Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengatasi "Empty Growth"

31 Agustus 2025   07:50 Diperbarui: 31 Agustus 2025   07:50 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bayangkan sebuah balap lari seratus meter. Beberapa pelari terdepan menggunakan sepatu karbon canggih dan pakaian aerodinamis, sementara yang lain masih bertelanjang kaki dan terbebani ransel. Itulah metafora sempurna untuk paradoks pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Laju kita cepat, tercatat menyumbang ratusan triliun PDB, tetapi yang maju hanyalah segelintir pelaku. Sektor-sektor tradisional yang menjadi tulang punggung tenaga kerja justru semakin tertinggal, terengah-engah di debu para pemimpin pasar digital. Pertumbuhan ekonomi ada, tapi inklusivitasnya "kosong". Inilah yang saya sebut sebagai fenomena "Empty Growth".

Fenomena ini tak terelakkan. Kita disuguhi berita gembira tentang unicorn dan decacorn, valuasi startup yang membumbung tinggi, dan penetrasi internet yang kian masif. Namun, di sisi lain, data BPS menunjukkan bahwa produktivitas sektor usaha mikro dan kecil (UMK), yang menyerap 97% tenaga kerja, masih sangat rendah dan stagnan. Mereka seperti hidup dalam dua ekosistem ekonomi yang berbeda, bukan bagian dari rantai nilai yang sama. Ekonomi digital tumbuh pesat, tetapi ia lebih sering menjadi "menara gading" yang terpisah dari lautan industri tradisional di bawahnya.

Dampaknya adalah pengerdilan. Alih-alih menjadi jembatan kemakmuran, revolusi digital justru berpotensi memperlebar jurang ketimpangan. Pedagang bakso keliling kalah bersaing dengan ratusan layanan pesan-antar makanan. Penjahit kecil di kampung kewalahan menghadapi marketplace yang didominasi produk impor massal dengan harga murah. Ekonomi digital, dalam bentuknya yang sekarang, sering kali hanya memindahkan kegiatan ekonomi dari ruang fisik ke platform digital, bukan menciptakan nilai tambah yang benar-benar baru bagi sektor riil yang paling membutuhkan.

Lantas, di mana letak akar masalahnya? Teori ekonomi pembangunan klasik, seperti yang dicetuskan oleh Albert O. Hirschman tentang "linkages" (keterkaitan), dapat menjawabnya. Keberhasilan sebuah sektor unggulan tidak diukur dari kontribusi PDB-nya semata, melainkan dari kemampuannya menciptakan keterkaitan ke belakang (backward linkage)---seperti membeli bahan baku dari lokal---dan keterkaitan ke depan (forward linkage)---seperti menyediakan input bagi industri lain. Ekonomi digital kita saat ini lemah dalam menciptakan kedua linkage ini. Ia lebih banyak menjadi platform konsumsi daripada platform produksi. Linkage-nya justru banyak yang mengarah ke luar negeri, mulai dari platform teknologi, pembayaran, hingga produk yang dijual.

Analisis saya melihat setidaknya ada tiga kegagalan fundamental. Pertama, kegagalan infrastruktural. Digitalisasi membutuhkan infrastruktur dasar seperti listrik, internet stabil, dan logistik yang murah. Di banyak daerah tertinggal, ketiga hal ini masih menjadi barang mewah. Kedua, kegagalan kapabilitas. Pelaku UMK tidak memiliki kapasitas untuk naik kelas secara digital. Mereka butuh lebih dari sekadar pelatihan membuat akun Instagram; mereka butuh pendampingan manajemen, pemasaran, keuangan, dan yang terpenting, literasi data. Ketiga, kegagalan regulasi. Regulasi kita sering tumpul dalam mendorong linkage yang dalam. Bagaimana mungkin platform digital didorong untuk memprioritaskan produk lokal? Apakah ada insentif bagi startup yang benar-benar membangun rantai pasok dari desa?

Solusinya tidak terletak pada menghentikan laju digitalisasi, melainkan pada mendesain ulang arahnya. Kita perlu beralih dari ekonomi digital yang berorientasi konsumsi (consumer-oriented digital economy) menuju ekonomi digital yang berorientasi produksi (producer-oriented digital economy). Ini dapat diwujudkan melalui beberapa langkah konkret. Pertama, kebijakan "affirmative action digital" yang memaksa atau memberi insentif besar bagi platform e-commerce untuk mempromosikan dan mengkurasi produk-produk lokal unggulan dari daerah tertinggal. Kedua, membangun digital hub di setiap kecamatan yang tidak hanya menyediakan WiFi gratis, tetapi juga jadi pusat pelatihan dan pendampingan berkelanjutan oleh ahli. Ketiga, mendorong kolaborasi segitiga antara pemerintah, platform digital, dan akademisi untuk menciptakan aplikasi-aplikasi spesifik yang memecah masalah riil di sektor pertanian, perikanan, dan kerajinan.

Argumentasi bahwa pasar akan mengatur dirinya sendiri (laissez-faire) dalam konteks ini adalah naif. Ketimpangan adalah bentuk dari market failure. Di sinilah peran negara menjadi krusial, bukan sebagai regulator yang kaku, tetapi sebagai fasilitator, katalis, dan bahkan sebagai investor pembuka jalan yang berani. Kita perlu kebijakan yang tidak hanya smart tetapi juga heart---berpihak pada yang tertinggal.

Oleh karena itu, call for action-nya adalah ini: Momentum digitalisasi tidak boleh dibiarkan menguap menjadi "empty growth". Ia harus diarahkan menjadi pisau bedah untuk memutus mata rantai ketertinggalan. Mari kita ukur kesuksesan ekonomi digital bukan dari jumlah unicorn-nya, tetapi dari berapa banyak tukang las, petani bawang, dan pengrajin tenun yang naik kelas berkat teknologi. Saatnya membangun ekonomi digital yang tidak hanya cepat, tetapi juga berperasaan; yang tidak hanya menghubungkan kita ke pasar global, tetapi juga menguatkan akar ekonomi kita yang paling lokal. Bukankah itu arti pembangunan yang sesungguhnya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun