Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya Bicara dengan Orang Lain

12 Juni 2020   06:02 Diperbarui: 12 Juni 2020   05:57 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kudekap erat bara dalam dada. Tak kubiarkan hawa panasnya menyengat keluar. Biar saja aku yang hangus terbakar. Bara yang telah kucipta sendiri, jangan sampai menyengat orang lain. Bara yang semakin hari kian besar dan semakin panas. Bara yang jika kuperlihatkan tak akan ada yang bisa menyaksikannya. Bara itu adalah gejolak hatiku sendiri. Tubuhku hampir habis lumat terbakar."

Aku menjadi mengerti mengapa jika seorang yang punya masalah cenderung mengasingkan diri dan menyingkir dari kerumunan orang-orang. Karena sebenarnya ia bukan ingin sendiri, melainkan dia ingin berdialog dengan makhluq ciptaannya sendiri, yaitu masalahnya itu. Dalam kesunyian yang dilihat orang-orang, ada begitu bnyak suara yang menyapa dan berbincang dengannya. Sehingga bahkan suara dari alam nyata begitu samar dan nyaris tak terdengar.

Seorang yang dalam masalah membutuhkan dialog yang sehat. Sebuah dialog yang benar-benar dialog, yaitu kesempatan untuk didengar dan mendengarkan. Dialog yang sebenarnya adalah suatu kesempatan baginya untuk diakui keberadaan dan diperhatikan. Jika dia dibiarkan sendiri, atau selalu mengambil jarak dari orang-orang disekitarnya, maka yang terjadi adalah sebuah kompromi satu arah yang mengakibatkan ketidak seimbangan mental. Stress adalah istilah yang kerap di sematkan orang-orang untuk menggambarkan orang seperti itu.

Apa yang akan terjadi jika hal itu dibiarkan begitu saja. Karena memang tidak akan ada tindakan destruktif yang timbul. Namun sebenarnya itu adalah sebuah langkah pembunuhan diri secara perlahan. Orang yang dibiarkan lebih nyaman dalam dialognya pribadi akan menyebabkan dirinya tidak percaya kepada orang lain di luar dirinya. Dia hanya akan memendam semua masalah dan kehawatirannya itu dalam dirinya sendiri. 

Semua masalah yang dia lihat akan mendapatkan solusi, namun solusi itupun akan tetap mengendap dan memenuhi kepalanya sendiri sampai dia merasa pusing dan benar-benar lelah. Dan satu akibat yang sangat fatal dari semua itu adalah keengganannya untuk bekomunikasi kepada siapa saja. Karena dia merasa tidak ada lagi guna bicara, toh semua orang tidak akan ada yang mau mendengar dan mengerti keadaannya. Di sinilah saya katakan bahwa separah apa pun depresi seseorang, ketika dia masih mau bercerita keadaan diri dan setumpuk masalahnya, maka dia masih bisa ditolong.

Bagaimana kita akan mengerti benar maksud dan kehendak seseorang yang tidak pernah berusaha untuk mengutarakan maksudnya, baik secara verbal maupun visual. Kita hanya akan bisa meraba-raba dan menebak. Usaha ini bisa menjadi salah satu obat atau bahkan sebaliknya, justru akan menjadi pemicu untuk memperparah keadaan. 

Ketika perkiaraan kita benar akan keinginannya, maka hal itu akan menjadi pemicu posistif baginya untuk menumbuhkan kembali kepercayaan kepada orang lain. Namun jika sampai keliru, maka yang terjadi adalah semakin terpuruk hatinya yang lemah. Bagaimana sebaiknya, perlakuan dia senormal mungkin. 

Ajak dia bicara sedekat dan sesering mungkin. Berikan kata-kata positif untuk menumbuhkan keyakinan dirinya pada diri sendiri, dan juga kepada orang diluar dirinya. Karena sebenarnya dia selalu mendengarkan, namun kelemahan hatinyalah yang selalu memberikan stimulus negative dan membawanya pada penangkapan negative yang kemudian ter-olah menjadi sinisme dan apatisme yang akut. Dia menjadi orang yang pasif sama sekali, bahkan jika semakin parah dia tidak akan lagi mempercayai perasaannya sendiri. Meskipun lapar, dia belum tentu makan, sebelum akhirnya dia benar-benar lapar, karena dia begitu apatis dan sinis akan perasaan dirinya.

Syarif_Enha@Kebumen, 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun