Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Kenapa BUMN Kalah dari Swasta, Padahal...

17 Juli 2025   14:46 Diperbarui: 17 Juli 2025   14:46 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

BUMN sering dipersepsikan sebagai raksasa lamban---besar tubuhnya, tapi tak gesit geraknya. Di atas kertas, perusahaan-perusahaan milik negara ini memiliki modal yang melimpah, akses politik yang luas, dan pangsa pasar yang "terjamin". Tapi dalam kenyataannya, banyak BUMN justru kalah lincah dari perusahaan swasta, bahkan dalam sektor-sektor yang secara historis mereka dominasi. Pertanyaannya: kenapa?

Sebagai ekonom industri, saya memandang ini bukan semata masalah manajemen, tapi persoalan sistemik yang berkaitan dengan struktur birokrasi, insentif internal, dan peran negara dalam ekosistem bisnis. Jika kita ingin menjawab pertanyaan kenapa BUMN susah bersaing, kita harus berani masuk ke ruang-ruang yang sering dihindari: dari ruang rapat direksi hingga lorong kebijakan publik.

Pertama-tama, mari kita bicara soal insentif dan mentalitas kerja. Perusahaan swasta tumbuh dalam ekosistem yang keras: siapa cepat dia dapat, siapa lambat ditinggal. Ini menumbuhkan budaya efisiensi, orientasi hasil, dan keberanian mengambil risiko. Sementara itu, banyak BUMN masih bekerja dalam pola pikir administratif---lebih sibuk menghindari kesalahan daripada mencetak inovasi. Karena sistemnya didesain untuk menjaga kehati-hatian (dan terkadang, sekadar menjaga jabatan), maka yang muncul adalah manajemen yang reaktif, bukan proaktif.

Hal ini diperparah dengan birokrasi internal yang berlapis-lapis. Untuk mengambil keputusan strategis, banyak BUMN harus melewati meja kementerian, dewan pengawas, hingga aturan regulasi yang berubah-ubah. Di sisi lain, perusahaan swasta cukup rapat direksi dan hitungan ROI (return on investment) untuk meluncurkan inisiatif baru. Akibatnya, saat BUMN masih sibuk menunggu persetujuan, swasta sudah lebih dulu menangkap peluang dan mengeksekusinya.

Masalah berikutnya adalah tumpang tindih misi antara komersial dan sosial. Banyak BUMN ditugaskan untuk mengejar laba, tapi di saat bersamaan juga dibebani tanggung jawab pelayanan publik. Contohnya, maskapai BUMN diminta tetap membuka rute ke daerah yang merugi secara finansial. Perusahaan listrik negara diminta menjaga tarif tetap rendah meskipun harga energi global melambung. Di atas kertas, ini adalah amanat mulia. Tapi dalam praktiknya, konflik peran semacam ini membuat BUMN kehilangan ketajaman bisnis. Sementara pesaing swasta bisa fokus murni pada profitabilitas, BUMN harus menari di dua panggung sekaligus---dan tidak jarang terpeleset di antaranya.

Selanjutnya adalah soal struktur organisasi dan kompetensi SDM. Tidak sedikit BUMN yang menjadikan jabatan sebagai bentuk "penghargaan politik"---bukan berdasarkan kompetensi manajerial atau rekam jejak inovasi. Ini menciptakan ketidaksesuaian antara tantangan bisnis dan kapasitas kepemimpinan. Bandingkan dengan perusahaan swasta yang lebih bebas mencari talenta terbaik, bahkan dari luar negeri, jika perlu. Tak heran bila banyak startup swasta justru tumbuh cepat karena dikelola oleh tim muda yang lentur, teknologis, dan berani mengambil langkah ekstrem---sesuatu yang hampir mustahil terjadi dalam kerangka kerja BUMN konvensional.

Namun, adil rasanya jika kita tidak hanya menyalahkan internal BUMN. Ada juga faktor eksternal berupa intervensi politik dan regulasi yang sering berubah-ubah. Dalam banyak kasus, BUMN menjadi korban tarik-menarik kebijakan antarkementerian, lobi-lobi elite, atau bahkan dinamika elektoral. Akibatnya, banyak keputusan bisnis yang mestinya teknokratis berubah menjadi keputusan politis. Sementara perusahaan swasta bisa dengan cepat merespons pasar, BUMN justru kerap tersandera kepentingan non-ekonomis.

Meski begitu, tentu tidak semua BUMN lemah bersaing. Ada contoh sukses seperti PT Telkom Indonesia yang berhasil bertransformasi menjadi pemain digital regional, atau PT Kereta Api Indonesia yang dalam satu dekade terakhir melakukan reformasi layanan cukup signifikan. Namun, pencapaian-pencapaian ini tetap tergolong pengecualian. Mayoritas BUMN masih tertinggal dalam hal digitalisasi, inovasi model bisnis, dan orientasi pelanggan---tiga kunci utama kompetisi di era sekarang.

Dari perspektif ekonomi industri, BUMN idealnya berperan sebagai katalisator---mendorong pembangunan sektor strategis, menjamin akses publik, dan menjadi jangkar stabilitas ekonomi. Namun dalam praktiknya, banyak BUMN terjebak dalam dilema ganda: terlalu besar untuk efisien, tapi terlalu politis untuk berinovasi. Tanpa pembaruan struktural dan keberanian untuk melepas ketergantungan pada intervensi negara, maka BUMN akan terus tertinggal, bahkan di sektor-sektor yang dulu pernah mereka monopoli.

Solusinya tentu tidak instan. Tapi arah pembenahan harus dimulai dari desain ulang peran: mana BUMN yang harus fokus pelayanan publik, dan mana yang bisa dilepas menjadi perusahaan komersial murni. Profesionalisasi SDM, pemangkasan birokrasi, serta pemberian ruang kebijakan yang stabil dan konsisten harus menjadi bagian dari strategi transformasi. Jika tidak, maka kita hanya akan mengulang pola lama: menyuntik dana segar ke perusahaan yang sama, hanya untuk menyaksikan performa yang stagnan di tahun-tahun berikutnya.

Kesimpulannya, sulitnya BUMN bersaing dengan swasta bukanlah soal tidak mampu, melainkan karena belum dibiarkan tumbuh dengan benar. Selama BUMN tetap menjadi alat politik, tempat parkir jabatan, dan pelaksana misi ganda yang tak terdefinisi, maka mustahil mereka bisa menandingi kecepatan, efisiensi, dan ketajaman swasta. Reformasi bukan lagi pilihan, tapi keniscayaan---jika kita masih ingin BUMN menjadi kebanggaan, bukan sekadar beban negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun