Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Pemelajar

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Merdeka Sudah Tua, Keadilan Masih Tertunda!

11 Agustus 2025   03:57 Diperbarui: 11 Agustus 2025   03:57 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang mana? (sumber foto: dokpri/@paji_hajju)

Kemerdekaan Megah, Rakyat Tetap Susah

Walaupun Indonesia sudah tidak dijajah selama delapan dekade, kemerdekaan yang didapat rakyat terasa seperti dibelenggu dengan ironi dan sejuta janji diterima. Merdeka dari dijajah, namun saat ini rakyat dijajah oleh birokrasi yang berbelit-belit, dari penguasa sendiri, kemiskinan yang merata, serta janji-janji politik yang diombang-ambingkan tidak pro terhadap rakyat. Dengan dibangunkan nya monumen-monumen megah, disambut dengan upacara bendera yang megah, serta jargon kemerdekaan yang diteriakkan dengan bombastis, berapa banyak dari kita yang merasakan keadilan sosial yang dijanjikan oleh negara? Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2024, presentasi untuk merasakan hidup dalam kemiskinan berada di 9.36% atau 25 juta jiwa. Ini sangat jauh dari harapan dalam hidup merdeka yang di impikan.

Regulasi dan penegakkan hukum di Indonesia diumpamakan--- seperti timbangan pasar yang selalu miring ke pihak yang punya kuasa atau dompet tebal. Kasus korupsi e-KTP yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp2.3 triliun hingga skandal BLBI yang menurut proyeksi sampai 2023 utang negara saur Rp110 triliun merupakan bukti nyata profanasi hukum di Indonesia. Masyarakat desa yang melakukan pencurian hewan ternak bisa di penjara sampai berpuluh tahun, tetapi para koruptor di kelas terbesar mendapatkan hak-hak istimewa selama mereka menjalani "penangkapan", "penjara", atau penangkapan dalam istilah mereka. Apakah ini yang dinamakan kemerdekaan yang selalu dirayakan?

Pendidikan dan kesehatan dijanjikan sebagai hak dasar rakyat sejak proklamasi, tapi kenyataannya?  Banyak anak di pelosok masih berjalan kilometer untuk sekolah tanpa buku, sementara rumah sakit di daerah kekurangan dokter dan obat. Menurut laporan Kementerian Pendidikan, masih ada 1,2 juta anak putus sekolah di Indonesia. Sementara itu, Anggaran kesehatan dari APBN untuk tahun 2025 diperkirakan sekitar 6% - dari total APBN, dengan nilai total anggaran sebesar Rp217,3 triliun, jauh di bawah standar WHO. Kemerdekaan ternyata hanya memberi rakyat hak untuk bermimpi, tapi tak cukup alat untuk mewujudkannya.

Jika ada yang benar-benar "merdeka" di Indonesia, mungkin itu adalah para koruptor atau maling uang rakyat. Dari era Soeharto hingga kini, kasus korupsi terus bermunculan seperti jamur di musim hujan. KPK mencatat sejak 2004 hingga 2023, ada lebih dari 1.500 kasus korupsi yang ditangani, dengan kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah. Kasus teraneh seperti dugaan korupsi bansos Covid-19  yang melibatkan pejabat tinggi menunjukkan bahwa hukum masih menjadi alat untuk melindungi yang kuat, bukan menegakkan keadilan. Rakyat hanya bisa menonton drama pengadilan di televisi sambil mengelus perut lapar yang berhari-hari.

Soal hukum, Indonesia punya banyak kasus yang bikin dahi berkerut. Contoh kasus Marsinah, Wiji Thukul, dan Munir (2004), aktivis HAM yang hingga kini pelaku utamanya masih misterius, meski Komnas HAM bilang ada indikasi keterlibatan pihak berwenang. Atau kasus pelanggaran HAM berat di Papua, seperti Wamena (2003) dan Paniai (2014), menurut Amnesty International Indonesia hingga 2023 belum menemukan keadilan sejati. Hukum di Indonesia seperti teater yang banyak drama, sedikit keadilan.

Pemerintah bangga memamerkan tol, bandara, dan IKN sebagai wajah kemerdekaan. Tapi, untuk apa tol jika rakyat kecil tak punya mobil? Untuk apa IKN jika petani masih kesulitan pupuk? Laporan Bank Dunia (2023) bilang ekonomi di Indonesia masih sangat tidak adil, dengan koefisien Gini-nya 0,38. Kemerdekaan lebih sering dirayakan di menara gading, sementara rakyat di bawah hanya mendapat debu dari proyek-proyek raksasa yang dinikmati oleh mereka semata.

Kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, tapi kenyataannya berbeda. UU ITE justru menjadi momok bagi siapa saja yang berani mengkritik. Menurut SAFEnet, sejak UU ITE diberlakukan (2008-2023), lebih dari 1.200 kasus pencemaran nama baik dilaporkan, banyak di antaranya menimpa aktivis dan jurnalis. Kebebasan berbicara di Indonesia seperti burung dalam sangkar emas ya boleh berkicau, tapi jangan sampai mengganggu yang berkuasa. Apakah ini yang disebut demokrasi setelah 80 tahun?

Selama delapan puluh tahun merdeka, rakyat Indonesia mendapat banyak hal seperti bendera yang berkibar, lagu kebangsaan yang menggema, dan parade kemerdekaan yang megah. Namun, di balik itu, hukum masih sering dipakai sebagai alat politik, keadilan sering kali hanya mimpi, dan kemiskinan masih menjadi teman setia. Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajah, tapi juga bebas dari ketidakadilan, korupsi, dan ketimpangan. Semoga di ulang tahun ke-100 nanti, rakyat benar-benar bisa tersenyum, bukan hanya karena kembang api, tapi karena hukum dan keadilan benar-benar berpihak pada mereka.

Paji Hajju 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun