Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Gratifikasi Dilarang?

28 Agustus 2020   19:42 Diperbarui: 28 Agustus 2020   19:37 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang sering disebut sebagai UU Tipikor dalam Pasal 12 B mengatur tentang delik gratifkasi.

Pembahasan tentang gratifikasi menarik karena wilayahnya yang tidak pasti. Gratifikasi diatur sebagai bentuk antisipasi terhadap sikap batin manusia yang serakah dan mudah tergoda. Gratifikasi dipandang sebagai akar kelahiran perilaku koruptif.

Dalam gratifikasi tidak ada kesepakatan antara pemberi dan penerima atas pembebrian yang diterimakan kepada pejabat publik. Tetapi meski tidak ada kesepakatan yang jelas, ada maksud yang tersembunyi namun jelas, bahwa atas saya telah memberi anda, maka anda tolong bantu saya. Begitu kira-kira.

Jikapun kemudian si penerima mangabaikan maksud tersebut, namun tetap menerima pemberian, dan menyatakan pemberian itu baik-baik saja, sebagai tambahan penghasilan dia sebagai pejabat public, maka ini sudah terjadi kesalahan. Inilah yang disebut sebagai gratifikasi akar kelahiran korupsi. Ketika pejabat merasa gratifikasi itu baik-baik saja selama yang bersangkutan mengabaikan maksud pemberian gratifikasi tersebut, maka potensi besar dia jatuh pada korupsi besar. Karena dia dengan mudah akan membenarkan perilaku koruptifnya, bahwa itu wajar sebagai konpensasi keberadaannya sebagai pejabat public. Jadilah dia melakukan korupsi secara sadar, tanpa merasa salah. Karena pada dasarnya, gratifikasi adalah pemberian dan penerimaan tanpa hak. Ia terlarang karena sebagai pejabat publik ia terikat etik, tidak boleh menerima yang bukan hak-nya. Hak pejabat public jelas telah ditetapkan dalam peraturan perundangan berupa gaji, tunjangan dan fasilitas resmi lainnya. Selebihnya, ia bernilai haram. Apalagi diberikan oleh sebagian masyarakat yang dipimpinnya, dimana pemberian itu dikarenakan sifat kedudukannya.

Pada dasarnya ada tiga jenis pemberian atau gratifikasi, yaitu gratifikasi natural, gratifikasi tulus tanpa pamrih, dan gratifikasi yang dengan ittikad buruk, pemberian yang ada subordinat antara pemberi dan penerima.

Pada dasarnya gratifikasi itu muncul karena adanya hak istimewa yang dimiliki tanpa ada mekanisme pertanggungjawaban atau kontrol.

Perbedaan mendasar antara suap dan gratifikasi adalah adanya meeting of mind atau deal antara pemberi dan penerima bahwa penerima akan mendapat suatu hal dan penerima akan memberikan atau melakukan suatu hal yang dilarang atau bertentangan dengan jabatannya. Sedangkan dalam gratifikasi tidak ada deal yang jelas antara pemberi dan penerima. Namun jika ada pemberian gratifikasi yang ada hubungan dengan jabatan penerima maka dianggap suap. Dan penerima dapat dikenai pidana.

Dalam pembuktian gratifikasi ada tiga system menurut Prof Edy, yaitu pembuktian lazimnya oleh jaksa, pembuktian berimbang, dan pembuktian terbalik ketika nilai gratifikasi lebih dari 10 juta.

Pada dasarnya pada aturan disiplin pegawai sudah disebutkan bahwa pegawai negeri sipil tidak boleh menerima pemberian dalam bentuk apapun dan dalm jumlah berapapun. Namun justru dalam UU tipikor pejabat public dimungkinkan menerima dengan ketentuan melaporkannya kepada KPK. Atau UPG Unit pengendali Gratifikasi di masing-masing instansi.

Karena tidak semua pemberian itu dilarang begitu juga menerimanya, maka perlu diatur lebih lanjut dalam PP untuk memudahkan penerapan aturan gratifikasi dalam prakteknya.

Pertanyaan reflektif yang harus dijawab adalah apakah kalau tidak menjabat akan ada orang yang tiba-tiba memberikan sesuatu? Jika jawabannya tidak, maka itu adalah gratifikasi yang dilarang. Misalnya, seorang yang habis mutus terdakwa bebas, kemudian dia mendapat hadiah dari pihak yang dibebaskan, jelas itu ada hubungan kausalitas, mengapa hadiah itu diberikan! Itulah gratifikasi yang dilarang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun