Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Kematian

25 Oktober 2020   06:02 Diperbarui: 25 Oktober 2020   07:15 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam menyapa segera ketika senja perlahan menyusut pergi. Warna jingga telah berubah pekat, tanda malam telah benar-benar menjadi raja, mencengkeram dunia dalam keheningan. Memaksa setiap orang untuk berdiam dan membiarkan malam berbuat sesuka hati. Tapi tidak bagi seorang perempuan, di dalam sebuah gubuk tua dengan semburat remang lampu minyak.

Hening malam sesunyi hatinya. Angin gelap tiba-tiba merasuk dan membutakan nalar sehat yang selama ini ia gunakan menimbang-timbang kebaikan dan kebusukan. Meski dua hal itu semakin tak terbedakan, namun kewarasannya masih menuntunya untuk bisa bertahan nafas sampai detik ini. Jika malam telah mengirim angin hitam ini jauh-jauh sebelum malam ini, mungkin sekarang ia tak perlu lagi bergulat menjemput kematian nalarnya.

Ritual panjang telah melelahkannya, namun ketakutan akan gelapnya kematian, menunda pilihan pahit untuk segera bergerak menyelesaikan. Dan ritual panjang itu, baru selesai malam ini. Ritual yang dilakukan hampir semua perempuan. Tapi yang jelas, apa yang ia rasakan jauh berbeda dengan perempuan manapun yang pernah mengalaminya. Ini sebuah keputusan yang ia sendiri tak memiliki kuasa menolaknya. Ia dipaksa. Dan kemudian ia sendiri yang harus menyelesaikannya.

"Mengapa kau baru datang sekarang?" Wanita itu menyergah angin gelap yang tiba-tiba datang. Meski ia telah tunggu lama kedatangannya, ia tak begitu suka dengan kedatangan angin yang tiba-tiba, tak berketuk sapa.

"Mengapa?" Perempuan itu mengulangi pertanyaannya, dengan sidikit lembut. Sementara angin masih sibuk dengan kehadirannya. Menyusun rencana-rencaa jahat yang belum pernah ia rencakan sebelumnya. Ini akan menjadi sebuah pesta. Pesta tari kehidupan dan kematian. Ia tersenyum bangga, karena seolah semua mata-mata malam tengah menempel di retakan dinding kayu tua di sekelilingnya, menyaksikan dan menikmati, yang sesekali nanti akan bertepuk tangan kagum dan gembira.

"Angin. Masihkah aku bisa memilih?" Perempuan itu menatap angin yang sejak tadi tengah membuat pusara diatas kepalanya, dan mengepulkan asap hitam. Menyanyikan lagu-lagu sunyi yang belum pernah dinyanyikan siapapun.

"Apakah kamu masih ingin memaafkan?" Angin balik bertanya dalam riuh nyanyiannya. Ia menggulung-gulung, membuat pekat saja ruang yang hanya ada satu lampu minyak disudutnya.

"Haruskah ini akan berakhir juga dengan kebencian?" Perempuan itu tertunduk dalam. Tidak ada suara. Mereka saling melempar tanya yang tak berjawab. Seolah jawab telah berlalu, tertinggal dalam kurun waktu yang jauh. Ia membiarkan tanya lahir entah untuk apa dan berkelana ke segala penjuru arah.

"Bukankah selama ini, kebencian itu yang setia menemani hari-hari panjangmu?" Anginpun tak mampu menghadirkan jawab. Ia masih saja menaburkan bara dalam sekam kering yang tersiram teriknya keputus-asaan dan hapusnya kamanusiaan. Siap membara jika sewaktu-waktu jatuh percikan api pembalasan.

"Jangan kau menghasutku!" Tiba-tiba perempuan itu meradang. Ia berdiri dan menatap tajam, angin justru berjingkrak-jingkrak gembira. Perempuan itu menghentakkan kedua tangan, berusaha mengusir jauh-jauh kepekatan angin yang masih menggumpal-gumpal. Namun sia-sia, dia seperti melawan bayang-bayang hitam dirinya sendiri. Perempuan itu perlahan melangkah ke pintu yang masih terbuka. Angin tak sempat menutupnya saat buru-buru masuk memenuhi ruangnya. Bulan separuh masih menggantung diujung barat cakrawala. Memerah dikelilingi kabut tipis yang melingkar. Malam diluar begitu indah, tapi tidak bagi perempuan itu.

"Dia adalah rembulan yang mestinya tidak terlahir di sini." Perempuan itu bicara sendiri. Angin dibiarkannya sepi. "Dan tidak seharusnya dia terlahir." Perempuan itu melanjutkan kata-katanya. Bulan tampak polos tak mengerti. Terlalu jauh dirinya untuk memahami gejolak jiwa kemanusiaan perempuan itu. Bulan hanya bisa menangkap sisa-sisa kelelahan yang teramat. Atau mungkin sedikit tenaga yang terus dipaksakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun