Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malam Kudus ala Kiai Kanjeng

16 Agustus 2020   07:25 Diperbarui: 16 Agustus 2020   09:59 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Acara malam itu dimulai dengan pembacaan ayat suci Al Qur'an dan juga Injil dalam bahasa Arab dengan lagu tilawah yang sangat mirip. Sehingga jika tidak memperhatikan, maka sulit membedakan mana yang Qur'an dan mana yang Injil. Ini adalah wujud kebersamaan dan toleransi yang jelas batas-batasnya, papar pembawa acara.

Dalam semangat pluralisme, kemudian Kiai Kanjeng berkolaborasi dengan Paduan Suara Harvest mendendangkan lagu Malam Kudus dengan dua lirik. Kesempatan pertama, Kiai Kanjeng hanya sebagai pengiring musik sementara Paduan Suara Harvers menyanyikan lagu Malam Kudus. 

Pada kesempatan kedua, dengan nada yang sama (lagu Malam Kudus), para vokalis Kiai Kanjeng melantunkan syair shalawat Nabi, "Sholatullah salamullah/ 'Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ 'Ala yaasin Habibillah/ 'Ala yaasin Habibillah..." Tepuk tangan hadirin membahana seketika saat shalawat itu selesai.

"Tidak ada lagu Islam, tidak ada lagu Kristen. Lagu itu hanya alat, kita harus membedakannya dengan substansi" papar Cak Nun kemudian, seperti hendak menjawab keheranan para hadirin. Bagi Cak Nun, lagu itu seperti motor, yang boleh saja paginya dinaiki oleh Romo ke Gereja, dan siangnya dipakai pak Kiai ke Masjid, sehingga tidak ada motor Islam atau motor Kristen.

Menurut Cak Nun, semangat toleransi dan pluralisme beragama bukan berarti menyamakan dan menganggap sama semua agama. Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan sebagainya biarkan berbeda. Karena dengan berbeda itulah kita tahu siapa diri kita. Cak Nun sering mengibaratkan agama sebagai istri atau suami, yang tidak perlu diperdebatkan oleh para suami atau istri, pasangan siapa yang paling oke. "Jadi tidak perlu ada rapat RT yang membahas pantat istri siapa yang paling besar." Katanya disusul gemuruh tawa para hadirin.

M. Tafsir kemudian menambahkan, dalam hal kebenaran agama, yang muncul adalah kebenaran keyakinan bukan kebenaran empiris. Sehingga sudah pasti akan terjadi perbedaan. Jangankan antara Islam dan Kristen, dalam Muhammadiyah saja paling tidak ada empat golongan. Tidak semua orang Muhammadiyah itu menolak tahlilan, ada yang toleran dan bahkan ada yang bisa memimpin tahlilan ala NU. Hanya saja, dengan perbedaan itu, bukan berarti harus bertengkar.

Sementara itu, Pendeta Gunarto mengungkapkan bahwa toleransi itu berasal dari suara hati yang sejatinya dihembuskan oleh Allah. "Sehingga saat suara hati berdendang, maka dengarkanlah." Kemudian Pendeta Timotius Adidharma menambahi bahwa segala sesuatu jika dikemukakan dengan kejujuran dan ketulusan akan membuahkan kedamaian dan memiliki pengaruh yang besar.

Buah Toleransi

Perbedaan dalam beragama, tidak boleh menutup pintu kerjasama dalam bidang sosial dan kemanusiaan. "Kebersamaan dan kehangatan kita pada malam hari ini, mestinya dapat kita wujudkan dalam tindakan kita sehari-hari." Pesan Gus Nuril pada akhirnya. Menjelang Pukul dua belas malam, acara ditutup dengan doa oleh Gus Nuril dan Pendeta Andreas. Para hadirin pulang dengan tertib diiringi lagu Kolam Susu milik Koes Ploes, yang dibawakan Kiai Kanjeng. (Syarif)

*Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 3 tahun I, Mei 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun