Mohon tunggu...
Syamsul Bahri
Syamsul Bahri Mohon Tunggu... Dosen - Saya seorang aparatur sipil negara (ASN) yang kebetulan menjadi dosen sosiologi pada Jurusan Sosiologi Fisip Universitas Riau sejakl tiga (3) dekade yang lalu.

Saya sangat suka belajar, mengaplikasikan ilmu saya dalam kehidupan masyarakat dan sampai saat ini masih belum terpenuhi rasa puas seorang ilmuan yang bergelut dalam bidang ilmu-ilmu sosial, khususnya Sosiologi yang menurut saya sangat menarik dan menentukan bahkan merupakan prioritas seluruh masyarakat dunia untuk dijadikan referensi menuju masyarakat yang dicita-citakan atau yang diimpikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sepotong Pemikiran buat Pak Jokowi

29 Januari 2020   02:47 Diperbarui: 29 Januari 2020   03:07 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

wacana relokasi ibukota jakarta

Perlu Atau Tidak ?

Oleh : Syamsulbahri[1]

PENDAHULUAN

Rencana Pemerintah Republik Indonesia yang telah merebak ke publik kira-kira satu semester ini dalam tahun 2019, ternyata mendapat banyak tanggapan dari berbagai pihak, baik melalui jejaring media sosial, media cetak maupun talk show yang ditayangkan media visual televisi. Permerintah rezim Jokowi dan Ma'ruf Amin periode kedua ini, terlihat masih mewacanakan relokasi ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur dengan maksud mengumpulkan ide, pemikiran dan tangapan dari berbagai pihak dan pemangku kepentingan ditengah masyarakat meskipun tidak terkoordinir.

Jika wacana relokasi ibukota ini telah menjadi sebuah rumusan draft rencana berupa naskah akademik, tentu dapat dipastikan akan segera dibahas oleh satuan kerja pemerintah terkait sampai persetujuan parlemen.

Tulisan ini juga merupakan tanggapan kritis dari seseorang warga negara nun jauh di daerah, yang merasa tergelitik dan memberanikan diri untuk menyampaikan ide, pendapat dan pertimbangan tentang wacana relokasi ibukota tersebut yang telah polemik saat ini. Terlepas dari latar belakang status sosial aktor individual, kelompok, organisasi kemasyarakatan, partai politik yang pro, kontra maupun bersikap independen terhadap pemerintah yang berkuasa, tercatat banyak menyuarakan dan menuangkan pendapat, pemikiran dan aspirasinya tentang wacana relokasi ibukota tersebut.

Namun menurut hemat saya, bahwa semua tanggapan dan aspirasi yang berkembang sebatas obrolan di warung kopi yang tidak memiliki dasar pemikiran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan terkesan asbun (asal-bunyi) dengan berbagai motif yang tidak jelas. Misalnya, pendapat seorang tokoh dan cendikiawan nasional Bapak Emil Salim dalam jejaring media sosial, mengomentari bahwa lebih baik anggaran dana relokasi ibukota dimanfaatkan untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM).

Saya juga heran, seorang pakar lingkungan hidup Indonesia yang mengerti dengan indikator kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, langsung mengklaim demikian tanpa pertimbangan rasional agar dapat dijadikan referensi bagi pemerintah. Begitu pula berbagai respon negatif yang mengerucut pada adanya kepentingan politik uang rezim pemerintah saat ini untuk mempertahankan kekuasaannya ke depan.

Tak kalah sengit, yaitu adanya komitmen dibelakang layar antara rezim Jokowi-Ma'ruf yang memenangkan pemilihan umum 2019 dan telah berkoalisi dengan rivalnya kubu Prabowo-Sandiaga Uno, untuk memberdayakan aset lahan yang tersedia di Pulau Kalimantan agar kelak memperoleh nilai tambah yang menguntungkan dari pembebasan lahan oleh pemerintah.

Mengacu pada benang merah ide, pemikiran dan aspirasi publik yang cenderung bernuansa negatif tersebut, maka tulisan ini mencoba masuk dalam ruang publik untuk menyalurkan sikap, perasaan, renungan, ide, pendapat dan aspirasi bebas secara ilmiah, rasional dan aplikatif dari seorang warga negara biasa terhadap wacana relokasi ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur.

