"Pertalite kita ibkatakan geprek: Minyak dunia melonjak pedas, tapi harga di SPBU tetap 'tidak nampol'! Ini keajaiban atau bom waktu?"
Selamat pagi para pengamat kebijakan! Pagi ini sambil mengamati antrean SPBU dari teras rumah, saya teringat keluh kesah sopir angkot kemarin: "Prof, minyak dunia naik terus, tapi Pertalite diam saja. Ajaib ya?" Sebagai ekonom industri yang 30 tahun meneliti kebijakan energi, izinkan saya membedah teka-teki ini dengan pisau analisis yang tajam.
Fakta yang Menggelitik Akal Sehat
Berdasarkan data Kementerian ESDM per Juni 2024:
- Harga minyak mentah dunia (Brent) : $85/barel (+32% YoY)
- Biaya produksi Pertalite : Rp10.200/liter
- Harga jual eceran : Rp10.000/liter
Defisit Rp200/liter! Artinya, setiap liter Pertalite yang kita beli, negara menanggung subsidi senilai segelas kopi tubruk. Jika konsumsi harian mencapai 20 juta liter, kerugian negara Rp4 miliar per hari!
Tiga Alasan Tersembunyi di Balik Harga Statis
- Subsidi Energi: Bantalan Sosial Ekonomi
Pemerintah mengalokasikan Rp149,4 triliun untuk subsidi energi di APBN 2024. Ini bukan kebijakan teknis, melainkan strategi mitigasi inflasi. Menurut kajian Bank Indonesia, kenaikan 10% harga BBM akan mendorong inflasi 0,8%. Di tengah gejolak pangan, Pertalite menjadi "benteng terakhir" stabilitas harga. - Politik Harga: Simpul Elektoral
Riset LIPI (2023) menunjukkan 72% masyarakat menolak kenaikan BBM meski memahami beban subsidi. Dalam perspektif political economy, harga Pertalite adalah variabel sensitif yang mempengaruhi elektabilitas. "Lebih baik subsidi membengkat daripada rakyat demo," ujar seorang birokrat di lobi DPR pekan lalu. - Cadangan Minyak Domestik: Kartu As
Produksi Kilang Cilacap dan Balikpapan mampu memenuhi 70% kebutuhan Pertalite nasional. Dengan sistem single price, Pertamina memangkas margin distribusi daerah terpencil. "Kami jual Rp10.000/liter di Papua meski biaya logistik Rp2.500/liter tambahan," jelas Direktur Pemasaran Pertamina.
Dampak Terselubung yang Patut Diwaspadai
Kunjungan saya ke bengkel di Cikarang pekan lalu membuka mata:
- Distorsi Konsumsi: Pemilik truk enggan ganti ke solar bersubsidi karena selisih harga tipis
- Pemborosan Energi: Konsumsi BBM transportasi tumbuh 5,2% (melebihi pertumbuhan ekonomi 5,02%)
- Dana Terampas: Anggaran pendidikan terpangkas Rp8 triliun untuk menutup subsidi
"Demi Pertalite murah, anak saya di SD negeri harus patungan beli proyektor," protes seorang guru di Garut.
Pelajaran dari Negeri Tetangga: Berani Pahit Sebelum Manis
Malaysia menaikkan harga RON95 40% dalam 3 tahun terakhir. Hasilnya:
- Konsumsi BBM turun 15%
- Penerimaan negara naik RM12 miliar
- Dana dialihkan ke transportasi umum (MRT Kuala Lumpur)