Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang mantan mahasiswa yang kini bekerja di sektor swasta. Dengan bangga, ia menceritakan bahwa dirinya sedang menjalani zero waste lifestyle---gaya hidup tanpa sampah. Ia membawa botol minum sendiri, menolak sedotan plastik, dan bahkan membuat sabun sendiri dari minyak bekas. Sambil tersenyum, ia bertanya kepada saya, "Pak, menurut Bapak, ini gaya hidup mahal atau hemat?"
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi mengandung kompleksitas ekonomi, sosial, bahkan kultural. Sebagai seorang ekonom yang telah lama meneliti hubungan antara konsumsi rumah tangga dan keberlanjutan, saya mencoba melihat fenomena zero waste bukan sekadar sebagai tren, tetapi sebagai refleksi dari cara kita memaknai kemajuan.
Pada pandangan pertama, gaya hidup nol sampah memang tampak eksklusif. Harga produk ramah lingkungan sering lebih mahal dibanding versi massalnya. Sabun batang organik, kantong belanja dari kanvas, hingga pembalut kain, semuanya tidak murah. Belum lagi waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memilah sampah, membuat kompos, atau mencari toko isi ulang. Bagi sebagian besar masyarakat kelas pekerja yang hidup dari gaji ke gaji, hal-hal ini bisa terasa sebagai kemewahan yang tidak terjangkau.
Namun, mari kita telaah lebih dalam. Sumber utama pengeluaran rumah tangga modern sebenarnya bukan pada barang yang dibeli, melainkan pada frekuensi dan impuls konsumsi. Gaya hidup nol sampah pada dasarnya memaksa kita untuk berhenti membeli apa yang tidak dibutuhkan. Ini adalah slow living dalam arti yang paling ekonomis: lebih sedikit membeli, lebih lama menggunakan, dan lebih bertanggung jawab terhadap limbah yang kita hasilkan.
Kita ambil contoh sederhana: pembelian air minum dalam kemasan. Di kota besar, satu orang bisa menghabiskan puluhan ribu rupiah per minggu hanya untuk air botolan. Bandingkan dengan membawa botol isi ulang dari rumah. Demikian pula dengan kantong belanja. Dalam satu tahun, seseorang bisa menggunakan ratusan kantong plastik sekali pakai, yang kemudian menjadi sampah sulit terurai. Mengganti dengan satu tas kanvas bisa menghemat uang dan sampah sekaligus.
Dalam perspektif ekonomi mikro, gaya hidup zero waste sebenarnya sejalan dengan prinsip efisiensi alokatif---di mana sumber daya digunakan secara optimal untuk menghasilkan manfaat maksimum. Kita mengurangi pemborosan, menunda kebutuhan, dan belajar hidup dengan lebih sedikit. Ini bukan kemiskinan, melainkan kesadaran konsumsi.
Namun tentu, seperti semua ide bagus, pelaksanaannya bergantung pada konteks. Di kota-kota besar dengan akses terhadap bulk store atau pasar organik, zero waste menjadi lebih mudah diterapkan. Tapi di desa-desa terpencil, membeli tanpa kemasan masih sulit, karena sistem distribusi produk tidak mendukungnya. Maka, pertanyaan "mahal atau hemat" tidak bisa dijawab mutlak, melainkan harus mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur dan ekosistem sosial.
Di sisi lain, ada bias kelas yang perlu dikritisi. Tidak jarang gaya hidup nol sampah dipromosikan lewat media sosial dengan estetika yang sangat urban dan cenderung "Instagramable"---mason jar, pantry minimalis, dan label berbahasa asing. Ini menciptakan kesan bahwa zero waste adalah proyek gaya hidup mewah bagi kelas menengah atas yang punya waktu, akses, dan pengetahuan. Padahal, jika kita menengok ke masa lalu, praktik zero waste justru sudah lama menjadi bagian dari hidup masyarakat tradisional. Nenek moyang kita memakai daun pisang, membawa bakul ke pasar, dan tidak mengenal kata "kemasan sekali pakai". Jadi, zero waste bukan hal baru. Yang baru adalah bagaimana kita memaketkan ulang gaya hidup lama ini dengan wajah modern.
Pemerintah dan pelaku industri juga memegang peran penting. Tanpa dukungan regulasi, gaya hidup nol sampah akan terus menjadi upaya individual yang terisolasi. Kita butuh sistem insentif bagi produsen yang mendesain ulang produknya agar mudah didaur ulang atau digunakan kembali. Kita butuh kebijakan pajak untuk mendorong ekonomi sirkular, bukan hanya produksi massal. Dan yang paling penting, kita butuh pendidikan sejak dini---bahwa limbah bukanlah sesuatu yang hilang begitu saja saat dibuang, tapi bagian dari siklus yang akan kembali kepada kita dalam bentuk bencana lingkungan.
Sebagai penutup, saya ingin menjawab pertanyaan mahasiswa saya itu dengan cara yang lebih filosofis: Zero waste bukan soal mahal atau murah. Ia adalah cermin dari cara kita menghargai sumber daya, waktu, dan masa depan. Bagi mereka yang berpikir jangka pendek, mungkin ini terlihat merepotkan dan mahal. Tapi bagi mereka yang melihat ke depan---ke dunia yang semakin penuh limbah, udara kotor, dan laut tercemar---gaya hidup tanpa sampah adalah investasi. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang.
Dan seperti semua investasi, ia memang butuh pengorbanan di awal. Tapi percayalah, hasilnya jauh lebih berharga daripada sekadar tabungan uang---yakni tabungan planet yang masih layak huni.