Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah Kok untuk Kaya, Pendidikan Materialistis Kian Membelenggu?

24 Juli 2021   10:07 Diperbarui: 24 Juli 2021   10:26 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Ada benarnya Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland. Dalam bukunya "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" menyebutkan bagi kebanyakan orang, khususnya di Asia, ukuran sukses seseorang dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki seperti rumah, mobil, uang dan harta lainnya. Tapi passion atau rasa cinta jadi kurang dihargai. Kebaikan dan kreativitas tidak berarti dibandingkan kekayaan. Kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada "cara" memperoleh kekayaan iru sendiri. 

Maka pendidikan atau sekolah pun jadi identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pemahaman, bukan pada sikap. Sekolah dianggap tempat untuk lulus dari ujian, dari tes masuk PTN. Itulah yang jadi sebab anak-anak dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Agar jadi orang yang "tahu sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun; bukan tahu banyak tentang sesuatu hal". Apa saja dikomentarin, apa saja diomongkan.

Jadi bagaimana harusnya sekolah atau pendidikan di era digital?

Tentu, ada banyak mazhab dan argumen yang bisa diajukan. Tapi intinya, sekolah bukan segalanya untuk urusan dunia. Apalagi hanya untuk kaya atau sukses. Tanpa punya rasa kepekaan sosial atau kepedulian kepada sesama. Sekolah harusnya untuk menolong orang lain. Sekolah untuk mengedepankan "rasa cinta" dalam hidup. Sekolah yang menjadikan dunia untuk bersiap ke akhirat. Lebih beradab, lebih punya akhlak yang baik, Karena adab sejatinya memang di atas ilmu.

Maka sekolah, sejatinya harus mampu menghargai proses bukan hasil. Sekolah meraih nilai-nilai bukan harga tertentu. Agar mampu menghargai orang lain karena pengabdiannya, bukan karena kekayaannya. Biarlah anak-anak memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya. Daripada mengikuti dan tahu banyak mata pelajaran tapi tidak ada yang dikuasainya.

Pendidikan berbasis "rasa cinta" itu membiarkan anak memilih profesi di masa depan sesuai "passion". Bukan memaksanya untuk meraih profesi tertentu yang hanya lebih cepat menghasilkan uang. Karena "passion" adalah anugerah Allah SWT. Jadi pendidikan harus mampu menemukan "passion" anak. Sehingga guru berperan sebagai fasilitator, bukan "dewa" yang harus tahu segalanya. 

Dan yang terpenting, anak sekolah atau berpendidikan semata-mata karena si anak ingin jadi orang yang bermanfaat, bukan orang kaya atau sukses. Anak-anak yang mampu berpikir objektif, berjiwa besar, dan bersikap realitis. Itulah pendidikan berbasis rasa cinta, bukan pendidikan materialistis. Salam literasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen #PendidikanBerbasisCinta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun