"Zaman dulu, kampus itu menara gading. Sekarang, kalau gak hati-hati, jadi menara Wi-Fi: sinyalnya kuat, tapi gak ada isinya."
Saya tahu kalimat itu agak pedas. Tapi tolong, sebelum marah, tarik napas dulu. Karena saya tidak sedang mencela kampus --- saya sedang menyentil sistem yang terlalu lama nyaman di masa lalu.
Kampus Bukan Lagi Pabrik Ijazah
Di tahun 2025--2030, ijazah bukan lagi tiket kerja, tapi hanya bukti bahwa Anda pernah belajar sesuatu. Dunia industri sekarang menilai portofolio, bukan sekadar nilai IPK.
Bahkan banyak perusahaan global mulai menulis di lowongan kerja:
"Gelar akademik tidak wajib. Skill lebih utama."
Dan lucunya, kampus malah panik.
"Kalau begitu, siapa yang mau kuliah?"
Tenang, jawab saya.
Masih banyak yang mau kuliah --- asal kampusnya relevan.
Masalahnya, terlalu banyak perguruan tinggi yang masih mengajar masa lalu untuk generasi masa depan.
Kampus Masa Depan Harus Jadi Ekosistem, Bukan Institusi Tertutup
Coba kita bayangkan kampus bukan sebagai "gedung akademik," tapi "pusat inovasi sosial."
Mahasiswa tidak cuma duduk mendengarkan dosen, tapi bekerja bareng industri, lembaga sosial, bahkan komunitas start-up.
Kalau sekarang kuliah di Fakultas Ekonomi masih sibuk nulis laporan pasar tahun lalu, maka kampus masa depan akan langsung bikin simulasi bisnis nyata dengan mitra industri di semester tiga.
Kalau Fakultas Pertanian masih belajar dari buku lama tentang cangkul dan pupuk, maka kampus baru sudah pakai drone dan AI soil scanner untuk proyek tanam berkelanjutan.
Itulah makna "ekosistem" --- bukan sekadar akademik, tapi sinergi pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan manusia.