KONDISI EKSISTING IBUKOTA JAKARTA

Masyarakat industri moderen sekarang berada dalam ekosistem dunia yang penuh ancaman (State of the world-1984) atau "rasa aman yang palsu" seperti yang disinyalir oleh Lester R, Brown, dkk (1987) bahwa pada akhir abad XX, kerusakan lingkungan hidup dunia telah melampaui titik ambang kritis akibat tindakan seluruh penduduk dunia lebih 5 milyar mengakibatkan perubahan pada daya dukung (sistem) alam dan bisa mencapai kehancuran,  baik ditingkat benua maupun seluruh jagad.

Namun banyak orang meremehkannya, padahal dampak lingkungan sebagai akibat ulah manusia setiap tahun semakin meningkat. Bahkan sebagian masalah lingkungan itu bersifat global dan  mengancam kehidupan di seluruh bumi. Masalah serius yang bersifat regional seperti hujan asam dan yang bersifat global seperti pemanasan global (Global Warming) telah menyebabkan kepunahan jenis dan kerusakan lapisan ozon di atmosfir.

Pemanasan global ialah peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca akibat penggunaan zat-zat berbahaya seperti karbon dioksida, metana, nitrat oksida dan klorofuorkarbon yang menjadi timbunan gas dalam atmosfir  yang terperangkap panas matahari, sehingga menimbulkan peningkatan suhu.

Menurut Otto Soemarwoto (1994) pemanasan global mempunyai berbagai dampak lingkungan, antara lain dengan kenaikan suhu sekitar 1,5 s/d 4,5 C tahun 2030, akan menyebabkan permukaan laut naik sekitar 25 s/d 140 Cm, sehingga daerah pantai yang rendah tenggelam, seperti sawah, tambak dan bagian kota yang rendah.

Naiknya permukaan air laut, beberapa pulau kecil akan hilang, garis pantai akan mundur mencapai lebih dari 60 Cm arah ke darat. Indonesia termasuk negara yang banyak menderita akibat bencana global ini, sebab memiliki 17.480 pulau yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar, namun 65% pulau-pulau kecil sangat rentan, selama ini telah 24 pulau kecil  hilang.

Degradasi lingkungan yang parah, dampak pemanasan global dan perubahan iklim, akan mempengaruhi kapasitas daya dukung dan daya tampung bumi, seperti yang dialami ibukota Jakarta. Permukaan air laut naik dan garis pantai mundur mencapai 1 meter, tak terbilang banyaknya daerah pantai yang rendah tenggelam, seperti sawah dan tambak di pantura serta bencana banjir langganan tak mampu diatasi di Jakarta, bahkan meggenangi kediaman presiden.

Mengapa banjir sulit diatasi, karena daratan semakin rendah dan air laut naik, dipersulit pula oleh desain drainase dalam tanah kota tua Jakarta penuh sampah aneka ragam yang menghambat sirkulasi pembuangan air ke laut.

Kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan paru-paru kota yang berfungsi menyimpan air hujan gersang, sumber air tanah dieksploitasi secara berlebih oleh puluhan juta penduduk dengan jutaan pula deretan bangunan pencakar langit yang sudah melampaui kapasitas daya dukung dan daya tampung kota Jakarta yang tercermin dari meningkatnya reklamasi pantai untuk permukiman.

Upaya menjadikan Jakarta sebagai kota megapolitan modern, melalui ekapansi wilayah sangat terbatas, tingkat kerentanan dan ketahanan aneka ragam yahati kurang diperhatikan, konstruksi jaringan listrik, komunikasi dan transportasi bawah tanah beresiko tinggi, saluran drainase dan perpipaan air bersih, gas, biogas, minyak  dan lain-lain yang berada dalam tanah juga tidak memungkinkan.

Pengendalian penduduk, bangunan, jalan dan sarana perhubungan dibiarkan tumbuh alami, sehingga jaringan transportasi di atas tanah terpaksa dilakukan dengan biaya mahal. Bukti sederhana saja, jumlah sampah organik dan unorganik mencapai jutaan ton sehari termasuk limbah beracun B-3 tidak mampu didaur ulang dan dikendalikan.

