Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memilih Mangga Rasa Durian

27 Agustus 2020   21:59 Diperbarui: 27 Agustus 2020   22:02 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judul ini sangat pas jika kita dihadapkan pada posisi menaksir buah-buahan yang masih mentah atau justru masih berbentuk bunga. Kita tidak pernah tahu dengan pasti bagaimana nanti hasil dari buah-buahan tersebut. Apakah akan ranum dan penuh, atau bahkan rontok dan tak pernah ada yang namanya panen. Kita tidak tahu dengan pasti.

Namun bagaimana jika kita dihadapkan pada pilihan barang yang belum pasti harganya. Sedangkan kita hanya memegang uang tidak cukup banyak. 

Ada dua kemungkinan, pertama, kita akan memilih barang dengan kualitas rendah dengan keyakinan uang kita pasti cukup. Kemungkinan kedua, kita memilih barang yang bagus dengan nilai taksiran mungkin lebih tinggi dari uang yang kita miliki dengan konsekuensi kita gagal membeli.

Jika kita pilih pilihan kedua, dan ternyata uang kita cukup, ini yang namanya pas. Kita akan memiliki barang tersebut dengan gembira. Namun jika ternyata uang kita tidak cukup, maka kita hanya akan menyaksikan orang-orang yang sudah cukup gembira dengan barang dengan kualitas pas-pasan sesuai jumlah uang mereka. Sementara kita jika pun memaksa membeli barang murah tersebut, apakah bisa kita merasakan kegembiraan yang sama? Sementara standar pilihan kita sudah terlanjur tinggi?

Beberapa motivator, mendorong pendengarnya untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit. Alasannya jelas, jikapun cita-cita itu tidak kesampaian, turun tingkatan lebih rendahpun masih cukup tinggi. Sementara bagi sebagian orang, mengatakan bahwa cita-cita itu secukupnya, sesuai dengan kemampuan diri, kalau ketinggian nanti jatuhnya sakit. 

Jika sudah menggebu-gebu pingin jadi anggota DPR, setelah berjuang bertahun-tahun ternyata ujung-ujungnya hanya jadi RT, maka itu sangat sakit. Berbeda jika cita-cita dipatk sesuai dengan kemampuan, maka akan ada rasa syukur yang selalu menghias hati, dan hidup akan selalu dinaungi dengan kebahagiaan.

Para motivator bebas memompakan konsep-konsep suksesnya kepada kita. Sementara kita juga memiliki kebebasan untuk menakar, menyaring, menyimpan, atau bahkan membungkus dan menitipkannya kepada tukang sampah. Tidak ada yang salah dengan semua itu.

Ada dua kutub kisah yang berbeda. Kisah tentang kesuksesan dan kisah tentang kebijakasanaan. Jika kita baca tumpukan cerita kesuksesan, hampir semuanya berisi tentang capaian-capaian, peranan dan pengaruh. Sementara jika kita telisik tentang kisah-kisah kebijakasanaan, kita akan mendapati sikap penerimaan, keberserahan dan kecukupan.

Kisah kesuksesan menumbuhkan semangat atau bahkah menerbitkan ambisi hidup. Sementara kisah kebijaksanaan, menjadikan gejolak jiwa kita tenang, langkah-langkah sikap semakin mantab, dan tujuan hakiki yang subtil.

Saya teringat perkataan seorang kawan perempuan. "Saya tidak mau menikah dengan seorang sufi, karena hidupnya miskin". Tentu pernyataan tersebut sangat subjektif. Tetapi yang menarik adalah, apakah memang benar bahwa kesuksesan itu cenderung tidak berjalan searah dengan kebijaksanaan? Tidak bisakah orang menjadi sukses tetapi juga bijaksana?

Hidup ini adalah seni. Seni menggabungkan dan memisah. Kita semua ada seniman dan kreator diri kita masing-masing dengan mencampur dan menyatukan barbagai macam bahan kehidupan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun