Mohon tunggu...
Syarif Hidayatullah Nasution
Syarif Hidayatullah Nasution Mohon Tunggu... -

Penulis. Mahasiswa Fakultas Hukum Krisnadwipayana. Musisi Jalanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Air Mata di Mangkuk Soto (Sebuah Keromantisan Tuhan)

25 September 2012   15:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:42 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13485877341713338695

True Story of Canephora Aku masih didunia khayalan, gelap dan tidak tahu kapan ini bermulai, yang jelas terakhir kali mataku terpejam dengan betis yang pegal dan perut telah kenyang. Dalam keadaan itu, kulit pipiku merasakan suatu sentuhan yang jelas bukan dari dunia khayalan itu, sebuah sentuhan yang sepertinya cinta. Betulah dan terbukti prasangkaku, bahwa itu cinta, cinta yang didaratkan lewat bibir istriku yang mendarat dipipiku tepat saat aku membuka mata. Sebuah hal romantis yang yang katanya tidak pantas dilakukan oleh orang miskin sepertiku. Dia memandangiku bersama perut buncitnya, hasil perbuatanku dan kegilaan kami yang menyebabkan rusaknya tempat  tidur kami, itu hampir  Sembilan bulan yang lalu. IsTriku menatapku yang masih terbaring  dirumah kontrakan kami yang tiga petak, ia tidak bicara namun mukanya menghadap ke jam dinding rumahku. Itu isyaratkah? Tentu itu isyarat yang sopan untuk membangunkanku agar bergegas mandi dan bekerja. Dengan setengah gontai aku menuju kamar mandi, memulai aktifitas memanjakan diri dengan air jet pump, tanpa shower dan hanya dengan sabun batangan yang seharga Rp. 1500. Badan sudah kupuaskan dengan air-air Tuhan dan pasta gigi telah menghapus sisa makananku semalam. Berpakaian, meminum segelas air dan tanpa sarapan. Aku sudah didepan pintu dengan gitar yang telah dipundak, identitas seorang pengamen yang bernyanyi pagi hari ditengah orang melanjutkan sisa tidur pagi ini didalam bus kota. Istriku menyalamiku dengan mencium tanganku, diiringi doa dan kuberi sedikit elusan kasih sayang ke calon anaku yang akan lahir bulan ini menurut perhitunganya. Aku melangkah.. Hari ini adalah hari dimana arisan kami yang tergabung sesama penyanyi jalanan akan dikocok, arisan yang tergabung dari 15 orang dengan penarikan Rp. 1.000.000 perbulanya. Beberapa hari sebelumnya aku sudah mengintrusikan pada para peserta arisan itu, aku meminta dispensasi agar hari ini biarlah aku yang mendapat arisan untuk biaya bersalin istriku kelak. Semua menyetujuinya tanpa ada rasa yang dapat menganjal hati mereka, artinya hari ini uang itu dapat kugengam. Cuma uang itu tabunganku dan harapanku yang dapat melahirkan penerus pemikiranku yang masih diperut istriku yang cantik itu. Kasihan ia, padahal cantik dan bertitel sarjana pula, entah apa yang membuatnya yakin hingga mau menikah denganku yang seorang pengamen dan penulis yang masih luntang-lantung mencari penerbit. Keyakinanya itu yang membuatku semangat untuk berjuang membuat keyakinanya itu tidak salah. Pagi ini pekerjaanku kuawali dengan sebatang rokok, segelas kopi dan sebait lagu Daniel Sahuleka untuk pemanasan tenggorokan. Sambil berfikir, memilih bus apa yang akan kutumpangi untuk sebuah logam kasih sayang dari para penumpang bus kota itu. Akhirnya pilihanku jatuh pada bus patas AC 05 jurusan Blok M-Bekasi, AC nya dingin merasuk tulang, mobilnya tidak berisik dan penumpangnya punya selera yang bagus dalam musik. Salam kuberikan kepada para penumpang dengan aksen muka penuh senyum, agar pengamen yang baik dan benar menjadi asumsi meraka saat itu. “selamat pagi untuk cinta, musik dan kedamaian. Aku mohon maaf jika suaraku dan gitar usangku ini akan menggangu telinga anda yang harunya terdengar sunyi agar dapat beristirahat dimobil ini. Ijinkanlah aku bekerja dimobil ini atas nama seni, baiklah untuk lagu pertama adalah sebuah Lagu milik Daniel Sahuleka, I Adore You” Suara petikan gitarku dan bait pertama lagu itu “ I Maybe not romantic….” Sepertinya tidak membERikan ganguan pada para penumpang, setidaknya aku dapat menyaksikan dari raut wajah mereka yang tidak merengut ataup berkecap lidah. Aku bernyanyi bak dipanggung mewah, setidaknya itulah khayalanku untuk menghibur diri dan melupakan sejenak bahwa aku ini pengamen bus kota. Alunan lagu yang kumainkan tidak ingin menyakiti telinga mereka, ritme, tempo dan irama harus kumainkan secara balance. Ini bukan masalah sok keartisan atau sok musikus, hanya ingin menunjukan pada mereka dan bangkunya bahwa aku tidaklah mengemis, tetapi aku mempertunjukan  seni yang mungkin bisa dihargai dengan uang ataupun senyuman manis. Ini tentang harga diri. Sebab aku dijalanan ini bukan melacurkan diri pada uang, tapi bentuk pemberontakan ketika diperkosa oleh keadaan Empat buah lagu telah kumainkan, ucapan maaf dan terima kasih lagi-lagi kuhaturkan pada mereka. Tanganku tidak dibawah untuk meminta, namun diwakili oleh sebuah kantong permen yang jadi ciri khas balada penyanyi jalanan. Perlahan kantong itu mulai berbunyi benturan uang logam, sesekali lembaran uang kertas mampir dari setiap baris tempat duduk penumpang hingga kebelakang. Awal yang baik untuk perjuanganku hari ini, mobil itu kuikuti memutar ke Blok M untuk kembali ke Bekasi Barat tempat perkumpulan pengamen yang menamakan dirinya ORTOBA. Jam 09:21 aku sudah mendarat diBekasi Barat, bertemu dengan teman-temanku yang sepenanggungan itu. Aku menyalami satu persatu temanku yang ada disitu sebagai lambang persaudaraan, terlihat segelas kopi dikelilingi oleh empat orang temanku. Bukan, bukan mereka tidak mampu beli atau mereka pelit hanya untuk segelas kopi. Itu sebuah lambang kebersamaan ditempatku ini, Kebersamaan Cukup Dengan Segelas Kopi, sebuah idialisme persaudaraan yang menurutku kuat. Bagaimana tidak kukatakan sebuah idialisme persaudaraan, mereka minum dari segelas kopi yang sama, enzim-enzim liur mereka menempel menjadi satu digelas itu yang berpotensi tetularnya berbagai penyakit. Tetapi Tuhan menunjukan keadilanya, alhasil kami tidak sakit, walau diterpa hujan dan panas kami tidak sakit. Sekalipun sakit, obat yang dijual diwarung cukup mengobati dan tidak berkepanjangan. Hal-hal seperti inilah yang membuatku tertarik belajar dari mereka dan menulis hal tentang filosofi yang kudapat dari dunia pinggiran ini. Mobil bus non-Ac 9B jurusan BekasI-Kp.Rambutan datang, sepertinya aku harus naik karena acara arisan anak jalanan akan dikocok sebentar lagi yang bertepatan di wilayah KP.Rambutan. Aku menaiki mobil itu, sepanjang pejalanan aku membayangkan bagaimana anaku nanti lahir dan perasaan tenang karena sebentar lagi aku sudah menggenggam uang untuk persiapan bersalin istriku. Mobil yang kutumpangi telah membawaku dan sampai pada tempat tujuanku daerah Kp. Rambutan yang tepatnya di Jalan Baru. Aku turun, melangkah kearah sebuah warteg disamping pedagang soto ayam Surabaya, tempat kami melangsungkan kegiatan rutin itu. Terlihat warteg itu dudah dipadati teman-temanku yang juga menjadia anggota arisan, aku menyalami mereka satu-persatu dengan wajah sumringah karena mereka telah merelakan hari ini untuk menyerahkan uang tanpa mengundinya terlebih dahulu. Namun ada yang aneh sepertinya, mimik wajah mereka seperti ada yang menganjal, semoga saja semua lancar, Egi memanggilku untuk duduk didekatnya. Aku menghampirinya, “Dok, ini sebelumnya Gua minta maaf ini. Jadi begini, ada beberapa anak yang tidak setuju uang itu langsung ke elo, jadi harus dikocok karena mereka butuh juga.” Kata Egi setengah tidak enak. Bahasa itu berhasil membuat mentalku jatuh dan tersenyum getir. “Gitu ya Gi, yah kalo memang begitu gua bisa bilang apa………inikan harus persetujuan semua temen-temen, tapi sebelumnya boleh gua tahu siapa orang yang nggak setuju??” tanyaku. Egi menunjuk dua orang temanku yang menunduk tidak menatapku dan tidak penting kusebut namanya. Aku mengiyakan agar arisan itu diUndi, aku melihat temanku yang tidak setuju itu, aku pandangi ia dengan tersenyum getir tanpa dendam. Mereka diam tidak berkata apa-apa dan tertunduk malu, seolah-olah mereka sadar bahwa sangat tega tidak membantu teman disaat yang kritis malah menghujam perasaanya. Saat itu aku sadar, mungkin mereka juga sama pada saat itu, sama-sama membutuhkan uang arisan itu. Aku keluar dari warteg itu ditengah teman-temanku yang sibuk mempersiapkan kocokan itu, aku mencoba tegar tetapi hatiku bergetar. Aku melangkah kewarung sebelah yaitu soto Surabaya, kupesan semangkuk soto untuk menutupi kesedihanku. Entah apa yang membuatku harus takut menghadapi kenyataanku saat ini, padahal aku seorang yang kuat dengan cobaan, mantan atheis, seorang pemikir keras, dengan tulisanku yang sering terpampang dikoran dan saat ini tertunduk diwarung soto meratapi nasib. Semangkuk soto disodorkan oleh sipedagang yang kukenal, Bejo. Dia menepuk pundaku sambil tersenyum karena ia tahu apa masalahku saat ini, aku balas senyum getirku padanya. Aku menghadap semanggkuk soto, dimanggkuk itu tiba-tiba aku melihat kembali wajah istriku tadi pagi, yang penuh harap, penuh doa dan cinta. Hari ini sepertinya aku kalah akan usahaku sendiri aku tidak kuat melihat senyumnya yang penuh berkah 1000 malaikat itu, Masya Allah, air mataku mengembang hendak tumpah, aku ingin menahanya karena itu adalah harga diriku yang akan tumpah. Tess. Setetes air mataku jatuh kekuah soto yang akan kusantap, dengan gemetar aku memegang sendok. Sedikit lirih aku mengeluarkan suara yang kecil untuk istriku “Yek, maafin gue ya, gue nggak bisa bawa uang hari ini untuk persalinan anak kita, maafin Abi yak nak”. Tess untuk kedua kalinya air mataku jatuh, mungkin soto itu bertambah asin jadinya, aku ikhlas. Aku memakanya sambil mengelap air mataku, Kodok Canephora menjadi pecundang hanya karena uang arisan?. Hari ini menatap sifat yang lebih khawatir dengan materi, sebuah idialisme yang terkikis oleh keadaan yang matrealistis. Aku menangisi dan menertawai diriku sendiri. Ditengah kegalauan dan air mata yang jatuh tersendat-sendat, Tiba-tiba badanku ditepuk seseorang yang membuatku spontan berbalik, ternyata Rizal. “GILA BRO, EMANG INI REZEQI ANAK LO BRO!!” katanya seraya memberikan gulungan kertas kecil yang bertuliskan KODOK. Masyaallah, ternyata aku yang dapat arisan?? Aku spontan berdiri, aku meninggalkan sotoku itu dan kembali kedalam warteg untuk memastikanya pada Egi sang penjaga arisan. Mereka yang ada disitu mengiyakan bahwa aku yang dapat dengan senyum takjub mereka. Ternyata 1000 malaikat yang menghiasi senyum istriku menyampaikan pesan Tuhan dengan cara yang romantis, aku baru sadar bahwa malaikat beserta pada senyum-senyum doa, hari itu seolah Tuhan menurunkan sekompi malaikat sebagai bala bantuan dan pelita kesedihanku barusan. Uang itu kuterima, dua teman yang tidak setuju itu hilang entah kemana dari hadapanku. Hari ini aku ditampar keras oleh pemikiranku sendiri, oleh idialisme yang mungkin saja tidak bisa menyelamatkan keluargaku dari masalah ekonomi. Ini sebuah realitas kemiskinan yang harus kulalui akibat idologi yang tertanam disombongnya urat-urat syaraf otaku. Aku butuh pertolongaNYA, aku butuh mukzizatNYA dan logilkaku semata ternyata tidak terpakai dalam kisah ini, nuranilah yang berperan dan jadi tokoh utama. Malaikat masih bersamaku, bukan untuku, bukan untuk istriku, tetapi untuk calon anakku, calon malaikat kecilku, calon putri dikerajaanku. Benarlah Tuhan tidak akan memutus rezeqi pada orang yang berusaha, jika para penjahat masih bisa hidup hingga saat ini, mengapa aku dan keluargaku tidak bisa??. Ini untuk cinta, aku tidak habis berfikir akan kisah ini dan takdirnya. Istriku dengan kesarjanaanya bisa yakin dengan hidupku yang akan berubah, akan kubuktikan itu dan kumulai usaha itu detik ini. Jika Tulisanku tidak setara dengan Francis Bacon atau musiku tidak Setara dengan kualitas Daniel Sahuleka, artinya aku telah gagal..akan kubuktikan itu, yakinlah keluargaku. Semua itu kularutkan dalam sebuah kopi, sebatang rokok dan sebait lagu Daniel Sahuleka “You make my world so colrfull….” . Untuk istriku tercinta Andrianty Puspita dan calon malaikat cantiku Abigail Zia Tabriiz AL sYAndRIA Nasution. Aku menyayangi kalian sebagaimana Tuhan menyayangiku dengan cara yang romantis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun