Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Enggan Memaafkan?

1 Juni 2020   06:35 Diperbarui: 1 Juni 2020   06:59 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Aku tidak mau memaafkannya. Dia harus menerima balasan yang setimpal." Itulah alasan yang sangat sederhana bagi seseorang, mengapa menolak untuk memaafkan kesalahan orang lain. Seolah-olah Tuhan tutup mata atas segala perbuatan seseorang karena semua orang memaafkannya. Benarkah Tuhan tidak lagi meminta pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan, jika telah dimaafkan?

Persoalan memaafkan dan tidak memaafkan selalu terkait tidak hanya pada sisi lahir dan kepentingan pragmatis. Tetapi lebih pada ranah kepercayaan dan spiritualitas. Islam memberikan konsep maaf sebagai salah satu solusi yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan antar manusia atas segala hal yang mereka perselisihkan.

Dalam sebuah ayat dengan jelas diterangkan, "Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Allah (Yang dimaksud hari-hari Allah ialah hari-hari di waktu Allah menimpakan siksaan-siksaan kepada mereka) karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (QS: Al Jaatsiyah: 14)

Dengan ayat tersebut diatas, maka menjadi terang bagi kita. Dengan dimaafkannya seseorang, tidak serta merta dia terlepas dari balasan yang mestinya dia terima. Dan secara teologis, Allah telah menempatkan orang yang beriman, artinya orang yang mau memaafkan, sebagai manusia yang selalu beruntung. Karena Dia menjamin semua hak-haknya akan terpenuhi. Bahkan akan ada tambahan bonus, karena maafkan berarti sama dengan memberikan sedekah yang tulus.

Dalam sebuah ayat lain jelas dinyatakan, "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS: Asy Syuura: 40)

Ada beberapa jenis perbuatan kejahatan yang dikategorikan oleh para ulama berkaitan dengan maaf. Perbuatan jahat manusia secara garis besar dibagi menjadi dua, kejahatan muamalat (sengketa) dan kejahatan pidana (jinayat). 

Kejahatan muamalat jika berhubungan dengan persoalan dua pihak manusia yang berselisih atas suatu persolan sehingga salah satu pihak mendzalimi atas hak orang lain. Sedangkan dalam hal pidana atau jarimat, hanya ada istilllah pelaku dan korban.

Untuk dua kategori besar tersebut, persolan maaf dapat menyelesaikan sepenuhnya persolan. Jika perselihan selesai dengan dial--dial perdamaian, maka persolan selesai. Tidak perlu lagi dipermasalahkan.

Maaf, Benar, Salah

Persoalan maaf erat kaitannya benar dan salah. Namun sering kali penempatannya rancu dalam keseharian kita. Misalkan saja kasus yang paling ramai adalah kasus pak Harto kemarin. Seluruh rakyat Indonesia sepertinya mengenal beliau, presiden Indonesa selama 32 tahun. 

Setelah wafatnya beliau, ada dua arus besar yang mensikapi kematiannya, pertama dengan memaafkan, dan kedua mengusut tuntas kasusnya. Inikan menjadi rancu ketika kita bicara konteks memaafkan dan sanksi. Baiklah kita memaafkan, tapi apa yang kita maafkan?

Tradisi kita mengajarkan sesuatu yang kurang tepat memang, kita seringkali maafkan apa yang disengaja dan tidak disengaja, memaafkan yang kita ketahui dengan jelas atau tidak kita ketahui. Ini kan namanya memberi maaf dengan sistem borongan. Ada satu cela dalam konsep memaafkan seperti ini. Meskipun sistem ini sangat menunjukkan bahwa budaya kita pada dasarnya adalah budaya damai dan mudah memaafkan. Namun kita mesti prosporsional, tahu apa yang kita maafkan paling tidak.

Dengan sistem borongan seolah semua perbuatan pelaku dimaafkan semuanya, tanpa kecuali, bahkan pada persangka-persangka jahat pelaku pada diri kita, semua kita maafkan. Tapi jelas maaf itu hanya berlaku pada peristiwa yang terjadi, tidak berlaku pada peristiwa yang akan datang. Ini penting kita batasi, jangan sampai kebaikan budaya kita dimanfaatkan oleh rezim normatifitas yang hanya percaya pada teks tertulis, hitam di atas putih.

Seorang dimaafkan karena sudah terlanjur melakukan suatu tindakan yang itu jelas salahnya, dan jelas siapa yang disalahi, sehingga semua masalah selesai. Tapi jika setelah dimaafkan, namun rupanya dalam diri orang yang dimaafkan tidak menerima maaf kita, dalam arti dia tidak menginsafi perbuatannya, tidak menyadari kesalahannya meskipun semua orang yang merasa disakitinya telah memaafkan, maka berarti dia belum dimaafkan oleh Tuhan. Karena maaf itukan perbuatan batin, yang sangat mungkin ditampakkan melalui perkataan maupun perbuatan.

Karena maaf itu perbuatan hati, maka standarnya tidak bisa diberikan secara kaku, bahwa seseorang yang menyatakan dengan kata-kata memaafkan, dalam hatinya belum pasti memaafkan. Ini berat, karena hati manusia itu selalu berbolak-balik, sehingga bisa saja, hari ini memaklumi, pada hari yang lain mengingkari. Namun untuk masalah hukum, yang harus menjadi pegangan adalan apa yang tampak.

Nabi pernah diprotes saat melepaskan seorang tahanan, karena dia mengaku bertobat. Para sahabat mengatakan bisa saja dia itu bohong. Namun Nabi menyatakan bahwa kita hanya tahu apa yang tampak saja. Persoalan isi hatinya adalah urusan dia dengan Tuhannya. 

Begitulah dalam dunia hukum dikenal kaidah "nahkumu bidzowahir", kita menghukumi dengan yang tampak-tampak saja, agar tidak terjadi salah interpretasi dan penafsiran. Inilah kelemahan dan sekaligus keunggulan hukum. Hukum memberikan kepastian yuridis yang menjadi dasar legitimasi untuk melakukan suatu tindakan.

Pada akhirnya, Tuhan itu kan jelas Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, tapi kita kadang yang kurang yakin dengan keyakinan kita. Jangan-jangan Tuhan salah sangka, dikiranya kita sudah memaafkan mereka, sehingga tidak ada pengadilan Tuhan. 

Percayalah, selama kita melakukan yang terbaik bagi orang lain, Tuhan juga akan memberikan yang terbaik pada diri kita semua. Apa sih pentingnya kita menang di hadapan manusia, dibandingkan menang di hadapan Tuhan...?

Syarif_Enha@Semarang_2009
*Pernah dimuat dalam Majalah Pesan Trend Edisi II/Mei Th. 1/2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun