Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peran Bahasa Indonesia dalam Distorsi Bahasa Politik

18 Agustus 2017   22:28 Diperbarui: 19 Agustus 2017   09:49 10933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik sebagai arena peperangan untuk meraih kekuasaan memang tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Bahasa sangat mungkin mewakili kasta politik. Karena bahasa pula, politik dapat menjadi nista. Bahasa di panggung politik, sungguh berada di antara kasta dan nista (Yunus, 2016). Sebagai contoh, ketika dinamika pilkda serentak di 101 daerah pada Februari 2017 lalu, tiba-tiba bahasa muncul sebagai dimensi yang pantas diperdebatkan. 

Bahasa yang menjadi alat kampanye, bahasa yang menimbulkan multitafsir. Bahasa, sungguh menjadi "kendaraan" politik yang paling murah untuk dieksploitasi. Bahkan bahasa, seringkali terdistorsi di ranah politik dan diplomatik.

Bahasa politik kini berdiri di antara kasta dan nista. Bahasa sebagai simbol kasta politisi. Bahasa juga menjadi alat menistakan politisi itu sendiri. Karena bahasa, sungguh menjadi cerminan politisi dan politik itu sendiri. "Sifat-sifat masyarakat terutama dapat dipelajari dari bahasanya, yang memang menyatakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat tersebut" (Kailani, 2001).

Politik Cenderung Memilih Bahasa yang Berbeda

Kini, bahasa politik jadi tidak asyik diikuti dan dinikmati. Cara politisi berbahasa hanya membuat wacana baru dan mengundang perdebatan. Makin menjauh dari nilai rasa bahasa dan hanya permainan kata-kata tanpa makna. Bahasa politik sama sekali tidak memberikan keindahan dan metafora yang nyaman untuk dirasakan. Karena bahasa politik, hanya menjadi simbol kasta dan alat menistakan.

Bahasa di panggung politik adalah kepentingan kasta, kepentingan kekuasaan. Bahasa yang dipenuhi oleh kata-kata kamuflase untuk meraih simpati demi kekuasaan, penuh janji-jani kosong. Bahasa untuk kasta, melekat pada politisi yang kemarin bukan siapa-siapa lalu bernafsu untuk menjadi siapa-siapa. Bahasa yang kemarin apa adanya, kini menjadi ada apanya. Bahasa politik untuk kepentingan kasta.


Bahasa di panggung politik seringkali menjadi alat penistaan, bahkan menistakan. Bahasa nista yang tidak lagi berdasar pada argumentasi logis dan realistis. Bahasa yang terlalu mudah kehabisan kosa kata lalu berganti ujaran kebencian, caci-maki, sumpah serapah dan hujat-menghujat. Bahasa yang kemarin biasa menjadi bahasa yang nista. Bahasa politik untuk menistakan satu sama lainnya.

Sadar akan dinamika bahasa di bidang politik, semua pemakai bahasa Indonesia termasuk para politisi harus bertanggung jawab untuk mengembalikan slogan "bahasa menunjukkan bangsa". Bahasa yang penuh kesantunan hakiki, bermakna realistis, dan menjadi alat kebaikan. Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa yang diremehkan tapi merasa nasionalis.

Timbulnya masalah bahasa di panggung politik, sungguh menjadi bukti ketidakpedulian kita terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa yang gagal menjadi "tuan rumah di negerinya sendiri". Maka wajar, kita lebih memilih bahasa yang berbeda. Bukan memilih bahasa yang mempersatukan. Hari ini, ada kecenderungan politisi dan masyarakat yang lebih memilih "bahasa yang berbeda".

Kalau hari ini dan mungkin esok, kita masih bersama dalam suatu bangsa. Masih bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan penuh pengertian dan kesejukan. Bisa jadi, itu semua karena kita menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Indonesia. Sungguh, bahasa politik bukanlah politik bahasa. Kita hanya butuh sikap untuk menghormati dan memelihara bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia.

Di dunia politik, bahasa merupakan kekuasaan (language is power) dan sangat berperan dalam mencapai tujuan nasional maupun internasional suatu bangsa. Bahasa membentuk suatu ikatan sosial melalui interaksi dan proses saling  mempengaruhi pemakainya (Kurniawan, 2003). Disebutkan pula bahwa penyebaran bahasa (di dunia) menunjukkan bahwa bangsa tersebut telah menguasai (dunia). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun