Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jangan Sebarkan Aib Diri

10 November 2009   07:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 1440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tidak seorang di antara kita yang bersih dari dosa dan kesalahan. Selalu saja ada ucapan atau perbuatan mengandung dosa yang kita lakukan secara sadar atau tidak. Bagi seorang manusia semua itu tentu wajar dan lumrah saja. Namanya juga manusia, tempatnya lupa dan salah. Yang tidak wajar bila sang manusia mengaku tidak pernah berbuat salah dan dosa, merasa diri selalu baik, sholeh dan bersih dari semua itu. Memang ada manusia seperti itu, ia disebut ma'shum, terpelihara dari dosa. Tapi manusia itu hanya Nabi saw. yang kita kenal terpelihara oleh Allah dari segala perbuatan dosa.

Karena kita bukan manusia ma'shum, maka ketika ada kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan, maka itu dianggap lumrah. Siapa pun manusia tersebut dan apapun profesi dan status sosialnya di tengah masyarakat. Mau rakyat biasa, atau pemuka agama, artis terkenal atau sosok yang tidak seorang pun mengenalnya, kemungkinan berbuat salah dan dosa selalu ada. Bila seorang iman seorang hamba itu kuat, maka iblis yang datang untuk menggoda dan menggelincirkannya pun lebih berpengalaman dan profesional agar manusia tersebut akhirnya terjungkal.

Namun dibalik itu semua Allah sesungguhnya Maha Penyayang, Pengasih dan Pengampun bagi para hamba-Nya. Berapa banyak pun dosa yang dilakukan sang hamba, selalu ada pintu maaf dan ampunan yang terbuka untuknya. Kita mungkin pernah mendengar bait syair seorang Abu Nawas yang mengatakan:

Dosaku laksana pasir di lautan Maka terimalah taubatku, Wahai Pemilik Keagungan

Kita juga mungkin pernah membaca kisah seorang hamba yang membunuh 99 manusia lalu menggenapinya 100. Namun ia kemudian diputuskan masuk syurga setelah malaikat Rahmah dan Malaikat azab berseteru dan mengukur jarak letak kematiannya yang ternyata lebih dekat dengan kampung yang hendak ia tuju sebagai syarat baginya melakukan pertobatan dan mendapatkan maghfirah (ampunan).

Kita juga dilarang oleh Allah Ta'ala berputus asa dari mendapatkan rahmat dan ampunan-Nya karena merasa bahwa dosa kita terlalu banyak dan pintu taubat pun seakan tertutup rapat. Tidak sama sekali! Allah selalu membuka pintu ampunan-Nya bagi mereka yang datang pada-Nya memohon ampun, menyesali diri dan bertekad kuat takkan mengulangi kembali dosa yang telah diperbuatnya.

Dosa yang kita lakukan mungkin saja termasuk dalam kategori dosa besar dimana ada ancaman hukumannya di dunia, atau Allah ancam pelakunya dengan Neraka atau IA memurkainya. Ada pula yang berpendapat, bahwa dosa besar adalah setiap maksiat yang dilakukan seseorang dengan terang-terangan (berani) serta meremehkannya.

Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah olehmu tujuh dosa yang membinasakan. Mereka bertanya, ‘Apa itu?’ Beliau menjawab, Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada waktu peperangan, menuduh berzina wanita-wanita suci yang mukmin dan lalai dari kemaksiatan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sementara dosa kecil adalah segala dosa yang tidak mempunyai had (hukuman) di dunia, juga tidak terkena ancaman khusus di akhirat. Ada pula yang berpendapat bahwa dosa kecil adalah setiap kemaksiatan yang dilakukan karena alpa atau lalai dan tidak henti-hentinya orang itu menyesali perbuatannya, sehingga rasa kenikmatannya dengan maksiat tersebut terus memudar.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Dicatat atas bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia mendapatkannya tidak mungkin tidak; maka dua mata zinanya adalah memandang, dua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dua kaki zinanya adalah melangkah, dan hati adalah menginginkan dan mendambakan, hal itu dibenarkan oleh kemaluan atau didusta-kanya.” (HR. Muslim, no. 2657)

Salah satu fenomena menarik yang terjadi di tengah kita adalah semakin banyaknya orang-orang yang merendahkan dosa dan kemaksiatan yang mereka lakukan, atau tanpa malu menyebarluaskannya melalui media elektronik; televisi, internet dan lainnya, atau menuliskannya dalam sebuah cerita sehingga orang banyak menjadi tahu. Padahal yang pantas dilakukan saat berbuat dosa adalah merasa malu, sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya dan berusaha menutupinya agar tidak menjadi contoh bagi yang lain.

Sekali waktu saya menyaksikan sebuah acara di salah satu stasiun televisi yang dipandu oleh Helmi Yahya dan Dian Nitami. Acara tersebut menghadirkan sepasang suami istri yang saling berseteru beserta keluarganya masing-masing. Melalui dialog panas antara keluarga tersebut, sang suami dengan terus terang berkata bahwa ia telah berselingkuh dengan anak tirinya sembari menuduh sang istri juga telah berselingkuh dengan brondong. Walau demikian laki-laki tersebut masih mampu berkata, "Kami berasal dari keluarga terhormat!" Luar biasa!

Bila menyebarluaskan aib orang lain saja dilarang, maka bagaimana dengan menyebarluaskan aib sendiri? Tentu hal tersebut lebih terlarang. Rasulullah saw. Bersabda, "Setiap umatku mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri). Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah swt kemudian dipagi harinya dia sendiri membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Maka hendaklah setiap kita berhati-hati, jangan sampai dosa yang telah kita lakukan pada masa lampau akhirnya terbongkar dan menjadi dosa besar karena tanpa sadar kita menyebarluaskannya, apakah itu dengan lisan mau pun tulisan. Wallahu a'lam!

Bacaan:

1-Link 1

2- Link 2

Utan Kayu, 10.11.2009


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun