Mohon tunggu...
Syamsul Hadi
Syamsul Hadi Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa

Suka oenekitian tentang hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Rancangan RKUHP

7 April 2023   19:34 Diperbarui: 7 April 2023   19:40 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Urgansi Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Indonesia.

Pasca Kemerdekaan, Upaya Reformasi Etnis di Indonesia Hukum nasional dipresentasikan pada Simposium Hukum Nasional pertama pada tahun 1963, Indonesia mulai mengejar dan menyempurnakan diri dengan berusaha memperbaharui Injil RUU Hukum Pidana. Pada saat upaya sedang dilakukan untuk mereformasi hukum pidana Bangsa ini diharapkan benar-benar mewakili peradaban bangsa Indonesia kebenaran. Diharapkan reformasi hukum pidana nasional akan tertulis Dalam hukum pidana baru yang mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Dan jugak Dalam hukum pidana modern, asas legalitas dan asas hukum pidana harus dicantumkan Legitimasi hukum pidana itu sendiri didasarkan pada beberapa asas, yaitu: 

- Pertama, exscripta (ketentuan hukum pidana harus tertulis dan tidak dapat dipidana menurut hukum adat). 

-Kedua, petikan (ungkapan ketentuan hukum pidana harus jelas).

- ketiga lexstricta (ketentuan hukum pidana harus ditafsirkan secara tegas dan dilarang analogi),

4. Empat lexpraevia (ketentuan hukum pidana harus berwawasan ke depan/masa depan dan tidak dapat berlaku surut) Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia modern tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Wetboek van Strafrecht Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat Hukuman, kecuali sejauh yang ditentukan oleh hukum pidana yang ada. Ditinjau dari asas legalitas hukum pidana, hanya perbuatan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang dapat dipidana. yaitu Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia modern tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Wetboek van Strafrecht Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat Hukuman, kecuali sejauh yang ditentukan oleh hukum pidana yang ada. Dari perspektif asas legalitas hukum pidana, jelaslah suatu perbuatan Pidana hanya dapat dijatuhkan jika ada hukum pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, setiap orang bebas melakukan apa yang mereka inginkan Meski begitu, asalkan perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang. Polisi-jaksa-hakim tidak diperbolehkan untuk menangkap, menahan dan memeriksa orang sehubungan dengan perbuatan mereka jika perbuatan tersebut tidak secara substansial dilarang dan ditentukan oleh undang-undang secara tertulis.

Menurut beberapa mahasiswa dan para sarjana hukum pidana Indonesia, hal ini berakibat bahkan perbuatan seseorang Diduga bertentangan dengan norma, nilai dan adat/kebiasaan masyarakat Indonesia. Dengan pluralisme, relativisme hukum, "semangat dekolonisasi" dan Oleh karena itu, "moralitas Timur" semacam ini secara hukum dikecualikan dari rancangan hukum pidana dengan ketentuan asas legalitas hukum pidana. Walaupun Pasal 1 KUHP tetap mempertahankan ekspresi asas legalitas dalam hukum pidana saat ini, Pasal 2 menjatuhkan hukuman tidak hanya berdasarkan aturan hukum tertulis, tetapi juga moral dan nilai masyarakat, Hal ini secara jelas dinyatakan dalam kata-kata Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU KUHP, Isinya sebagai berikut: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 1 Untuk mengurangi keefektifan hukum yang ada dalam masyarakat yang menetapkan bahwa seseorang harus dihukum meskipun perbuatannya tidak ditentukan dalam undang-undang ini; (2) hukum yang hidup dalam masyarakat Acuan pada ayat 1 berlaku di mana undang-undang itu ada, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.Dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip umum hukum diakui oleh masyarakat sipil. Ada beberapa jugak yang harus di ketahui sebagai catatan kritis untuk dijadikan bahan pertimbangan agar perumus RUU KUHP melakukan evaluasi dan penelahaan secara komprehensif sebagai bahan penyempurnaan sebelum disahkan menjadi UU.6 Pertama, ambiguitas terhadap asas legalitas. Di satu sisi dalam Pasal 1 ayat (1) mengadopsi asas legalitas yang menyatakan bahwa “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”. Kedua, tidaklah tepat jika perubahan UU dapat mengakibatkan terjadinya alasan menghapuskan pelaksanaan pidana. Misalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, sehingga dapat berimplikasi terjadinya penyelundupan hukum, dan akan berdampak bagi tindakan pidana yang bersifat extraordinarycrime. Maka nyaris dapat diasumsikan pasal itu bertujuan menyelamatkan kejahatan-kejahatan yang luar biasa. Ketiga, masih banyak ditemukan pasal yang mengekang kebebasan berekspresi yang merupakan hak fundamental rakyat dalam negara demokrasi. Keempat, RUU KUHP juga mengancam eksistensi banyak Undang-undang yang bersifat spesialis karena bernuansa mensubordinasi yang semestinya tidak diatur berbeda, karena akan bertabrakan dengan asas lexspecialis derogatlegi generali, seperti UU KPK, UU Pers, UU Advokat dan UU lainnya Kelima, masih banyak perumusan tindak pidana multitafsir. Seharunya perumusan tindak pidananya jelas (lexstricta). Misalnya terkait tindak pidana hubungan seks berbeda jenis kelamin, perbuatan cabul, sehingga ketika diterapkan unsur-unsur pidana sesuai dengan pasalnya mengandung banyak perbedaan makna.

PENUTUP.

        I. Kesimpulan

1. Perubahan dalam bentuk Undang-Undang Dasar/Konstitusi didasarkan pada TAP MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentag Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Tuntutan reformasi yang menghendaki agar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diubah, sebenarnya telah diawali dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Pada forum permusyawaratan MPR yang pertama kalinya diselenggarakan pada era reformasi tersebut, MPR telah menerbitkan tiga ketetapan MPR. Ketetapan itu memang tidak secara langsung mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi telah menyentuh muatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga Ketetapan tersebut adalah Pertama, Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Perubahan Konstitusi sendiri memiliki 2 model yakni perubahan (amandemen) dan pembaharuan/penggantian (renewal). Mekanisme Perubahan konstitusi/UUD 1945 diatur dalam pasal 37, antaranya mengandung norma-norma; (1) lembaga yang berwenang melakukan perubahan adalah MPR, (2) usul untuk melakukan perubahan UUD dapat diagendakan dalam Sidang MPR bila diajukan oleh 1/3 anggota MPR, dan (3) usul perubahan UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, (4) syarat quorum untuk melakukan sidang MPR untuk mengubah UUD harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR, (5) putusan untuk mengubah UUD harus dengan persetujuan sekurangkurangnya 50 % + 1 dari seluruh anggota MPR. 

2. Mengingat tentang KUHP yang kita miliki sekarang masih merupakan KUHP peninggalan kolonial, ada tiga cara pembaruan hukum materiel di Indonesia, yakni; Pertama, Membuat Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Kedua, Penambahan, pencabutan, dan perubahan pasal-pasal KUHP secara parsial. Ketiga, Penyusunan RUU KUHP. Dalam penyusunan RUU KUHP, Indonesia diharapkan perlu memiliki KUHP Nasional sendiri, ada 3 alasan yang mendukung perlunya memiliki KUHP sendiri, yakni: (1) alasan politik, adalah suatu kewajaran apabila Negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP Nasional yang dihasilkan sendiri. (2) alasan sosiologis, suatu KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa. (3) alasan praktis, adalah karena jumlah penegak hukum yang paham WvS semakin sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun