Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Identitas Asli, Wajah Palsu!

4 November 2009   12:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:26 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

 

[caption id="attachment_21770" align="alignright" width="293" caption="Diajarin Rukmana, euy!"][/caption]

Banyak yang berubah setelah Kompasiana berganti wajah dengan tampilan yang kata sebagian rekan Kompasianer; cantik, menarik dan elegan. Walau muncul masih ada yang tidak sreg dengan tampilan baru ini, namun tampaknya masih lebih banyak kawan yang sepakat mengatakan bahwa ini jauh lebih baik daripada sebelumnya. Munculnya perbedaan pandang terhadap tampilan baru ini saya kira wajar-wajar saja. Bahkan ada rekan yang lebih merindukan kembali pada wajah lama Kompasiana yang lebih sederhana dan praktis. tapi ini kan jumlahnya sangat sedikit.

Terlepas dari semua itu, ada satu realitas yang akhirnya kita temukan pada wajah baru ini, yaitu semakin berkurangnya Kompasianer yang menggunakan nama anonym dan identitas palsu sebagaimana yang dahulu banyak kita temukan di Kompasiana wajah lama. Beberapa hari sebelum launching wajah baru Kompasiana saya menulis Nama Asli Vs Identitas Palsu disertai asumsi kemungkinan tidak munculnya nama-nama anonym seperti duda item, daging kuda, duda item, aya2wae, hehehe dan sebagainya. Pun kalau ada jumlahnya tidak banyak. Apakah mereka registrasi ulang dengan nama asli? Wallahu a'lam.

Hal ini juga akhirnya terkait erat dengan komentar-komentar yang tidak lagi disertai dengan hujatan atau makian. Yang kita temukan adalah komentar dan tanggapan yang lebih santun dan terhormat. Walau terkadang masih ada yang menyinggung perasaan, namun secara umum tampak lebih baik sebagaimana diharapkan banyak pihak selama ini. Sejumlah penulis yang memposting tulisan tentang SARA yang biasanya pada wajah lama Kompasiana mendapatkan pengunjung dan komentar terbanyak dan nangkring paling atas sebagai tulisan terpopuler, kini tidak lagi terjadi pada wajah baru ini. Bila pun ada sanggahan maka tampak lebih sopan, atau meninggalkan postingan tersebut tanpa jejak alias tidak berkomentar.

 

Tidak adanya moderasi oleh Admin atas setiap tulisan yang akan tayang, sebagaimana diprediksi sebelumnya, menghasilkan sejumlah tulisan yang terkadang tidak laik tayang. Hal ini juga sudah mulai menuai kritik. Bahkan ada sejumlah postingan yang ditulis hanya dalam beberapa kalimat. Postingan sedemikian ini mungkin tidak pernah kita temukan pada wajah lama Kompasiana. Belum lagi konten dan subtansinya yang terkadang asal-asalan. Tapi karena Admin sudah komitmen untuk tidak memoderasi tulisan, sehingga hal ini pun kembali kepada setiap kita sebagai penulis. Namun bila hal ini tidak menjadi perhatian Admin, maka pembaca Kompasiana yang tidah hanya berasal dari internal Kompasianer akan semakin kecewa, dan saya khawatir mereka akan tinggalkan blog ini.

 

Satu hal yang juga masih ada di Kompasiana wajah baru ini adalah foto para Kompasianer yang tidak disertai foto diri, dan ini jumlahnya tidak sedikit. Padahal sudah tersedia fasilitas untuk menampilkan foto diri seterang terangnya. Di antara Kompasianer ada yang menampilkan wajah kanak-kanak (anaknya kali, ya?) gambar kartun, burung garuda, bunga, pemandangan dan lain sebagainya, sementara yang lain berwajah gelap. Selain yang suka gonta-ranti wajah, biar ngga bosan katanya. hehehe. it's ok. Saya sendiri tidak tahu, apakah mereka tidak mengetahui adanya fasilitas tersebut ataukah memang tidak ingin menampilkan wajah aslinya dengan berbagai alasan.

 

Secara pribadi saya tetap berbaik sangka, bahwa mungkin mereka belum tahu caranya, dan karena itu bisa baca postingan Mas Iskandar Jet disini, ataukah mereka tidak ingin dianggap narsis, ataukah dengan alasan lain yang tidak bisa kita tebak. Padahal kalo wajah setiap penulis atau komentator tampak jelas dan terang benderang, maka itu akan menghasilkan nilai positif tersendiri. Misalnya papasan di mall, resto, di jalan dan di mana saja, karena kenal wajah dan nama asli, kan bisa langsung kopi darat deh sambil ngopi beneran. Apalagi kalo pas lewat depan rumah, kan bisa langsung diajak mampir. Nah, itu sebagian dari manfaat positifnya, dan tentu masih banyak yang lain. Kalo tidak, ya nanti saat kopdar panitia sediain sticker, para Kompasianer tulis nama lalu tempel sambil membusungkan dada biar namanya kebaca. hehehe......

Tapi, tidak ada paksaan kan dalam memasang foto?! Iyya juga sih. Itu mah kembali kepada kita masing-masing aja. Mo pake gambar kuda, elang, wajah kanak-kanak, atau wajah usia remaja padahal sudah renta (sorry ya kalo ada yang kaya gini. Hehehe...) terserah Anda. "Wajah, wajah gue, tulisan, tulisan gue, ya terserang gue dong. Palagi kata Admin terserah Anda, kan". Ok, deh. Tapi kan nanti bisa bikin bingung saat bersua, "Kok beda banget, ya! Tak seindah wajah aslinya..." hehehe....

 

So, selamat menikmati; menulis, membaca, berkomentar dan menjalin pertemanan di Kompasiana. Semoga tulisan-tulisan yang hadir di blog ini semakin membaik dan mencerahkan, hubungan baik semakin terjaga. Pembaca semakin banyak dan karena itu iklan pun kian rame. Wah,  mantep, tuh! Yang bahagia bukan cuman admin, tapi kita-kita juga kan?

Ah, seperti apa ya, Kompasiana 5 tahun akan datang? Jadi ingat SIM nya Kang Pepih. Oh ya Kang, selamat menunaikan Ibadah Haji, semoga mabrur dan kembali ke tanah air dengan selamat. Doakan pula pemimpin bangsa ini, dan kami semoga sehat wal afiat dan rizki senantiasa lapang. Dan tentu untuk Kompasiana, semoga tetap berjaya. Amin!

Bila ada jarum yang patah, Jangan simpan dalam peti

Bila ada kata yang salah, jangan simpan dalam hati

Utan Kayu, 4.11.2009


Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun