Setiap pulang kampung, ada satu hal yang selalu menarik perhatian, masjid di kampung saya tidak pernah sama seperti terakhir kali saya tinggalkan. Kadang pagarnya di renovasi, lantai di ganti dengan tegel yang lebih mengkilap, kubah di sulap menjadi lebih besar, toilet dan tempat wudhu di ronavasi. Masjid itu selalu terlihat semakin indah, seakan terus dipoles agar tampil menawan di mata jamaah maupun pendatang.
Pada hari jumat, sebelum khutbah, pengurus masjid naik ke mimbar dan mengumumkan laporan keuangan. Nama-nama yang menyumbang disebut satu per satu, lengkap dengan jumlah yang diberikan. Bahkan, uang receh yang masuk dari kotak amal pun tidak luput dicatat dan dibacakan.
Laporan pengeluaran keuangan disampaikan, hampir semuanya bermuara pada satu hal yaitu pembangunan fisik masjid, seolah-olah masjid tidak pernah benar-benar selesai dibangun. Dari tahun ke tahun, alokasi pengeluaran jarang terdengar menyentuh kegiatan pembinaan jamaah, petugas kebersihan atau program sosial lainnya. Semuanya selalu kembali ke tembok, lantai, dan atap. Saya kerap bertanya dalam hati: apakah rumah ibadah harus terlihat megah untuk disebut layak?
Berbeda halnya dengan dengan masjid yang berada di kota-kota besar. Kebetulan saya pernah tinggal di kompleks perumahan menyaksikan pembangunan masjid yang tak kunjung selesai. Dindingnya baru setengah berdiri, lantainya masih beralaskan tenda, rangka atapnya masih terlihat bolong-bolong, sementara papan proyek yang terpampang di depan masjid sudah mulai pudar dimakan hujan dan panas.
Pembangunan itu berjalan pelan, bahkan bisa bertahun-tahun lamanya. Bukan karena pekerjanya kurang semangat, melainkan karena cita-cita yang dipatok terlalu tinggi. Masjid yang awalnya hanya direncanakan satu lantai, tiba-tiba digagas jadi dua lantai dengan desain megah.
Tentu saja, anggaran yang dibutuhkan pun ikut melonjak. Kas masjid jelas tak sanggup menanggungnya. Maka mulailah diumumkan: donasi pembangunan masjid dibuka lebar-lebar. Informasi itu beredar bukan hanya lewat pengeras suara masjid setelah shalat Jumat, tapi juga kotak amal masjid bertambah satu yaitu sebuah kardus yang bertuliskan "Donasi Pembangunan Masjid".
Pada akhirnya, kemewahan masjid lebih sering dijadikan simbol prestise daripada fungsi. Kubah besar, menara tinggi, pagar yang mewah semua itu seperti perlombaan diam-diam untuk menunjukkan siapa yang paling mampu membangun rumah Tuhan dengan megah. Padahal, bukankah kenyamanan dalam beribadah tidak selalu sebanding dengan keindahan bangunan?
Kalau kita kembali pada aturan pembangunan masjid, sebenarnya telah ada pedomannya. Salah satunya, pembangunan masjid idealnya mempertimbangkan jumlah jamaah. Jangan sampai semangat membangun lebih besar daripada realitas kebutuhan. Sayangnya, di banyak tempat yang saya temui, aturan itu sering terabaikan. Ada masjid megah berdiri gagah, dengan kapasitas ratusan orang, tapi jamaah tetap bisa dihitung dengan jari.
Saya sering merasa pembangunan masjid seperti ini terlalu dipaksakan. Seakan-akan ada dorongan untuk menghadirkan "kemewahan spiritual" yang lebih menyilaukan mata daripada menyejukkan hati. realitasnya, masjid yang mewah tak menjamin jamaah yang penuh. Terkadang lantai yang berlapis karpet tebal justru sepi, kecuali saat Jumat atau Ramadan. Di situ saya makin yakin, bahwa ukuran kenyamanan ibadah tidak bisa ditakar dari megahnya sebuah bangunan.
Kemegahan masjid bukanlah jaminan kesalehan jamaah. Sebab pada akhirnya, masjid tidak dinilai dari tinggi menaranya atau seberapa berkilau kubahnya, melainkan dari seberapa hidup ia menjadi tempat bernaung umat.
Masjid itu bukan sekadar bangunan suci dengan cat mengilap dan karpet tebal, tapi ruang hidup. Ruang di mana orang-orang belajar menundukkan hati, bukan sekadar menundukkan kepala. Kalau perhatian kita hanya berhenti pada dinding, kubah dan pagar maka yang kita bangun hanyalah monumen, bukan rumah ibadah.