7 Indikator Keberhasilan Industri Sirkular: Kunci Ukur yang Sering Dilewatkan
Kalau bicara ekonomi sirkular, seringkali kita terjebak dalam euforia konsep "zero waste" atau "daur ulang". Tapi, bagaimana kita tahu apakah industri sirkular benar-benar berhasil? Apakah cukup dengan melihat tumpukan sampah yang berkurang? Atau ada indikator lain yang lebih subtil?
Pertanyaan ini penting, karena tanpa parameter yang jelas, ekonomi sirkular bisa jadi sekadar jargon hijau (greenwashing) atau proyek setengah hati. Seperti kata pakar ekonomi ekologi, Kate Raworth, "Circular economy isn't just about recycling---it's about redesigning systems." Nah, lalu bagaimana kita mengukur keberhasilan "redesain sistem" ini?
Indikator 1: Tingkat Pemakaian Material Sekunder
Bayangkan industri tekstil yang menggunakan 30% serat daur ulang dari pakaian bekas, atau pabrik baterai yang memanfaatkan 50% lithium hasil urban mining. Angka persentase ini adalah indikator utama. Semakin tinggi penggunaan material sekunder (bahan daur ulang atau hasil pemulihan), semakin sukses industri tersebut dalam memutus rantai linear economy.
Contoh nyata: H&M melalui program Looop berhasil mengubah pakaian bekas menjadi kain baru, dengan 20% material daur ulang pada 2022. Meski belum ideal, angka ini menunjukkan progres nyata.
Indikator 2: Lifespan Extension Produk
Ekonomi sirkular bukan cuma soal daur ulang, tapi juga memperpanjang umur produk. Di sini, product lifespan (umur pakai) menjadi kunci. Misalnya, berapa tahun smartphone bertahan sebelum jadi sampah? Di Belanda, Fairphone merancang ponsel modular yang bisa di-upgrade hingga 5 tahun---bandingkan dengan rata-rata smartphone global yang diganti setiap 2 tahun.
Menurut studi European Environment Agency, memperpanjang umur elektronik 1 tahun saja bisa mengurangi emisi karbon setara dengan menghapus 2 juta mobil dari jalanan.
Indikator 3: Intensitas Energi Terbarukan
Industri sirkular tak akan genuine jika masih bergantung pada energi fosil. Indikator ini mengukur persentase energi terbarukan dalam proses produksi. Apple, misalnya, kini menggunakan 100% energi terbarukan di seluruh operasionalnya. Sementara di Indonesia, pabrik semen PT Solusi Bangun Indonesia mulai memanfaatkan biomassa sebagai pengganti batubara.