Selain itu, kemacetan lalu lintas terjadi di mana-mana, rumah susun sebagai solusi kaum miskin yang berkutat di area kumuh (slums) tidak terjangkau kelas bawah, struktur kota Jakarta yang terbagi atas kawasan primer perkantoran pemerintahan dan kepolisian, pendidikan, permukiman dan perekonomian kurang tertata secara sentripugal, kawasan sekunder seperti industri dan perdagangan, fasilitas publik, jaringan sarana dan prasarana transportasi, fasilitas olahraga, kawasan wisata kota, kawasan hiburan, terminal dan lain-lain, kurang strategis pada lapisan kedua jantung kota karena terlihat berserakan tanpa arah maupun zonasi yang saling mendukung antar kawasan.

Kemudian, kawasan tersier dan peluang pengembangan kota secara sentripetal, yang bisa diperuntukkan bagi area paru-paru kota, penahan banjir dan penghijauan, kawasan pertanian untuk mendukung industri kota, kawasan permukiman murah yang terjangkau, kawasan potensi sumber air bersih, waduk penyimpnanan air, waduk pembangkit energi listrik tenaga air, tenaga diesel, tenaga surya, tenaga gas, pergudangan, kawasan pertambangan jika ada, kawasan militer, dan sebagainya juga tampak kurang teratur, campur aduk dan berkembang seolah-olah tanpa master plan.

Akibatnya, ketiga kawasan primer, sekunder dan tersier kota Jakarta kurang saling mendukung antar kawasan dalam sistem aksesibilitas urat nadi kota yang dihubungkan oleh prasarana jalan utama dan jalan tol, sarana transportasi publik, jalur perdagangan, pintu masuk dan ke luar kota yang lancar dan bebas hambatan.

Jujur kita akui, bahwa penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan  yang memprioritaskan sinerjitas antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan yang dikenal dengan konsep Triple-P (Product, Planet and People) belum diyakini dan diaplikasikan sebagai mainstream paradigma baru pembangunan nasional. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi membutuhkan niat, kegigihan dan kerja keras serta kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan dukungan segenap lapisan masyarakat untuk melaksanakannya.

Contoh ringan dapat disimak dari kegagalan banyak negara melakukan program reboisasi, sebagaimana diungkapkan oleh Erick P. Eckholm, dkk (1984) yaitu walaupun terdapat kemauan politik dan dana cukup, tapi pelaksanaan reboisasi secara besar-besaran merupakan suatu proses yang tak terduga rumit dan sukar.

Menanam berjuta-juta pohon kayu dan merawatnya sampai cukup dewasa bukanlah suatu tugas teknis yang jelas batasnya, seperti halnya membuat  sebuah bendungan atau mendirikan pabrik pupuk kimia. Penanaman pohon kayu hampir selalu dipengauhi oleh kekusutan  politik, budaya dan pemerintahan yang melanda daerah pertanian. Penghijauan selalu dipengaruhi dan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari sebagian besar penduduk dan seringkali berakhir dengan kegagalan.

Oleh karena itu, ibukota Jakarta sekarang sudah tidak pantas menjadi ibukota negara. Sebagai kota tua, kapasitas daya dukung dan daya tampung sudah melebihi kemampuan lingkungan, sehingga rentan bencana alam yang tidak terduga.

Perkembangan penduduk, produk-produk industri dan perdagangan, produksi berbagai jenis moda transportasi, kemacetan, banjir, penataan dan pengembangan wilayah perkotaan yang saling mendukung dan melengkapi pada semua zonasi dan tata ruang kota kurang tertata secara sistematis yang memiliki kawasan jantung kota, paru-paru kota, urat nadi dan terminal kota, lambung pencernaan makanan, saluran pembuangan limbah atau tinja, lambung kota, dan sebagainya laksana sirkulasi organ tubuh manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai contoh yang paling dekat.

Dengan kata lain, tubuh kota Jakarta yang sudah tua, sedang mengidap penyakit, potensi darah putih untuk menangkis penyakit lemah, ginjal yang bertugas memperlancar sirkulasi dalam tubuh kurang berfungsi, saluran pembuangan air seni dan tinja macet, jaringan syaraf yang menghubungan semua anggota tubuh agar berfungsi normal mengalami hambatan serius. Dengan demikian, wacana relokasi ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur perlu dan patut untuk segera dilakukan tanpa alasan emosional yang tidak berdasarkan pertimbangan ilmiah

SESUAI AMANAT KONSTITUSI DAN TEPAT-GUNA

Memang semua orang Indonesia, bahkan orang asing di seantero dunia mengetahui dan mengakui bahwa ibukota negara Republik Indonesia bertempat di Kota Jakarta. Indonesia dikenal juga sebagai negara maritim yang terdiri dari 70% wilayah perairan dan meliputi 14% dari garis pantai dunia dan terbentang dari Sabang di timur dan Merauke di barat.

UUD 1945 menyebutkan bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah negara kepulauan yang bercirikan nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Begitu juga dengan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ibukota negara ditetapkan dengan undang-undang.

Pengalaman kita selama ini, UUD 1945 saja bisa diamandemen untuk menampung berbagai ide dan pemikiran baru yang belum terakomodir sesuai aspirasi dan kebutuhan. Apalagi penetapan Jakarta sebagai ibukota negara yang diatur dalam undang-undang akan sangat mudah dan mungkin untuk di relokasi ke Kalimantan Timur dengan beberapa pertimbangan akademik sebagai berikut :

Relokasi ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur, bukan karena alasan dana yang besar, juga bukan alih fungsi dana pembangunan untuk motif KKN, dan berbagai alasan emosional dan irrasional lainnya. Pembangunan relokasi ibukota bisa bertahap sesuai kemampuan keuangan negara dan merupakan suatu ide dan pemikiran yang orisinal, suatu terobosan baru dengan pertimbangan dan keputusan yang logis, rasional, ilmiah serta sangat tepat guna (appropriate). 

Karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang yang mengatur dapat disesuaikan, serta yang paling krusial adalah kapasitas daya dukung dan daya tampung kota tua Jakarta maupun perencanaan pengembangan tata ruang sebagai kota megapolitan modern, ternyata sudah tidak memungkinkan dan dikhawatirkan berdampak negatif terhadap ekosistem, menghambat sirkulasi rantai makanan dan adaptasi lingkungan serta berpotensi terancam berbagai bencana alam yang sulit diprediksi.

Kesesuaian lain dengan konsitusi adalah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang tersurat maupun tersirat menjadikan angka lima (5) sebagai angka keramat bangsa dan negara Indonesia. Betapa tidak, Pancasila adalah 5 dasar negara, agama yang diakui dulu hanya 5 agama, mayoritas penduduk Islam menjalankan 5 syariat rukun Islam dan shalat 5 waktu, memiliki 5 pulau besar, dan lain-lain.

Sekarang dalam undang-undang pemerintahan daerah, diatur tentang wilayah NKRI dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang bersifat otonom. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Pembentukan nama, batas dan ibukota ditetapkan dengan undang-undang. Syarat-syarat pembentukan daerah ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Salah satu syarat tersebut yang diatur dengan undang-undang dan di tetapkan melalui peraturan pemerintah adalah tentang Penghapusan, Penggabungan dan Pemekaran Dearah dengan syarat utama telah mencapai angka keramat juga lima (5), yaitu berkembang lebih dari 5 kabupaten dapat dimekarkan menjadi daerah provinsi, lebih dari 5 kecamatan dapat dimekarkan menjadi 1 kabupaten, lebih dari 5 desa dapat dimekarkan menjadi 1 kecamaan, lebih dari 5 dusun atau rukun warga (RW) dapat dimekarkan menjadi 1 desa/kelurahan.

Pemekarana wilayah daerah ini, selain pertimbangan pokok menurut undang-undang yakni ekonomi, potensi, luas, penduduk dan seterusnya, secara akademik juga mempertimbangkan rentang-kendali (span of control) yang terjangkau oleh pemimpin daerah tersebut, sehingga tidak timbul kesenjangan pembangunan yang kurang adil dan merata. Wajar jika rentang kendali terlalu panjang dan luas, dapat dipastikan pemerintah daerah yang berkedudukan di ibukota provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan kewalahan melayani kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat.

Penerapan angka keramat lima (5) ini ternyata hanya berlaku mulai dari desa/kelurahan sampai provinsi saja, tapi tidak berlaku untuk pemekaran wilayah daerah provinsi akan menjadi daerah apa di seluruh Indonesia yang telah mencapai jumlah 34 wilayah daerah provinsi, yang tersebar di wilayah Indonesia bagian barat, bagian tengah dan bagian timur dari Sabang sampai Merauke.

Jadi, sudah dapat dipastikan bahwa rentang-kendali seorang Presiden dan Wakil Presiden yang berkedudukan di Jakarta di pulau Jawa (wilayah Indonesia bagian barat) tidak mampu mengurus dan melayani pembangunan dan kebutuhan masyarakat di 34 wilayah provinsi yang ada secara adil dan merata dan terkontrol menuju masyarakat adil dan makmur. Berdasarkan wilayah, Indonesia dibagi atas 3 wilayah Indonesia barat, tengah dan timur. Begitu juga pembagian waktu ada WIB, WITA dan WIT dengan perbedaan 2 jam.

Konsentrasi wilayah pertahanan juga demikian, Komando Daerah Militer (TNI AD, AU dan AL) bagian barat Indonesia di Medan Sumatera Utara dan Tanjung Pinang Provinsi Kepulauan Riau, Komando Dearah Militer (TNI AD, AU dan AL) bagian tengah Indonesia selain di Jakarta, terkonsentrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Komando Daerah Militer (TNI AD, AU dan AL) bagian timur Indonesia di Makasar Sulawesi Selatan. Fasilitas dan alusista militer yang tersedia ternyata juga tidak merata dan memadai sebagai negara kepuluaan yang luas.

Wajar jika banyak potensi perairan dan perikanan dicuri pihak asing dan wilayah kepulauan terpecil diserobot negara-negara asing, tanpa ada rasa takut dan segan terhadap kedaulatan RI yang terkenal dengan kemaharajaan Kutai Kartanegara, Sriwijaya, Majapahit, Singosari, Pagaruyung, Melaka dan lain-lain dengan sumpah palapa patih Gajah Mada yang terkenal yaitu kepulauan nusantara meliputi dari Merauke sampai ke kepulauan Madagaskar.

Timbulnya kesenjangan pembangunan di Indonesia yang telah berlangsung sejak rezim orde baru hingga rezim Jokowi-Ma'ruf sekarang kira-kira hampir setengah abad lamanya, belum dapat diatasi secara akurat meskipun otonomi daerah telah diberlakukan. Kesenjangan tersebut yaitu ketimpangan infrastruktur antar wilayah, antar daerah provinsi, kabupaten dan kota, antar pulau, antar kota-desa, antar jender, antar sektor pembangunan, antar kelompok masyarakat dan lain-lain bentuk kesenjangan sosial yang mencuat kepermukaan.

Faktor penghambat utama, tidak lain adalah tidak berlakunya angka keramat lima (5) mulai dari wilayah daerah provinsi yang mencapai 34 daerah provinsi (dapat dimekarkan menjadi enam/6 wilayah daerah negara bagian atau federal), dipersulit pula oleh kelembagaan pemerintah setingkat kementerian yang membantu presiden dan wakil presiden juga terkonsentrasi di Jakarta sebagai ibukota.

Bukan masalah keterwakilan elemen masyarakat di pusat, tapi semata-mata jarak fisik rentang kendali yang membatasi kemampuan pemerintah melayani kepentingan masyarakat dalam pembangunan. Akibatnya, sangat nyata terjadi bahwa peredaran uang terkonsentrasi di Jakarta, tindak pidana KKN sulit diberantas karena tidak terkontrol, kalkulasi penetapan standar biaya pembangunan, dana alokasi umum, harga pokok, UMR  dan taraf hidup masyarakat berbeda tajam dalam wadah alat tukar rupiah yang sama.

Sehingga investasi pihak swasta nasional dan asing ikutan terkonsentrasi di beberapa wilayah dan berdampak peluang kerja dan kesempatan berusaha sulit diperoleh serta meningkatnya penganguran besar-besaran di daerah yang miskin sumber daya dan sulit dijangkau oleh pemerintah dengan semua perangkatnya terpusat di Jakarta.

Menyadari faktor utama kesenjangan pembangunan di Indonesia akibat rentang kendali yang sulit dijangkau, maka solusi yang tepat guna pada tahap awal adalah relokasi atau menggeser ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur di wilayah Indonesia Bagian Tengah merupakan pilihan jitu dan rasional, agar wilayah barat dan timur lebih mudah dikontrol.

Tahap berikutnya, agar lebih efisien dan efektif pelaksanaan pembangunan nasional mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, merata kebutuhan material dan spiritual sesusai Pancasila dan UUD 1945 adalah sepakat, komit dan buka pikiran jernih untuk mengamandemen UUD 1945 untuk kelima kalinya agar jabatan Presiden RI dibantu bukan oleh 1 orang Wakil Presiden tapi diperlukan tiga (3) orang Wakil Presiden RI sesuai dengan pembagian wilayah Indonesia, dimana 1 orang Wapres berkedudukan di Indonesia Bagian Barat, 1 Wapres berkedudukan di Indonesia Bagian Tengah dan 1 orang Wapres berkedudukan di Indonesia Bagian Timur.

Kemudian, masing-masing wilayah tersebut diikuti oleh pembagian wilayah militer, pembagian kementerian, dan alokasi dana pembangunan yang sama tanpa alasan. Seorang Presiden RI yang berkedudukan di Kalimantan Timur Indonesia Bagian Tengah akan mudah memimpin dan mengontrol dalam rentang kendali yang pendek pada setiap pembagian wilayah yang dikoordinir oleh Wakil Presiden terhadap para Gubernur, Bupati, Camat, Kades/Lurah yang tidak perlu lagi besukan atau lobi ke istana Presiden di Kalimantan, tapi cukup melalui Wapres di wilayahnya.

Apabila ingin tidak repot-repot mengamandemen UUD 1945 tentang jumlah Wakil Presiden (Wapres), maka cara yang mudah, sederhana dan cepat dapat dilakukan Presiden Jokowi-Ma'ruf adalah menempatkan Menteri Koordinator (Menko) yang dapat pula diciutkan jumlahnya hanya empat (4) Menko, yaitu Pembangunan, ekonomi, keuangan dan industri diposisikan di wilayah pusat Indonesia Bagian Tengah, Menko Kebudayaan dan Kesejahteraan Rakyat diposisikan di wilayah Indonesia Bagian Barat dan Menko Politik, Hukum dan Ham di posisikan di wilayah Indonesia Bagian Timur.

Kemudian, terakhir Menko Pertahanan dan Keamanan juga diposisikan di pusat wilayah Indonesia Bagian Tengah. Ketiga Menko yaitu Pemekuin, Menko Budkesra dan Menko Pulhukham dapat diroling dalam 2 tahun sekali dalam  periode kepemimpinan nasional 5 tahun, yaitu 2 tahun di wilayah bagian barat dan 2 tahun pula di wilayah bagian timur, selama 1 tahun tetap diposisikan di pusat pemerintahan wilayah bagian tengah. Pola serupa juga dilakukan untuk menempatkan Menteri dan departemennya yang juga dapat diefisienkan dengan ukuran tidak  melebihi jumlah provinsi setiap wilayah, kemudian tetap dirolling agar terlihat kinerja yang nyata setiap departemen yang dipimpinnya.

Langkah serupa juga berlaku bagi pembagian wilayah TNI/POLRI yaitu Mabes TNI (AD, AU, AL) dengan seorang panglima dan Mabes Polri dengan seorang Kapolri yang bertempat di pusat wilayah bagian tengah, kemudian Kodam I di wilayah bagian barat, Kodam II di wilayah Indonesia bagian tengah dan Kodam III di wilayah Indonesia bagian timur. Pada setiap pembagian wilayah ini juga ditempatkan Markas Wilayah Kepolisian (Mawil I) di wilayah bagian barat, Mawil Kepolisian II di wilayah bagian tengah dan Mawil Kepolisian III di wilayah bagian timur.

Dengan demikian, desain pembagian wilayah berdasarkan rentang-kendali kepemimpinan ini dapat memperpendek jarak, urusan dan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan provinsi.

Karena pada setiap Wilayah Indonesia Bagian Barat (WIBB), Wilayah Indonesia Bagian Tengah (WIBTA) dan Wilayah Indonesia Bagian Timur (WIBTI) terdiri dari jumlah wilayah provinsi yang sama (34 provinsi dibagi tiga) menjadi masing-masing WIBB 11 provinsi, WIBTA 11 provinsi dan WIBTI sebanyak 12 provinsi di bawah kontrol pemerintah wilayah mulai dari Menko, Komando Daerah Milter dan Markas Wilayah Kepolisian dan Kementerian yang melaksanakan Tupoksi membantu Presiden dan Wakil Presiden RI yang bertempat di Kalimantan Timur wilayah Indonesia Bagian Tengah.

KALIMANTAN TIMUR MELAJU -- INDONESIA MAJU

Terpilihnya Kalimantan Timur di wilayah Indonesia Bagian Tengah oleh Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin bukannya tanpa alasan yang sangat masuk akal. Selain masalah kapasitas daya dukung dan daya tampung Pulau Jawa pada umumnya dan Jakarta khususnya, sudah tidak memadai dan rawan bencana alam ke depan, juga sangat sulit untuk dikembangkan menjadi kota megapolitan modern karena Jakarta merupakan kota tua yang sudah rentan serta terlalu jauh dan panjang rentang-kendali (span-of-control) yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan hasil-hasil pembangunan.

Alasan yang paling signifikan adalah pertimbangan kondisi pertahanan dan kemananan negara dari berbagai bentuk ancaman internal maupun eksternal yang dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang berbasis pertahanan dan keamanan swakarsa yang dikenal dengan gerilya.

Kalimantan Timur yang terletak sangat terpusat dari seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut garis lintang dan bujur, serta dikelilingi oleh beberapa pulau besar dan hamparan laut yang luas, sehingga dapat dipastikan deteksi dini dan upaya cekal dapat dengan mudah dilakukan dan diantisipasi terhadap gangguan dan ancaman yang datang dari berbagai sudut wilayah Indonesia.

P E N U T U P

Demikian sepenggal ide dan pemikiran serta tanggapan dari saya sebagai orang biasa yang tidak punya pretense apa-apa selain hanya untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa dan Negara Indonesia ke depan yang tidak lagi diwarnai oleh berbagai atribut kesenjangan sosial dalam berbagai bentuk.

Mempercepat jalannya roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia dengan menerapkan kaedah pembangunan berkelanjutan dan akan semakin efisien dan efektif, mudah dan lancar, terarah dan terkontrol. Jarak fisik geografis pendek dan terjangkau, merata, adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali melalui relokasi ibukota Jakarta ke KalimantanTimur di wilayah Indonesia Bagian Tengah dengan diiringi pembagian wilayah pemerintahan beserta kelengkapan dan kelembagaannya di bawah koordinasi tiga (3) orang Wakil Presiden yang berkedudukan di wilayah Indonesia Bagian Tengah, wilayah Indonesia Bagian Barat dan wilayah Indonesia Bagian Timur.

Semoga catatan pemikiran ini berguna bagi kemanusiaan dan ketuhanan sekaligus menyelamatkan bumi sebagai planet satu-satunya kehidupan di jagat raya. Maafkan hamba-Mu atas segala kesalahan dan kekhilafan ya Allah, Amin ya Rabbal Alamin.

Pekanbaru, Jumat 6 September 2019

Hormat Saya,

Ttd,

SYAMSULBAHRI

Biografi               :  Syamsulbahri, adalah anak kedelapan dari Sembilan bersaudara keluarga besar Almarhum Ajun Komisaris Polisi (AKP) Roebama Sutan Sidin Purnawirawan Polisi tempoe doeloe. Lahir di Kota Pekanbaru Riau 23 Maret 1961. Menamatkan pendidikan dasar, menengah dan atas di Kota Pekanbaru. Kemudian melanjutkan kuliah S-1 pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau Tahun 1981-1986.

Pada Tahun 1990 diterima mengajar sebagai Dosen Sosiologi Fisip Universitas dan dipanggil untuk melanjutkan S-2 Tahun 1991-1995 pada Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada dengan beasiswa pemerintah pusat. Sejak menyandang gelar Magister Sosiologi hingga sekarang mengabdikan diri dibidang akademik untuk mengajar, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.

Bidang tugas yang menjadi keahlian dan mumpuni dilakukan antara lain, konsultan peneliti Komunitas Adat Terpencil (KAT), penanggulangan dan pemberdayaan masyarakat miskin, pemetaan sosial dan budaya, pengembangan kepariwisataan, pembangunan masyarakat kota dan desa, analisis dampak sosial dan lingkungan dan lain-lain.

Pengalaman kerja jabatan yang pernah ditekuni antara lain, Kepala Laboratorium Sosiologi Fisip Universitas Riau, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Regional Fisip Universitas Riau, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Riau, Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisip Universitas Riau, Pemimpin Redaksi Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Jurusan Sosiologi Fisip Universitas Riau dan aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik dalam skala lokal, regional, nasional dan internasional hingga sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun