terlatih, dan pengawasan ketat dari pemerintah daerah. Tanpa itu, niat baik bisa berubah jadi bencana kesehatan. Jadi, apakah pemerintah lebih sibuk menghitung anggaran daripada memastikan anak-anak benar-benar aman saat makan di sekolah?

Stunting: Angka yang Masih Mengkhawatirkan

Kita juga tidak bisa menutup mata pada masalah stunting yang masih menghantui banyak anak di Indonesia, karena dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kemampuan kognitif dan produktivitas di masa depan, sehingga memerlukan perhatian serius dan solusi komprehensif dari pemerintah dan masyarakat. Meski data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 mencatat prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8% dari 21,5% pada 2023, angka ini masih jauh dari target WHO, yaitu di bawah 14%. Lebih memprihatinkan lagi, NTT masih menempati salah satu posisi tertinggi, jauh di atas rata-rata nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun