Mohon tunggu...
Syam Muhsin
Syam Muhsin Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu 3 anak yang juga berwirausaha

ibu dari 3 anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ekspresi di Balik Masker Bermotif Wajah

13 Juni 2020   09:49 Diperbarui: 13 Juni 2020   10:14 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti biasa, tiap kali ke pasar, pasti akan bertemu banyak orang yang beberapa diantaranya juga adalah tetangga sekitar rumah. Seperti biasa pula, saya mencoba tersenyum pada mereka yang berhasil saya kenali meskipun mereka mengenakan masker anti covid seperti saya. 

Beberapa membalas senyum saya dan beberapa lagi hanya melengos saja. Sedikit keki juga jadinya. Sombong ya, pikir saya. Tapi pikiran itu kemudian saya tepis sendiri. Mereka mungkin saja tidak melihat senyum di balik masker yang menutupi wajah saya.

Saya lalu membayangkan betapa banyak komunikasi yang bisa menjadi runyam akibat penggunaan masker ini. Orang-orang yang akhirnya memutuskan untuk berhenti tersenyum karena mereka menganggap toh tersenyum pun gak akan kelihatan. Berapa banyak  orang yang akhirnya berprasangka bahwa si A sombong atau si B jutek hanya karena tidak mampu membaca ekspresi dibalik masker.

***

Beberapa hari lalu viral di media  sosial, bagaimana seorang penyandang disabilitas sedikit mengalami kesulitan berkomunikasi di sebuah bank karena adanya kewajiban bermasker ini. 

Iya, teman kita itu tuna rungu dan untuk berkomunikasi ia harus melihat gerak bibir lawan bicaranya. Akhirnya, karena hampir semua orang mengenakan masker, mau tidak mau ia harus menuliskan apa yang dia maksudkan dan begitu pula lawan bicaranya.


Ekspresi wajah dan bahasa tubuh menjadi bahasa yang paling purba yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Hal ini dijelaskan oleh Dr. Taufik Pasiak, seorang dosen di Universitas Sam Ratulangi, Manado yang juga seorang ahli neuroscientist dalam webinarnya.  Lebih jauh beliau menjelaskan bagaimana saat ini masker medis sudah beralih fungsi menjadi masker modis. 

Masker bukan lagi semata untuk menjaga kesehatan tetapi juga sudah menjadi trend setter. Beliau katanya mengadakan riset dengan bertanya pada penjual masker tentang produk yang paling banyak terjual. Menurut mereka, masker yang paling laris di pasaran saat ini adalah masker dengan motif wajah.

Beliau juga menjelaskan bahwa manusia pada umumnya memiliki ekspresi wajah yang memiliki sejuta makna yang bisa saja berbeda konteksnya dalam mengaplikasikannya. 

Secara garis besar ekspresi manusia terbagi atas ekspresi makro yang melibatkan semua bagian wajah. Ada pula ekspresi mikro yang hanya terdapat pada beberapa bagian kecil wajah yang biasanya ditampakkan oleh mata. 

Kebanyakan manusia mampu mengontrol otot wajah di bagian bawah mereka karena berfungsi untuk makan dan berbicara, tetapi akan kesulitan untuk memanipulasi wajah bagian atas karena ototnya yang bergerak secara refleks dan  berperilaku diluar kesadaran.

Saya melihat kebanyakan masker yang beredar di pasaran dan masuk dalam kategori memenuhi standar kesehatan adalah masker yang menutupi mulai dari batas tulang hidung atas turun ke bawah sampai ke dagu. Otomotis tiga perempat wajah tertutupi oleh masker. Lalu bagaimana kita berkomunikasi menggunakan bahasa verbal dan non verbal dengan masker menutupi wajah? 

Bagaimana kita bisa mengetahui kalau seseorang tersenyum atau marah atau malah takut pada kita? Hal ini menarik, mengingat sebagian besar kita terbiasa berkomunikasi dengan cara melihat wajah lawan bicara kita.

Tidak bisa dipungkiri bahwa gerak tubuh mampu mengekspresikan tindakan, akan tetapi wajah adalah jendela dimana kita dapat melongok dan melihat ke dalam diri seseorang. Wajah menjadi hal pertama yang langsung menarik perhatian saat kita berkomunikasi. 

Fokus kita yang tadinya ke wajah biasanya akan langsung tertuju ke mata lawan bicara. Dari sini kita bisa melihat apakah seseorang sedang bahagia, sedih, marah, kecewa, menyesal atau perasaan lainnya. Hal itu karena mata adalah fokus utama pada wajah.

Masker dengan motif wajah membuat kita merasa berkomunikasi secara terbuka. Masalahnya adalah ekspresi wajah yang ditampilkan oleh masker ini tidak dinamis dan hanya menampilkan satu ekspresi wajah yang bisa saja menjadi penyebab seseorang salah menafsirkan maksud dari lawan bicaranya.  Tertutupnya ekspresi wajah oleh masker bermotif wajah dapat juga menyesatkan lawan bicara.

Ekspresi utuh dari manusia tidak dapat disimpulkan hanya dari gerakan mata dan alis saja. Mimik wajah yang meliputi kerutan di dahi, bentuk alis, gerakan mata, perubahan warna hidung, dan gerak bibir sesungguhnya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menampilkan ekspresi yang dirasakan oleh seseorang.

Kita sering mendengar istilah senyum palsu, hal itu bukan sekedar istilah belaka. Dimana terlihat senyum mengembang di wajah namun tidak di hati. Kita bisa kok belajar membedakan mana senyuman yang tulus dan mana senyuman yang palsu. 

Saya sendiri, dari banyak kali berhadapan dengan orang yang menggunakan masker akhirnya jadi terbiasa membaca ekspresi yang ditampilkan di wajah seseorang. Saya bisa mengetahui mereka yang sedang tersenyum pada saya. Beberapa garis yang muncul di sudut mata lawan bicara menjadi penandanya. Selain itu mata lawan bicara  juga jadi sedikit menyipit dan terlihat lebih menyenangkan.

Dulu barangkali kita bisa salah mengartikan maksud seseorang dengan komunikasi verbal dan terbuka. Tetapi sekarang, mengenakan masker membuat orang-orang tampil apa adanya. Seharusnya tita tak lagi bisa dengan mudah dimanipulasi lawan bicara dengan manisnya kata-kata atau body language yang palsu. 

Mereka yang mampu membaca bahasa tubuh dan ekspresi wajah, utamanya mata dan alis akan dapat melihat dengan jelas saat seseorang suka atau tidak suka berada disekitarnya. Jujur dan munafiknya seseorang dapat dilihat dengan mudah jika kita rajin berlatih membaca ekspresi wajah.

Saya berkesimpulan bahwa pandemi ini memaksa kita untuk mengasah kemampuan membaca ekspresi wajah yang tertutup masker. Kemampuan ini menjadi penting agar tidak terjadi salah pengertian dalam berkomunikasi. 

Kesalahan memahami dapat berakibat pada respon yang diterima berlawanan dengan tujuan yang diharapkan. Membaca  seluruh bagian wajah tak serumit membaca mata. Pada mata kita dapat menemukan kejujuran dan ketulusan lawan bicara. Ah...benarlah kata orang-orang bahwa mata adalah cerminan jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun