Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memanfaatkan Orang Lain untuk Sukses

16 September 2020   06:45 Diperbarui: 16 September 2020   06:51 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu ketika, saya mendengarkan kawan saya tengah berbincang dengan kawannya yang lain. Mereka tengah membincangkan tentang masalah perkawinan. Sepertinya ada sebuah masalah, dan kawan saya mencoba memberikan semacam masukan berupa nasehat, kurang lebihnya dia berkata demikian:

"Kamu harus ngomong. Ini masalah masa depanmu. Yang penting bagimu adalah dirimu sendiri, bukan mereka. Masa depanmu ada ditanganmu sendiri. Adanya istri, keluarga, kawan dan sebagainya adalah sarana untuk kesuksesanmu."

Seperti biasa, saya tidak berkomentar apapun ketika itu. Saya hanya berpikir, benarkah nasehat kawan saya yang diberikan kepada temannya itu? Jika dilihat dari segi tanggungjawab, memang betul bahwa semua hal yang terjadi atas kita akan kita pertanggungjawabkan oleh kita sendiri. Apa yang kita buat maka akibat atas perbuatan kita pula yang diterimakan. Sehingga sebisa mungkin kita tidak melakukan sebuah kesalahan yang akan membebani kita. 

Kemudian jika ditinjau dari teori keberhasilan pribadi, perspektif bahwa semua yang ada berupa orang maupun benda dan atmosfir yang berkeliling mengitari kita merupakan sarana untuk menjadi seorang yang nantinya akan bisa disebut berhasil atau gagal. 

Keluarga yang mendukung, kawan-kawan yang menyenangkan, sarana-sarana yang memudahkan, dan semua hal yang terkait dalam hidup kita adalah pelengkap bagi kita untuk menjadi seorang pribadi yang utuh, dewasa dan bertanggungjawab. Sehingga pertanyaan yang selalu harus menjadi dasar laku adalah apa manfaat yang bisa mereka, dia, kamu, itu, dan semua yang lain berikan kepada kita untuk menjadi orang yang sempurna tersebut?

Namun kemudian, saat saya berpikir kembali, apakah benar kesuksesan itu diukur dengan sejauh mana kita bisa mengambil manfaat dari dunia luar diri kita untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya? Saya tidak menemukan kesalahan dalam nasehat yang diberikan oleh kawan saya itu, bahwa manusia dimintai pertanggungjawaban dari bagaimana dirinya bisa mengambil manfaat dari dunia luarnya. 

Hanya saja pada titik makna memanfaatkan itulah yang mesti kita kenali lebih jauh. Dalam ukuran apa manfaat yang bisa kita tarik dari dunia luar untuk kebaikan diri kita? Dalam dimensi apa dunia luar harus kita eksploitasi agar kita menjadi pribadi yang unggul? Dan dengan cara bagaimana kemanfaatan itu kita peroleh serta akibat apa yang timbul atas dunia luar karena tindak pemanfaatan kita? ini akan kita lihat dalam jawaban Nabi.

Nabi menjelaskan dalam sebuah hadits: khoirunnas anfa'uhum linnas, yang artinya, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Jika kita membaca hadits ini, maka yang terjadi seolah-olah adalah sebaliknya, karena ternyata Nabi menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, bagi lingkungan luarnya, baik manusia maupun alam raya. Bukan menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bisa memanfaatkan orang lain. Apakah ini berati ada kontradiksi?

Al Qur'an sendiri lebih banyak membicarakan tentang masalah sosial dalam arti muamalah, dibanding dengan menjelaskan tentang tauhid dan ibadah-ibadah mahdloh. Ini artinya Allah seperti memberikan pemahaman kepada kita, bahwa sebagian besar hidup kita adalah interaksi dengan orang lain dan lingkungan keseluruhan. Dan sikap tindakan kita terhadap dunia luar itulah yang menentukan kualitas seseorang.

Disinilah kemudian relevansi nilai kemanfaatan macam apa yang kita reguk dari manusia disekiling kita. dengan memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada siapa dan apa saja, berarti kita telah melakukan sebuah eksploitasi dunia luar kita untuk kemanfaatan diri kita dihadapan Allah. 

Barangkali inilah makna hadits Nabi dan tingkat kebenaran dari nasehat kawan saya di atas. Nasehat di atas akan menjadi salah total jika kita tidak sampai pada mendiskusikan dengan hadits Rasul itu. Kemanfaatan itu jika dimaknai sebagai kemanfaatan materi, bukan kemanfaatan nilai, akan menyesatkan manusia pada tingkat kesesatan yang sangat. Manusia akan menjadi predator bagi manusia yang lain.

Jadi, ukuran manfaat itu adalah interaksi, dimensi manfaat itu adalah dimensi ruhani, dan caranya adalah dengan sebanyak-banyaknya memberik kemanfaatan kepada dunia luar, dan tidak ada akibat atau tujuan yang diharap kecuali kebaikan dan keikhlasan atas Ridlo Allah SWT.

Marilah kita berlomba memanfaatkan orang-orang disekitar kita, lingkungan luar kita, sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya. Jika ada yang kesusahan tolonglah, jika ada yang mungkar cegahlah, jika ada yang sesat tunjukilah, jika ada gelap terangkanlah, jika ada yang dingin hangatkanlah. 

Jikapun tidak satupun kita mampu, janganlah kita melukai orang atau ikut menyesatkan orang, janganlah menambah kegelapan, kesempitan, atau turut serta menebar kegelisahan kepada sesama. Dengan begitu, semoga Allah SWT tidak marah kepada kita. Amin.

Semarang, 3 September 2009

*Pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun