Mohon tunggu...
Sahruel Gymnastiar
Sahruel Gymnastiar Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya mendedikasikan diri untuk hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pembaruan Hukum Islam di Era Kontemporer: Menjaga Kesucian Syariat, Merespons Tantangan Zaman

16 Mei 2025   14:02 Diperbarui: 16 Mei 2025   14:02 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pembaruan Hukum Islam di Era Kontemporer: Menjaga Kesucian Syariat, Merespons Tantangan Zaman

Hukum Islam atau fiqh merupakan hasil dari proses panjang ijtihad para ulama dalam memahami dan menerjemahkan nilai-nilai syariat yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam sejarahnya, fiqh tidak pernah benar-benar statis. Ia senantiasa berkembang mengikuti dinamika zaman. Namun di era modern ini, tantangan terhadap hukum Islam datang dalam bentuk yang lebih kompleks: globalisasi, sekularisasi, revolusi digital, kesetaraan gender, pluralitas hukum, dan berbagai perubahan sosial yang sangat cepat. Di tengah arus ini, muncul kebutuhan mendesak untuk melakukan pembaruan hukum Islam agar tetap relevan dan aplikatif dalam kehidupan umat Muslim modern.

Mengapa Pembaruan Diperlukan?

Pertama, realitas sosial umat Islam saat ini sangat berbeda dengan konteks masa lalu di mana fiqh klasik dikembangkan. Masalah-masalah kontemporer seperti keuangan digital, hukum medis (seperti transplantasi organ, euthanasia, dan bayi tabung), perubahan iklim, bahkan eksplorasi luar angkasa tidak pernah dibayangkan oleh ulama-ulama klasik. Jika hukum Islam ingin tetap menjadi panduan hidup yang praktis, maka ia harus bersedia berdialog dengan zaman.

Kedua, masyarakat Muslim saat ini hidup di dunia yang plural dan demokratis, di mana nilai-nilai seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan kebebasan individu sangat dijunjung tinggi. Banyak generasi muda Muslim yang mempertanyakan relevansi hukum Islam dalam menjawab persoalan ini. Tanpa pembaruan, hukum Islam bisa dianggap sebagai sistem yang usang, tidak adil, atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Prinsip-Prinsip Pembaruan

Pembaruan hukum Islam tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ia harus tetap berpijak pada kerangka metodologis yang kuat. Di antaranya:

1. Maqashid al-Shariah (tujuan-tujuan syariat): Prinsip ini menekankan bahwa tujuan hukum Islam adalah menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan berorientasi pada maqashid, hukum Islam dapat ditafsirkan secara fungsional dan kontekstual.

2. Ijtihad Kontemporer: Diperlukan ijtihad kolektif oleh ulama, cendekiawan Muslim, bahkan ahli dari berbagai bidang (hukum, teknologi, kedokteran, ekonomi) agar hukum yang dihasilkan tidak hanya sahih secara agama tetapi juga tepat secara teknis dan sosial.

3. Reinterpretasi Teks: Teks-teks agama harus ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks turunnya ayat (asbabun nuzul) dan perkembangan zaman, bukan secara literal semata.

4. Fiqh Minoritas (Fiqh al-Aqalliyat): Konsep ini menjadi penting di era global, di mana banyak Muslim hidup sebagai minoritas di negara non-Muslim. Maka hukum Islam pun perlu beradaptasi dengan konteks sosial dan hukum setempat, selama tidak melanggar prinsip-prinsip dasar syariat.

Tantangan dan Kritik

Meski penting, pembaruan hukum Islam seringkali menuai kritik. Sebagian kalangan konservatif menganggapnya sebagai bentuk liberalisasi atau sekularisasi hukum Islam. Mereka khawatir pembaruan akan mengaburkan batas halal dan haram, bahkan menggugat otoritas ulama tradisional.

Sebaliknya, kelompok progresif menilai bahwa stagnasi fiqh justru merugikan umat dan membuat Islam tertinggal jauh dibanding perkembangan zaman. Menurut mereka, banyak hukum dalam kitab-kitab klasik yang lahir dari konteks patriarkis dan feodalistik, yang sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan saat ini.

Di sinilah pentingnya pendekatan wasathiyah (moderat) dalam pembaruan hukum Islam: tidak terlalu ekstrem dalam mengubah segalanya, tapi juga tidak kaku dalam mempertahankan segala hal yang berasal dari masa lalu. Islam adalah agama yang diturunkan untuk seluruh umat manusia dan sepanjang masa. Maka ajarannya harus bisa menjawab kebutuhan zaman, tanpa kehilangan ruh keilahiannya.

Penutup: Hukum Islam yang Dinamis dan Membebaskan

Pembaruan hukum Islam adalah keniscayaan. Ia bukan bentuk penolakan terhadap tradisi, tapi justru wujud dari kesetiaan terhadap semangat ijtihad yang menjadi inti dalam khazanah keilmuan Islam. Islam yang hidup adalah Islam yang mampu berbicara dalam bahasa zaman. Maka pembaruan hukum Islam harus terus didorong, agar syariat tetap menjadi cahaya bagi kehidupan umat, bukan sekadar warisan teks yang membeku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun