Mohon tunggu...
Syarifuddin Usman
Syarifuddin Usman Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Membaca, Meneliti dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rumah Dinas Kepala Daerah Rasa Politik

23 Februari 2024   11:56 Diperbarui: 23 Februari 2024   11:56 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumdis Walikota Ternate. Sumber  foto : Kumparan

Sejenak mari lupakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah diumumkan Presiden Jokowi pada Sabtu, (3/9/2022). Kenaikan BBM tak berpengaruh di provinsi ini, karena kita akan selalu merasa bahagia sebagaimana provinsi ini adalah provinsi paling bahagia selama dua tahun berturut. Semoga pada tahun ini kita juga masih bertengger di posisi pertama sebagai provinsi paling bahagia. Tak hanya di Indonesia, tapi juga sejagad. Meskipun setiap hari antrian di SPBU mengular dan Dinas Perhubungan Provinsi Maluku Utara juga mengeluarkan rilis terbaru soal kenaikan tarif angkutan sebesar 30 persen, kita masih bahagia. Tak ada protes, tak ada unjuk rasa dan bakar-bakaran ban dari mahasiswa. Karena prinsip mereka, bahagia.


Tapi tulisan ini bukan soal kenaikan BBM. Juga bukan soal kebahagiaan. Kalaupun ada hubungannya tentang kebahagiaan, itu karena penulis mencoba-coba mengaitkan dan menghubungkannya. Tulisan ini khusus ingin memberi catatan tentang liputan khusus Malutpost edisi 30 Agustus 2022. Tentang Proyek Mubazir, bernilai milyaran. Penulis mengapresiasi soal liputan khusus ini. Karena kita jadi paham, ratusan miliaran melayang sia-sia. Saya membayangkan ratusan miliaran ini jika di konversi ke pendidikan, mungkin akan sangat membantu anak-anak kita yang mungkin saat ini belajar dalam kelas yang tak layak dianggap sebagai gedung sekolah. Bisa juga bantuan biaya sekolah. Di bidang kesehatan, mungkin biaya pengobatan membantu meringankan penderitaan masyarakat. Atau bisa juga bantuan UMKM kepada mereka yang membutuhkan. Skemanya banyak sekali. Namun, itu hanya pengandaian.


Dari sudut pandang kebijakan, boleh jadi, proyek-proyek mubazir itu tak melalui planning yang matang, tidak transparan, asal bangun dan juga karena adanya praktek rent seeking atau pemburu rente. Nah soal yang terakhir rent seeking ini menjadi highlight.. Terminology rent seeking dalam institusi negara menurut Irawan (2008) merujuk pada perilaku pejabat publik dalam memutuskan alokasi anggaran publik (APBN-APBD), atau kebijakan yang ditujukan untuk publik dengan motivasi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang berimplikasi merugikan kepentingan publik, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Perilaku rent seeking memang sesuatu yang lumrah menerpa di negara yang tingkat korupsinya tinggi, seperti Indonesia. Laporan transparency international Indonesia pada 2021, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara dengan skor 38, di mana nilai tersebut meningkat satu poin dari tahun lalu. Pada 2020, Indonesia sempat memiliki skor 40 pada 2019. Namun turun lagi pada 2020 dengan 37 poin. Transparency International melibatkan 180 negara dalam survei IPK-nya. Skor 0 artinya negara tersebut sangat korup, sebaliknya skor 100 menandakan negara tersebut bersih dari korupsi.

Rumah Dinas Rasa Politik


Proyek-proyek mubazir itupun sama apesnya dengan rumah dinas (Rumdis) kepala daerah yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Rumah Dinas Walikota Ternate dan Halmahera Tengah bisa jadi rujukan. Bangunan megah itu tak ditempati dan hanya menjadi tempat penghuni para makhluk halus. Begitu biasa masyarakat menyebut jika ada bangunan yang tak ditempati dalam waktu lama. Rumah Dinas Walikota Ternate dibangun saat Alm Syamsir Andili menjadi Walikota. Bangunan itu terlihat rusak dan terbengkalai tak ditempati pemerintahan Alm Hi.Burhan Abdurrahman dan Walikota saat ini, M.Tauhid Soleman. Hal yang sama  terjadi juga di Halmahera Tengah. Rumah dinas --disebut Istana Daerah- dibangun Bupati H.M.Al.Yasin Ali yang saat ini wakil gubernur Maluku Utara juga tak ditempati Bupati Edi Langkara yang masa jabatannya akan berakhir pada Desember mendatang.  Kedua rumah dinas tersebut pasti menelan anggaran yang tidak sedikit. Tapi dibiarkan oleh pemerintahan penggantinya. Entah apa alasan rumah yang di bangun dari pajak masyarakat itu tak ditempati.


Alasan yang bisa penulis peroleh, karena perbedaan politik. Rumah dinas yang dibangun tersebut merupakan peninggalan lawan politik saat berlangsung kontestasi Walikota dan Bupati. Hanya karena perbedaan politik, bangunan yang seharusnya ditempati tersebut harus menjadi korban politik. Bisa dibayangkan! bangunan saja dibiarkan terlantar, apalagi pengikut,simpatisan dan penyokongnya?  

Tak aneh kemudian banyak birokrat yang ikut terlibat dan menjadi bagian dari pertarungan politik praktis harus melakukan migrasi birokrasi ke pemerintah daerah lain. Migrasi birokrasi -- meminjam istilah ini dari Herman Oesman- cukup menjadi bukti bahwa birokrasi kita tak pernah netral ketika berlangsung kontestasi dan rebutan kuasa pada wilayah politik. Banyak alasan kenapa birokrasi tak pernah netral. Oleh banyak analis, elit birokrat kita sangat mudah tergiur karena mereka juga sebenarnya bagian dari rent seeking atau pemburu rente karena mengharapkan jabatan strategis (basah) di pemerintahan jika "jagoan"nya berhasil memenangkan pemilihan.Istilah rent seeking pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Tullock pada 1967. Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh Anne Krueger pada Juni 1974 dalam sebuah tulisan yang dimuat di American Economic Review Volume 64 berjudul "The Political Economy of the Rent-Seeking Society". Rente merupakan selisih antara nilai pasar dari suatu "kebaikan hati" birokrasi dengan jumlah yang dibayar oleh penerima rente kepada birokrasi/pemerintah atau kepada perorangan di birokrasi. Para  kapitalis yang berusaha mendekati birokrasi dengan tujuan mendapatkan keuntungan bisnis bisa disebut pemburu rente (rentseeker). Pemburu rente mencari dan berusaha mendapatkan rente dari birokrasi dengan berbagai cara, di antaranya menawarkan perlindungan, menyerahkan sumber daya yang dimiliki, atau memberikan wewenang tertentu yang diatur dan di bawah kekuasaannya. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) merupakan nafas dari aktivitas perburuan rente ini. (Subandiyo,dalam Investor.id,2015)
Pengamat Universitas Indonesia, Hurriyah dalam https://nasional.sindonews.com/read/256032/12/sulit-netral-sejarah-asn-didesain-sebagai-mesin-politik-pemilu-1607047942 mengatakan sulit untuk mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) netral dalam politik praktis. Sebab, cetak biru ASN memang didesain sebagai pengabdi. Meskipun normatifnya mengabdi untuk negara, realitanya dia harus tunduk para perintah atasan.

Rumah Dinas Bupati Halmahera Tengah, Sumber foto Hpost
Rumah Dinas Bupati Halmahera Tengah, Sumber foto Hpost
Sumber Ketidaknetralan ASN dalam politik praktis ungkap Hurriyah, merupakan implikasi langsung penerapan sistem demokrasi pemilihan kepala pemerintahan secara langsung. Pemilihan langsung, menyebabkan terjadinya gesekan dengan manajemen administrasi pemerintah. Ada sejarah panjang yang menjelaskan dalam politik Indonesia. Di masa orde baru, birokrasi didesain menjadi mesin politik untuk kepentingan pemilihan umum (pemilu). Lalu, ada persoalan sosial-budaya. Kultur birokrasi tidak mengenal prinsip-prinsip netralitas. Ada persoalan kekerabatan, primordial, dan patronase. Itulah sebabnya, ASN berada dalam posisi dilematis ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) tiba. Di satu sisi dituntut netral, tapi kadang banyak "tangan-tangan" politik yang berusaha mengintervensi pilihan pada salah satu calon.Netralitas ASN kata Hurriyah, sebenarnya diatur dalam sejumlah beleid, antara lain Undang-Undang (UU) Nomor 5/2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan itu untuk melindungi ASN dari kontrol langsung kekuatan politik. Masalahnya, dalam situasi semacam pilkada, yang dihadapi adalah persepsi.


Selain perbedaan politik, alasan lainnya (mungkin!) adalah soal gengsi. Bahwa rumah dinas kepala daerah yang dibangun lawan politik jika ditempati hanya akan menurunkan martabat dan harga diri sebagai kepala daerah yang memenangkan kontestasi. Mungkin begitu asumsinya. Alasan lainnya adalah mitos dan takhayul. Rumah dinas kepala daerah yang dibangun lawan politik memiliki aura negatif sehingga berpengaruh pada karier politik kepala daerah pemenang Pilkada. Bisa juga akan mengganggu jalannya pemerintahan. Ada semacam pamali (boboso) mendiami rumah dinas kepala daerah yang di bangun lawan politiknya.

Perbedaan politik atau dendam politik (?) yang dipertontonkan kepada masyarakat memberikan indikasi, pemimpin kita tak mencerminkan sosok negarawan sebagaimana yang dilakukan the founding father kita dalam memberikan keteladanan. Kerasnya perbedaan politik tak membuat hubungan pribadi mereka retak secara personal. Bahkan lebih dari itu. Mereka mengalah demi keutuhan bangsa dan negara demi persatuan dan kesatuan. Ada adagium yang telah menjadi pegangan kalangan politisi, dalam rimba politik tak ada lawan dan kawan yang abadi, yang abadi hanya kepentingan itu sendiri.


Bahwa perbedaan politik, ideologi dan  perjuangan politik sesungguhnya sesuatu yang biasa saja ketika berbicara soal kepentingan. Namun kita mempertontonkan perbedaan adalah sesuatu yang luar biasa. Memang!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun