Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Galau dengan Bahasa Asing

19 Februari 2015   01:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Apa yang terjadi bila di suatu ruang semua orang berbicara bahasa asing yang tidak bisa kita pahami? Ini adalah pengalaman saya saat ditugasi meliput memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Unesa dengan Jepang. Di ruang sidang kantor Pusat Unesa, terdapat tiga orang perwakilan dari Hokuriku University dan sejumlah pejabat Unesa.

Dalam ruangan tersebut hanya ada dua bahasa, yaitu bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Sementara saya sama sekali tidak paham kedua bahasa tersebut. Untuk bahasa Jepang, saya tidak tahu sedikit pun kecuali kata aishiteru (hehe karena sering dengerin lagu itu!). Kalau bahasa Inggris, saya memang pernah belajar namun hanya konsentrasi belajar tata bahasanya. Tidak belajar bagaimana berbicara dan memahami pembicaraan orang lain.

Saat itu saya benar-benar bingung. “Apa yang harus saya tulis?” pikir saya bingung. Saya cuma mengambil beberapa gambar sebagus-bagusnya. Saya memotret momen-momen pentingnya. Namun, saya tidak lantas keluar dari ruangan tersebut karena tidak mengerti tentang obrolan mereka. Saya tetap duduk mendengarkan.

Setelah acara MoU selesai, saya mengikuti Koordinator Kerja Sama Luar Negeri Kantor Urusan Internasional (KUI) Unesa, Bu Tsuroyya, ke kantornya. Dengan polos saya bertanya apa saja yang telah mereka bicarakan di ruangan tadi. Untungnya Bu Tsuroyya baik, beliau menceritakan semua yang dibicarakan bahkan saya dibantu menuliskan beritanya. Sehingga saya pulang tidak dengan tangan hampa.

Bermula dari kegalauan di ruangan tersebutlah saya merasa terpukul. “Aku harus bisa berbahasa Inggris!” komitmen saya dalam hati. Saya merasa kemampuan berbahasa asing, apalagi bagi orang yang sering berinteraksi dengan orang asing adalah harga mutlak dikuasai. Pare adalah hal utama yang muncul dalam benak saya untuk mempelajari bahasa Inggris itu. Saya memutuskan untuk memanfaatkan liburan semester dua untuk belajar bahasa Inggris di Pare.

Saya menghubungi teman-teman yang sudah pernah belajar di sana. Sebab saya benar-benar tidak pernah ke daerah sana. Saya pun tidak memiliki uang banyak untuk belajar dalam waktu lama. Hanya satu keinginan saya, saya ingin belajar bahasa Inggris. Tak peduli berapa jumlah uang yang ada di saku. Keinginan itu sudah sangat bulat untuk digagalkan.

Saya juga tidak bisa meminta subsidi dari orang tua. Bagaimanapun saat itu, bapak saya sudah wafat, ibu saya juga masih menunggu tambahan kehidupan dari saya, dan kakak saya pun masih kuliah, detik-detik kelulusannya. Tentunya kakak saya juga membutuhkan uang yang lumayan untuk biaya proses kelulusan.

Saya hanya bermodal berani. “Terserah bagaimana takdir Tuhan!” pikir saya penuh pasrah. Saya berangkat dengan niat ingin belajar satu bulan di sana. Di sana, saya disambut oleh seorang teman. Saya ditunjukkan beberapa tempat kursus yang sesuai dengan keinginan saya.

Ella, itulah tempat saya belajar bahasa Inggris. Saya mengambil program dua minggu, yaitu Sound 4 dan Sound 6. Di Sound 4, saya diajari berbicara bahasa Inggris dengan dipandu oleh seorang tutor. Saya rasa itu tidak terlalu sulit. Berbeda dengan di program Sound 6. Setiap hari semua peserta harus presentasi menggunakan bahasa Inggris. Yang lebih mengagetkan saya, 99 persen pesertanya adalah alumni sarjana. Ada yang alumni UGM, UNJ, dan perguruan tinggi-perguruan tinggi lain. Sementara saya dan seorang teman perempuan, Lenny namanya, baru semester dua sarjana. Lenny adalah mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Mulanya saya sangat minder. Saya tidak percaya diri untuk belajar dengan teman-teman yang sudah jauh di atas saya. Bagaimanapun mereka sudah lancar (setidaknya dibandingkan dengan saya) dalam berbicara bahasa Inggris. Bahkan Lenny ingin mundur dari kelas itu karena merasa salah kelas. Namun, saya tetap membesarkan hatinya. “Jangan berhenti! Ayo kita buktikan bahwa meskipun kita yang termuda tapi kita juga bisa!” demikian kata saya sok pintar. Hehe! Padahal sebenarnya saya juga bingung.

Alhamdulillah! Saya dapat mengikuti kelas itu hingga selesai dua minggu. Sementara Lenny tidak masuk pada pertemuan terakhir karena sudah diperintahkan pulang oleh keluarganya. Saya juga mengikuti ujian akhirnya dengan mempresentasikan sebuah kalimat yang diberikan oleh tutor. Saya hanya berusaha percaya diri meskipun masih saja tubuhku agak gemetar saat presentasi.

Awalnya saya ingin mengambil program lagi hingga genap satu bulan. Namun, kakak saya menelpon saya dan menyampaikan bahwa keluarga tidak punya uang persiapan sama sekali untuk menyambut idul fitri. Uang saya kira-kira masih tinggal lima ratus ribu. Dengan penuh pertimbangan, saya memutuskan untuk pulang. Biarlah belajar bahasa Inggris bisa dilakukan di lain kesempatan dan di mana saja asal saya mau. Keperluan keluarga adalah hal utama bagi saya.

Ya, saya pulang. Meskipun masih abal-abalan, setidaknya saya sudah sedikit berani untuk berbicara bahasa Inggris. Kalau ada orang asing lagi datang ke Unesa, maka saya sudah berani untuk mewawancarainya. “Aku harus berani!” komitmen saya mantap.

Saya sangat bersyukur, berkat dua minggu di Pare, kepercayaan diri saya untuk berbicara dalam bahasa Inggris sudah mulai terbangun. Saat  ada MoU antara Unesa dengan salah satu perguruan tinggi di New Zealand, saya memberanikan diri untuk wawancara. Waktu itu saya meliput bersama Mbak Lina. Kami pun diberi kartu nama dan bolpoin oleh rektor dari perguruan tinggi tersebut.

Kesempatan berikutnya, saya juga pernah mewawancarai orang Jepang saat ada kuliah umum program studi bahasa Jepang Unesa. Saat itu saya diperintah oleh pembantu rektor IV untuk mewawancarai salah satu orang Jepang tersebut dengan memakai bahasa Inggris. Apakah saya paham seratus persen yang dia ucapkan? Tidak. Saya tidak paham semuanya. Bagi saya, yang penting bertanya dan berani. Itu saja. Tak peduli saya tidak mengerti terhadap ucapan dia. Saya yakin, kalau saya sudah berani, percaya diri, maka lambat laun saya pasti bisa. Semoga!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun