Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peran Bahasa Indonesia dalam Distorsi Bahasa Politik

18 Agustus 2017   22:28 Diperbarui: 19 Agustus 2017   09:49 10933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Student Univ Udayana.

Jika dilihat dari perspektif lebih sempit, distorsi bahasa politik dapat dipengaruhi oleh 1) bahasa persuasif dan 2) relasi budaya. Bahasa persuasif dan relasi budaya menyiratkan adanya motif berbahasa para politisi dalam membujuk atau memengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku masyarakat yang berimplikasi terhadap relasi budayanya. 

Bahasa persuasif (Keraf, 2004)  bertumpu pada perilaku berbahasa untuk membujuk lawan bicaranya dan relasi budaya (Parekh, 1997) menekankan pada kecenderungan dimensi interaksi sosial dan keragaman yang menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

Sebagai contoh, dalam studi yang penulis lakukan saat berlangsungnya Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Dari kajian penulis terhadap 127 teks persuasif para paslon yang tersebar di 18 media cetak dan online, dalam tiga bulan terakhir (Nov 2016 -- Jan 2017) dapat diketahui teknik bahasa persuasif dan tipe relasi budaya (Koran Jakarta, 17 April 2017) yang diperagakan para paslon selama kampanye adalah sebagai berikut:

Dari aspek bahasa persuasif, seluruh paslon Gubernur DKI Jakarta pada dasarnya memiliki kecenderungan dan lebih dominan menggunakan bahasa yang bersifat sugesti (mengumbar janji) 46%, sedangkan yang bersifat rasionalisasi (sesuai logika kebenaran) 27%, dan bersifat identifikasi (mempromosikan diri) 27%. Hal ini berarti, bahasa persuasif sebagai  simbol bahasa politik dalam membujuk pemilih lebih menekankan pilihan kata-kata yang bertumpu mengumbar janji dan harapan tanpa dasar kepercayaan yang logis.

Dari aspek relasi budaya, seluruh paslon Gubernur DKI Jakarta cenderung memiliki relasi budaya yang dominan bertipe kritikal (cenderung berbeda) 38%, sedangkan tipe akomodatif (akomodasi kepentingan) 24%, tipe otonomis 18% (kesetaraan/kolektivitas), tipe isolasionis (individualis) 13%, dan tipe kosmopolitan (kultur bebas) 7%. 

Hal ini dapat disimpulkan bahwa tipe relasi budaya seluruh paslon lebih mengacu pada kultur interaksi yang distingtif, atau bersifat membedakan. Budaya kritikal lebih menonjolkan keunggulan atau kelebihan paslon untuk meraih simpati pemilih. Patut dicermati, relasi budaya tipe akomodatif pun tergolong besar sebagai cerminan komitmen para paslon untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.

Sadar atau tidak sadar, bahasa politik hari ini telah menimbulkan distorsi, menimbulkan penyimpangan yang dapat berdampak terhadap rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa. Bahasa politik yang cenderung destruktif dan kontroversial patut diredam. Bahasa politik harus berani berubah dan memilih orientasi berbahasa yang lebih bermartabat, penuh kesantunan, dan mencerdaskan.

Berangkat dari realitas tersebut, sekali lagi, bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa kini berhadapan dengan "tantangan baru" untuk tampil ke muka dan berjibaku untuk membenahi bahasa politik dan diplomatik. 

Dengan pengalaman sejarah yang dimiliki sebagai bahasa lingua franca di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara,bahasaIndonesia harusmempunyai"kesanggupan" untukhadir kembali sebagai bahasa politik dan diplomatik yang mampu mempersatukan seluruh elemen masyarakat. Inilah peran terpenting bahasa Indonesia dalam distorsi bahasa politik yang berkembang belakangan ini.

Bahasa Indonesiasebagai bahasa bukanlahsistem linguistik, bahkan bukan alat komunikasi semata. Bahasa Indonesia mencakup seluruh tatanan kehidupan manusia, termasuk tatanan politik dan diplomatik. 

Bahasa Indonesia harus mampu menjadi alat pembentuk kepribadian dan karakter dunia politik dan diplomatik, termasuk para politisi dan partai politik yang lebih bermartabat, yang lebih menghargai perbedaan sambil tetap memelihara keberagaman. Distorsi bahasa politik akan bisa diredam dengan menghadirkan kembali sistem nilai-nilai yang dimiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa lingua franca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun