KONDISI EKSISTING IBUKOTA JAKARTA
Masyarakat industri moderen sekarang berada dalam ekosistem dunia yang penuh ancaman (State of the world-1984) atau "rasa aman yang palsu" seperti yang disinyalir oleh Lester R, Brown, dkk (1987) bahwa pada akhir abad XX, kerusakan lingkungan hidup dunia telah melampaui titik ambang kritis akibat tindakan seluruh penduduk dunia lebih 5 milyar mengakibatkan perubahan pada daya dukung (sistem) alam dan bisa mencapai kehancuran, Â baik ditingkat benua maupun seluruh jagad.
Namun banyak orang meremehkannya, padahal dampak lingkungan sebagai akibat ulah manusia setiap tahun semakin meningkat. Bahkan sebagian masalah lingkungan itu bersifat global dan  mengancam kehidupan di seluruh bumi. Masalah serius yang bersifat regional seperti hujan asam dan yang bersifat global seperti pemanasan global (Global Warming) telah menyebabkan kepunahan jenis dan kerusakan lapisan ozon di atmosfir.
Pemanasan global ialah peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca akibat penggunaan zat-zat berbahaya seperti karbon dioksida, metana, nitrat oksida dan klorofuorkarbon yang menjadi timbunan gas dalam atmosfir  yang terperangkap panas matahari, sehingga menimbulkan peningkatan suhu.
Menurut Otto Soemarwoto (1994) pemanasan global mempunyai berbagai dampak lingkungan, antara lain dengan kenaikan suhu sekitar 1,5 s/d 4,5 C tahun 2030, akan menyebabkan permukaan laut naik sekitar 25 s/d 140 Cm, sehingga daerah pantai yang rendah tenggelam, seperti sawah, tambak dan bagian kota yang rendah.
Naiknya permukaan air laut, beberapa pulau kecil akan hilang, garis pantai akan mundur mencapai lebih dari 60 Cm arah ke darat. Indonesia termasuk negara yang banyak menderita akibat bencana global ini, sebab memiliki 17.480 pulau yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar, namun 65% pulau-pulau kecil sangat rentan, selama ini telah 24 pulau kecil  hilang.
Degradasi lingkungan yang parah, dampak pemanasan global dan perubahan iklim, akan mempengaruhi kapasitas daya dukung dan daya tampung bumi, seperti yang dialami ibukota Jakarta. Permukaan air laut naik dan garis pantai mundur mencapai 1 meter, tak terbilang banyaknya daerah pantai yang rendah tenggelam, seperti sawah dan tambak di pantura serta bencana banjir langganan tak mampu diatasi di Jakarta, bahkan meggenangi kediaman presiden.
Mengapa banjir sulit diatasi, karena daratan semakin rendah dan air laut naik, dipersulit pula oleh desain drainase dalam tanah kota tua Jakarta penuh sampah aneka ragam yang menghambat sirkulasi pembuangan air ke laut.
Kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan paru-paru kota yang berfungsi menyimpan air hujan gersang, sumber air tanah dieksploitasi secara berlebih oleh puluhan juta penduduk dengan jutaan pula deretan bangunan pencakar langit yang sudah melampaui kapasitas daya dukung dan daya tampung kota Jakarta yang tercermin dari meningkatnya reklamasi pantai untuk permukiman.
Upaya menjadikan Jakarta sebagai kota megapolitan modern, melalui ekapansi wilayah sangat terbatas, tingkat kerentanan dan ketahanan aneka ragam yahati kurang diperhatikan, konstruksi jaringan listrik, komunikasi dan transportasi bawah tanah beresiko tinggi, saluran drainase dan perpipaan air bersih, gas, biogas, minyak  dan lain-lain yang berada dalam tanah juga tidak memungkinkan.
Pengendalian penduduk, bangunan, jalan dan sarana perhubungan dibiarkan tumbuh alami, sehingga jaringan transportasi di atas tanah terpaksa dilakukan dengan biaya mahal. Bukti sederhana saja, jumlah sampah organik dan unorganik mencapai jutaan ton sehari termasuk limbah beracun B-3 tidak mampu didaur ulang dan dikendalikan.