Di dunia bisnis, krisis ekonomni 1998 memang memicu ambruknya banyak konglomerat terutama keturunan etnis China Tionghoa karena menggunakan bank sendiri untuk mendanai proyek bisnis dengan rentabilitas rendah.
Sedangkan menurut catatan di Bursa Efek setelah krisis Moneter 1997-1998, kekuatan ekonomi konglomerat keturunan China Tionghoa rupanya tidak serta merta meredup. Hingga saat ini tampaknya penguasaan bisnis konglomnerat keturunan etnis China Tionghoa masih kuat.
Sesungguhnya yang paling terpukul langsung akibat krisis moneter Asia adalah perekonomian nasional yang begitu rapuhnya karena di gerogoti oleh bisnis para pejabat dan pengurus partainya. “Wait and see” adalah satu-satunya sikap yang di anggap lebih bijaksana untuk merespons kampanye pebaikan ekonomi di pemerintahan orde Reformasi yang silih berganti ini.
Pelaku ekonomi etnis China Tionghoa sesungguhnya masih menunggu langkah-langkah konkret pemerintah dalam memperbaiki situasi perekonomian dan usaha nasional. Namun demikian bisnis harus berjalan terus. Dalam situasi negara yang di warnai oleh berbagai bentuk kampanye anti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ini pelaku ekonomi etnis China Tionghoa tampaknya menjadi lebih terfokus dan bahkan cukup merasa aman memilih berbasis di sektor hilir denagn tingkat resiko yang kecil namun masih dapat menguntungkan.
****
Dilasir Oleh : Syaifud Adidharta (edisi : 2) - Artikel dikaji dan disari dari berbagai sumber terkait (dbs).
****
Ikuti Artikel lain Klik >> : Syaifud Adidharta (edisi : 1)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI