Mohon tunggu...
Syaiful Mustaqim
Syaiful Mustaqim Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis yang concern bidang keislaman serta wawasan kebangsaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Upaya Mengenang Adipati Tjitrosomo

9 April 2018   16:14 Diperbarui: 9 April 2018   16:15 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: plus.google.com/+KakTotok

DI kabupaten Jepara tepatnya desa Sendang kecamatan Kalinyamatan terdapat makam mantan para Bupati akhir era kerajaan Mataram dan awal masa rezim Hindia Belanda yakni Adipati Tjitrosomo. Sayang, keagungan serta jasa besarnya diabaikan oleh sebagian khalayak; terbukti beberapa kali penulis menanyakan pada warga sekitar ataupun penduduk kecamatan lain rata-rata jawabannya--tidak tahu menahu keberadaannya apalagi historisnya.

Padahal, persis didepan masjid agung Baiturrohman desa Purwogondo terpampang papan nama sebagai petunjuk menuju lokasi makam. Papan itu tertulis: Makam Adipati Tjitrosomo dan Bupati yang pernah bertugas di Jepara tahun 1704-1830. Mestinya, publik Kalinyamatan (pada khususnya) dan Jepara, umumnya mulai menghargai kepahlawanan beliau-beliau. Apalagi situs bersejarah itu secara resmi tercatat di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala di Prambanan (Klaten).

Mengenang Tjitrosomo

Harian ini, pada Oktober 2003 silam pernah mewartakan Tjitrosomo. Adipati Tjitrosomo I adalah bupati yang memimpin kota ukir tahun 1745-1778. Tjitrosomo I bernama Ki Wuragil Djiwosuto: putra Ki Karboso Reksodjiwo, Adipati Gedung Kiwo. Ki Wuragil merupakan pengawal setia dari Sultan Agung Mataram. Sebelum bertugas di kabupaten Jepara, dia pernah menggantikan posisi ayahnya sebagai Adipati di Gedung Kiwo.

Alkisah, pada suatu saat terjadi huru-hara dengan penjajah Belanda. Sosok Ki Wuragil adalah orang yang sanggup memimpin para adipati di pesisir utara Jawa (mulai Probolinggo hingga Tegal) dan berhasil menumpas ontran-ontran (kekacauan) itu. Atas keberhasilannya itulah dia dianugerahi gelar Bupati Prangwadono.

Selanjutnya, ketika bertugas menjadi adipati Jepara dia mendapat julukan baru: Adipati Tjitrosomo. Upah dari tugasnya itu dihargai dengan lahan seribu jung bertempat di desa Sendang (sekitar 500 meter dari kecamatan Kalinyamatan). Di Sendang, Tjitrosomo I mendirikan tempat peribadatan yakni "Masjid Tjitrosomo" yang dibangun abad ke-18. Karena telah mengalami beberapa kali renovasi kecuali mustaka (puncak), nama masjid pun berubah nama menjadi masjid "An-Nur".

Kini, kita hanya bisa mengenangnya. Dibelakang Masjid An-Nur, Adipati Tjitrosomo disemayamkan dengan diapit makam kedua istrinya: putri Amangkurat I dan putri Adipati Soejonopoero. Dari kedua istrinya itu, Adipati Tjitrosomo I memiliki 47 anak (14 putra dan 33 putri). Keturunannya tersebar di provinsi Jawa Tengah dan sekitarnya. Sebagian dari anaknya menjadi adipati termasuk Adipati Tjitrosomo III yang merupakan salah satu putranya.

Selain Tjitrosomo II (yang dimakamkan di desa Bapangan kabupaten Jepara), Adipati Tjitrosomo hingga VII dimakamkan ditempat yang sama. Ayah serta ibunda RA Kartini, Adipati RMAA Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah juga disemayamkan didepan serambi bangunan makam Adipati Tjitrosomo I.

Wisata Religi

Beberapa waktu lalu, penulis menyempatkan berkunjung ke masjid dan makam itu. Kondisinya berbeda dengan masjid dan makam Mantingan (peristirahatan terakhir Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin) di desa Mantingan kecamatan Tahunan.

Makam Mantingan saben kamis malam ramai dikunjungi peziarah. Begitu pula saat buka luwur (ganti kelambu), bulan April. Di kawasan Mantingan pun bisa ditemukan beberapa penjual (bunga, makanan serta pakaian) menjajakan dagangannya. Berbeda dengan kawasan peninggalan Adipati Tjitrosomo yang terkesan sepi laiknya warisan masa silam yang jarang dikunjungi.

Hal itulah yang diamini Abdul Qadir, salah seorang juru kunci makam. Menurutnya, makam itu hanya ramai setiap Jumat (Wage) dan saat Suro (Muharram) tiba. Qadir menuturkan, peziarah yang datang tidak seramai di Mantingan. Penduduk Kalinyamatan dan sekitarnya yang berziarah menurut dia bisa dihitung dengan hitungan jari.

Semestinya, makam peninggalan Adipati Tjitrosomo dijadikan salah satu rujukan wisata religi di kabupaten Jepara. Apalagi letaknya bisa dijangkau dari berbagai arah (Kudus, Demak maupun Semarang). Setelah berhenti dipertigaan Purwogondo lalu kurang lebih ditempuh 500 meter ke arah desa Sendang sampailah di tempat tujuan.

Oleh karena itu, pemerintah kabupaten perlu mengagendakan beberapa hal diantaranya menjadikannya salah satu tujuan wisata. Artinya menjadikannya referensi wisata religi di kota ukir. Mudahnya melalui dinas terkait mempromosikan kawasan itu kepada publik. Selain itu, pemkab perlu bekerjasama dengan peneliti sejarah untuk membukukan kepahlawanan Adipati Tjitrosmo. Melalui buku itu nantinya masyarakat menjadi lebih tahu.

Tentu, bukan hanya tugas pemkab saja melainkan warga desa Sendang khususnya dan kecamatan Kalinyamatan pada umumnya dengan perlu nguri-nguri peninggalan beliau. Yakni dengan menggelar pelbagai ritual sosial-keagamaan yang akan menjadikan masjid dan makam itu makin ramai. Adipati Tjitrosomo memang telah tiada. Kini kita hanya bisa mengenang jasa-jasa baiknya. Meramaikan sisa-sisa peninggalannya dengan laku positif tentu sudah dikategorikan sebagai amal yang mulia. Begitu. (Syaiful Mustaqim)

(artikel ini kali pertama saya muat di blog pribadi syaifulmustaqim.blogspot.co.id 7 Maret 2010)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun