Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musim Hujan Tanda Musim Silat Lidah; Narasi Bukan Aksi

12 Januari 2020   06:09 Diperbarui: 12 Januari 2020   06:19 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim hujan tanda musim silat lidah?

Bisa jadi, karena belakangan ini kita dihadapkan pada pertunjukkan "silat lidah". Hingga urusan banjir kemarin pun penuh dengan silat lidah. Tertangkapnya Komisioner KPU pun jadi bahan silat lidah, tentang terlibat atau tidaknya petinggi di PDIP? Belum lagi, soal kematian Lina, mantan istri Sule pun berpotensi jadi bahan silat lidah.

Jadi salah, bila musim hujan dibilang musim duren. Justri musim hujan itu tanda musim silat lidah. Hampir semua topik, apalagi politik terlalu mudah jadi arena permainan silat lidah. Saling berbantah, saling berdalih. Agar semua jadi "abu-abu", biar gak jelas mana yang benar mana yang salah.

"Silat lidah" itu berarti berdalih, memutarbalikkan perkataan.

Tentu, silat lidah adalah suguhan atau atraksi yang sama sekali tidak menghibur. Bahkan tidak bernilai dan tidak mencerahkan siapapun. 

Sayangnya, banyak orang mau dan sudi terlibat dalam "silat lidah". Apalagi para netizen dan "pemain media sosial", silat lidah sepertinya sudah jadi budaya. Saling berbantah, saling membela diri. 


Sungguh, silat lidah ibarat menonton "aksi tong setan". Menyaksikan pengendara sepeda motor berputar-putar dalam sebuah bulatan kerangka besi. Hingga membuat penonton, kehilangan orientasi, kehilangan logika, bahkan kehilangan kata-kata.

Ada benarnya kata pepatah "lidah tak bertulang".

Itulah kiasan yang pas buat orang-orang yang pandai bersilat lidah. Kata-katanya manis yang keluar dari mulutnya. Tapi perilaku dan realitasnya, tidak semanis lidahnya. Anehnya, silat lidah justru jadi gaya hidup dan budaya yang kian digemari. Banyak omong tapi perbuatan nol, itulah silat lidah.

Senang berbantah-bantahan, senang berdalih di balik kepandaian berkata-kata.

Bila silat lidah sudah jadi budaya, apa yang bisa diperbuat. Justru silat lidah adalah arena tumbuh suburnya budaya senang menuding, menebar berita bohong, hingga menghujat dan membenci. Karena itu semua. pekerjaan orang-orang pesilat lidah. Selalu saja ada yang harus dibantah. Fakta atau bukan, nyata atau tidak sudah tidak penting. Asalkan masih bisa bersilat lidah, berkata-kata kosong. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun