Jika "empty growth" adalah diagnosanya, maka "kolaborasi" adalah resep penawarnya. Namun, kolaborasi bukanlah sekadar kata buzzword yang hangat di seminar-seminar. Kolaborasi yang dimaksud adalah upaya terstruktur dan massif untuk membangun apa yang saya sebut sebagai "Infrastruktur Kolaborasi"---sebuah ekosistem yang dengan sengaja dirancang untuk mempertemukan kekuatan kapital dan teknologi dari para pelopor digital dengan ketangguhan dan akar budaya dari pelaku industri tradisional. Tanpa ini, kita hanya akan membangun jalan tol yang hanya bisa dilalui oleh mobil balap, sambil membiarkan dokar dan becak tetap terpuruk di jalan tanah.
Fenomena yang kita hadapi sekarang adalah paradoks konektivitas. Indonesia telah menjadi salah satu negara dengan penetrasi internet tertinggi di dunia. Kabel serat optik dibentangkan, menara BTS didirikan hingga ke daerah terpencil, dan smartphone telah menjadi bagian dari tangan setiap remaja. Namun, konektivitas fisik ini belum berbanding lurus dengan konektivitas ekonomi. Akses ke dunia digital ada, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya secara produktif masih sangat timpang. Infrastruktur keras (hard infrastructure) telah dibangun, tetapi infrastruktur lunak (soft infrastructure)---seperti literasi digital, manajemen, dan akses ke permodalan---masih sangat tertinggal.
Dampaknya adalah terciptanya asymmetric dependency. Pelaku UMKN (Usaha Mikro, Kecil, dan Naker) yang masuk ke platform digital besar seringkali terjebak dalam ketergantungan yang tidak setara. Mereka harus tunduk pada algoritma yang tidak mereka pahami, terlibat dalam perang diskon yang menggerus margin keuntungan, dan bersaing dengan ribuan seller lain tanpa memiliki alat yang memadai. Platform tersebut sukses besar, sementara para pelaku usahanya hanya menjadi angka dalam statistik bulanan yang mudah digantikan. Ini bukan hubungan yang simbiosis mutualisme, melainkan hubungan yang parasitik jika tidak dikelola dengan baik.
Teori Resource-Based View (RBV) dalam strategi bisnis memberikan pencerahan. Keberlangsungan suatu usaha ditentukan oleh kemampuan mereka mengelola sumber daya yang unik dan sulit ditiru (valuable, rare, inimitable, and non-substitutable resources). Industri tradisional kita, seperti batik, tenun, kerajinan, dan kuliner lokal, sejatinya menyimpan unique resources yang luar biasa: cerita, kearifan lokal, dan craftsmanship yang autentik. Sayangnya, sumber daya unik ini seringkali tidak terkelola dengan baik dan tidak terkemas dalam "bahasa" yang dimengerti oleh ekonomi digital. Di sinilah celahnya.
Analisis terhadap kegagalan sebelumnya membawa kita pada tiga solusi yang lebih operasional. Pertama, membangun Digital On-Ramp untuk UMKN. Ini bukan sekadar pelatihan, tetapi program pendampingan kuratorial yang membantu UMKN mengidentifikasi keunikan produknya, menentukan pricing strategy yang sehat, bercerita yang menarik (storytelling), dan mengemasnya dengan estetika yang sesuai pasar modern. Kedua, mendorong terciptanya Platform Cooperatives. Alih-alih bergantung sepenuhnya pada platform global, mengapa kita tidak mendorong lahirnya platform-platform digital yang dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh koperasi atau asosiasi pengusaha kecil? Model kepemilikan bersama ini akan memastikan bahwa nilai ekonomi yang tercipta didistribusikan secara lebih adil dan sesuai dengan nilai kearifan lokal. Ketiga, pemerintah harus bertindak sebagai market maker, bukan hanya regulator. Pemerintah dapat memelopori pembuatan platform e-procurement untuk pengadaan barang dan jasa yang memprioritaskan produk UMKN yang telah tersertifikasi kurasi digital. Ini akan menciptakan pasar yang pasti dan berkelanjutan.
Argumentasi bahwa solusi ini terlalu idealis patut ditepis. Di berbagai belahan dunia, model platform cooperatives seperti Stocksy United (platform fotografi) dan Fairmondo (marketplace fair trade) telah membuktikan bahwa ekonomi digital yang lebih adil adalah mungkin. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk bereksperimen dan kebijakan fiskal yang mendukung, seperti tax holiday untuk platform yang benar-benar membangun rantai pasok dalam negeri dan memberdayakan UMKN.
Oleh karena itu, call for action kita adalah: Marilah kita geser paradigma pembangunan digital dari sekadar mengejar valuasi perusahaan menuju meningkatkan valuasi masyarakat. Setiap rupiah yang diinvestasikan dalam membangun "Infrastruktur Kolaborasi" ini adalah investasi untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berdaulat. Momentum Presidensi G20 dan visi Indonesia Emas 2045 jangan sampai hanya menjadi slogan. Saatnya kita buktikan bahwa Indonesia tidak hanya bisa menjadi pasar digital yang besar, tetapi juga menjadi pemain utama yang menuliskan aturan mainnya sendiri---aturan yang memanusiakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI