Mohon tunggu...
Syahrul Efendi D
Syahrul Efendi D Mohon Tunggu... -

Pecinta fotografi dan seni suara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Ali Jaka (24)

26 Maret 2014   00:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:29 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prof. Jonky merasa perlu untuk bertemu dengan Kong Jawir. Ia sangat menghargai keberanian Kong Jawir dan pengikutnya melahirkan tindakan perlawanan terhadap PT. Pigland. Tidak banyak rakyat yang berani bertindak terorganisir seperti yang telah dilakukan oleh Kong Jawir. Apalagi tindakan perlawanan Kong Jawir dan pengikutnya, selain didorong oleh tuntutan keadilan atas kematian Pak Maih, murni inisiatif mandiri dari pihak Kong Jawir. Sama sekali tidak ada sponsor dari pihak-pihak tertentu yang mempunyai motif tersendiri yang hanya bermaksud mencari keuntungan material pribadi.

Supaya perlawanan Kong Jawir dan pengikutnya lebih terarah, sistematis dan strategis, Prof. Jonky ingin memberikan nasehat kepada Kong Jawir, terutama menyangkut analisa terhadap terjadinya peristiwa terbunuhnya Pak Maih. Tujuannya agar Kong Jawir dapat mengerti bahwa pembunuhan Pak Maih merupakan akibat yang tak dapat dihindarkan dari keadaan. Untuk itu, Prof. Jonky bermaksud menjelaskan bagaimana sebab akibat dari suatu peristiwa sekaligus menggambarkan susunan yang membentuk tatanan keadaan. Meskipun cukup rumit, ia harus jelaskan hal itu, agar gerakan protes Kong Jawir dapat lebih bermakna dan terarah.

Prof. Jonky ditemani oleh Ali Jaka dan Tjakra dari Majalah Petunjuk bertemu dengan Kong Jawir. “Assalamu’alaikum,” seru mereka saat berhenti di depan rumah Kong Jawir. Rumah itu bergaya arsitektur betawi. Halamannya luas. Berandanya terisi dengan meja dan kursi yang diperuntukkan untuk menerima tamu. Berandanya diberi tiang, berlantai papan, tapi ruangan dalam rumah itu berlantai keramik. Untuk naik ke atas beranda, tersedia tangga yang terbuat dari kayu.

Siang itu terasa sejuk berada di lingkungan rumah Kong Jawir. Itu karena rumah Kong Jawir dikelilingi banyak pohon rambutan. Kebetulan sekali, rambutan lagi matang-matangnya di pohon. Ali Jaka tampak tak tahan ingin mencicipi rambutan rafiah milik Kong Jawir. Tak berapa lama kemudian, muncullah Kong Jawir sambil menjawab, “Alaikum salam.”

Karena Ali Jaka sudah kenal dengan Kong Jawir, ia pun langsung memperkenalkan Prof. Jonky dan Tjakra kepada Kong Jawir.

“Ayo, masuk Pak. Silakan duduk.” Kong Jawir mengajak tamunya untuk duduk di beranda tamu. “Sebentar dulu, ya. Ane masuk dulu,” tambah Kong Jawir.

Mereka bertiga pun naik ke beranda dan mengambil tempat duduknya masing-masing. Pandangan Ali Jaka beredar ke pohon-pohon rambutan yang memerah dan menguning kehijau-hijauan. Tiba-tiba Kong Jawir sudah muncul sambil membawa sebakul rambutan. Dalam hati Ali Jaka berkata, wah jangan-jangan Kong Jawir tahu apa yang ada dalam benakku.

“Ada maksud apa nih, jauh-jauh datang ke sini?” kata Kong Jawir tanpa basa-basi.

“Cuma mau silaturrahmi, Kong. Kebetulan Profesor Jonky dan Tjakra pengen kenalan sama Kong Jawir,” jawab Ali Jaka.

“Oh, gitu. Memang Profesor kita tinggal dimane?”

“Kadang tinggal di Pondok Pinang sama keluarga. Tapi sering juga di Belanda. Nggak menetap pokoknya, Pak,” jawab Prof. Jonky.

“Memangnya kenape?” tanya Kong Jawir.

“Kebetulan sekarang lagi diminta ngajar di sana,” jawab Prof. Jonky.

“Nyang ini, tinggal dimana?” tanya Kong Jawir, sambil memalingkan wajah ke Tjakra.

“Saya tinggal di Pasar Minggu, Pak,” jawab Tjakra.

“Ngajar juga?”

“Wartawan, Pak.”

“Oh. Jadi, gimane? Apa yang bisa gua bantu?” tanya Kong Jawir dengan sikap gentlement. “Cicipin tuh rambutannya,” tambahnya.

“Kong, gimana kemarin kejadiannya saat bentrok dengan polisi itu?” tanya Tjakra memulai pembicaraan.

“Cuma lecet lima orang anak buah.”

“Apa yang membuat Kong Jawir terpaksa turun menuntut PT. Pigland?” tanya Tjakra lagi.

“Sebetulnya kita-kita ini orang cinta damai. Tapi ini sudah keterlaluan. Kelihatannya mereka meremehkan kita. Mentang-mentang kaya raya dan bisa beli pejabat, dia kira kita tidak akan berani bangkit. Apalagi mereka tidak menunjukkan rasa bersalah. Emangnya ini kampung mereka?” jawab Kong Jawir sambil menunjukkan rasa muaknya.

“Gimana keadaan Nurlela, Kong?” tanya Ali Jaka.

“Coba...sedikit pun mereka tidak menunjukkan simpati pada Nurlela. Eh malah mereka cuci tangan.”

“Sebetulnya keadaan begini punya akar sejarah yang panjang, Pak Jawir,” Prof. Jonky mulai ikut bicara. Maklum karena usia mereka sebaya, ia menyebutnya dengan Pak. “Unsur-unsur yang menyusun komposisi masyarakat Indonesia, tidak pernah benar-benar melebur. Beberapa unsur tersebut berusaha mendominasi unsur yang lain, akhirnya tak terhindarkan, timbullah konflik. Itu karena tidak seorang pun yang mau didominasi dan bersedia mengabaikan identitas dan eksistensinya. Korupsi yang menggejala itu pun dapat dirunut kepada teori ini,” ujar Prof. Jonky.

“Gimana tuh, gua belum jelas maksudnya,” kata Kong Jawir penasaran.

“Begini, Pak Jawir. Di masa Belanda, penjajah sengaja mempertahankan kekuasaannya dengan menciptakan situasi konflik permanen antara pribumi dengan non pribumi. Liciknya Belanda, mereka tidak mau secara langsung berhadap-hadapan dengan pribumi. Lalu mereka tempatkan orang Timur Asing seperti Cina dan Arab yang berhadapan secara harian dengan pribumi. Itulah sebabnya penjajah Belanda mengklasifikasi warga di masa itu di hadapan hukum secara bertingkat. Lapisan teratas, masyarakat Belanda dan Eropa, kemudian Timur Asing, lalu lapisan terbawah, pribumi yang meliputi Jawa, Betawi, Batak, Sunda, Bugis, Melayu, dan seterusnya. Cuma, dengan para bangsawan pribumi, Belanda membangun persekutuan. Kecuali kepada raja-raja yang melawan, Belanda dengan raja-raja sekutunya, menggempur dan membasmi mereka hingga ke akar-akarnya. Urusannya sebetulnya untuk mempertahankan kekuasaan, dan dengan kekuasaan itu Belanda dapat leluasa menjarah kekayaan alam Indonesia tanpa penentangan yang berarti. Kebijakan Belanda yang rasial tersebut alamiah dalam konteks penjajahan. Jadi tidak ada yang perlu disesalkan. Cuman, jika semangat dan cara Belanda itu terus dilanjutkan oleh pengganti Belanda, yaitu si kulit coklat dan hidung pesek dalam rangka menjarah kekayaan alam Indonesia, itu yang patut disesalkan,” urai Prof. Jonky.

Kong Jawir manggut-manggut. Ia dengan cepat mampu memahami penjelasan Prof. Jonky.

“Jadi sejak awal, Belanda memberikan keleluasaan kepada bangsa Cina dan Arab sebagai pedagang perantara, bahkan Belanda mendorongnya. Sementara orang-orang pribumi ditekan sehingga bakat niaganya pupus dan hanya mampu bercocok tanam dan sebagai orang gajian. Hal itu berlangsung ratusan tahun hingga membentuk tradisi dan cara hidup orang-orang pribumi. Saat kemerdekaan diraih, tradisi dan cara hidup itu tidak dengan sendirinya berubah. Bahkan terus berlangsung dan tidak ada upaya perombakan yang berarti. Sementara, orang-orang Cina dan Arab sudah terlanjur senang berada dalam posisi nyaman sebagai kelas yang menguasai perdagangan dan jaring-jaring pemasaran. Tentu saja mereka akan mempertahankan kondisi yang mereka nikmati itu. Itu wajar saja. Karena kedudukan Belanda sebagai tuan yang mengatur telah digantikan oleh pribumi, dalam hal ini kebanyakan berasal dari tentara angkatan darat, maka secara alamiah antara penguasa perdagangan bersekutu dengan penguasa peraturan. Penguasa peraturan merasa senang kekuasaannya semakin stabil akibat dukungan finansial dari penguasa perdagangan, sedangkan penguasa perdagangan merasa puas terjamin kelanggengan kekuasaan mereka di bidang perdagangan. Jadi, inilah yang menjadi akar terus berlangsungnya praktik korupsi. Jadi jangan heran Pak Jawir, dimana ada orang Cina kaya, di belakangnya ada baju doreng. Mengerti kan Pak Jawir yang saya maksud?” kata Prof. Jonky

“Hmmmmhh,” kata Kong Jawir menganggukkan kepala.

“Inilah Pak Jawir masalahnya. Di depan kita terdapat penghalang buatan yang mencegah terjadinya pembauran sejati antar penduduk. Di hadapan kita terbangun benteng-benteng sosial yang mengkotak-kotakkan warga. Sialnya kotak-kotak sosial itu dirawat karena menguntungkan sebagian orang, dalam hal ini para penguasa peraturan dan penguasa perdagangan. Yang rugi ialah rakyat kebanyakan yang tidak berkuasa. Jadi bagaimana pun, korupsi dan kongkalikong antara peguasa peraturan dan penguasa perdagangan akan selamanya terjadi, selama arena kekuasaan perdagangan dan peraturan sulit dijangkau oleh rakyat banyak dan hanya dikendalikan oleh segelintir pihak. Apa yang terjadi pada peristiwa terbunuhnya almarhum Pak Maih hanyalah merupakan sekian akibat dari persekongkolan para penguasa perdagamgan dan penguasa peraturan,” urai Prof. Jonky.

“Jadi bagaimana maksudnya, Pak Jonky?” tanya Kong Jawir.

“Tidak boleh ada lagi segelintir kelompok secara tertutup menguasai sektor perdagangan maupun sektor peraturan. Kedua sektor tersebut semudah mungkin harus dapat diakses oleh rakyat, terutama pribumi. Tidak boleh lagi ada bank yang hanya mengutamakan orang-orang Cina. Demikian juga, tidak boleh ada akmil, akpol dan APDN yang cuma mengutamakan pribumi. Tidak boleh ada akses yang tertutup  pada institusi pendidikan rekruitmen pejabat tersebut. Apalagi jika ada kelompok atau person yang berkuasa menentukan di situ. Kalau tidak, penduduk akan selamanya terbelah dimana masing-masing unsur penduduk menggunakan segala cara untuk mendominasi dan berkuasa atas unsur lainnya. Akhirnya apa Pak Jawir? Yang timbul ialah prasangka dan sikap ekslusif sebagai cara untuk mempertahankan eksistensi masing-masing. Dan ini mudah sekali meledak menjadi kerusuhan,” jelas Prof. Jonky.

“Jadi, akhirnya karena pribumi menguasai peraturan, maka orang Cina pun sekuat tenaga berkuasa di bidang perdagangan. Supaya mereka punya taring. Bukan begitu Pak Jonky?” ujar Kong Jawir mengimbangi analisa Prof. Jonky dengan gayanya sendiri.

“Betul, Pak Jawir.”

“Kami tidak pernah benci sama orang Cina, Pak Jonky. Bahkan prasangka pun jarang terjadi antara kami dengan orang Cina. Cuman kalau kami diremehkan, oleh orang manapun, Jawa atau Batak, kami tidak terima. Apalagi kalau ditipu. Jangan karena kami diam dan manut, kami terus diinjak. Kami ini masih mewarisi sifat Pitung yang pemberani,” kata Kong Jawir dengan sikap gagah. “Kami tidak suka sama orang petentengan,” imbuhnya.

“Terkait kematian Pak Maih dan hubungannya dengan PT. Pigland, bagaimana Kong Jawir menilainya?” tanya Tjakra selidik.

“Itu tadi. Saya merasa mereka melecehkan. Petentengan tuh. Mentang-mentang punya harta dan merasa semua orang kayaknya bisa diatur sama uang. Eiit, nanti dulu. Kami ini tidak sebodoh itu. Kami masih bisa makan tanpa ada atau tidak ada mereka. Dan kami tidak semuanya dapat dibeli seperti Musdiono. Jadi, kami minta ganti rugi atas kematian Pak Maih. Nyawa diganti nyawa. Nggak ada kompromi. Kalau terbukti Soe Kiat yang perintahkan itu pembunuhan, nyawa dia harus menggantinya.” Kong Jawir mulai naik amarahnya. “Lu bisa bayangin. Tanah, tanah gua. Terus lu mau beli, tapi gua tolak. Hak gua dong. Terus lu nggak terima, lalu nyawa gua lu cabut. Jelas dong, nyawa lu gua bisa cabut juga,” tambah Kong Jawir.

Prof. Jonky menatap mata Kong Jawir dengan penuh pengertian. Terjadi vakum pembicaraan beberapa detik. Tapi bagaimana pun, sekarang Kong Jawir punya perspektif yang lebih luas terkait akar konflik antara almarhum Pak Maih dengan Soe Kiat dan Musdiono.

“Pak Jonky, ayo dong rambutannya dicoba,” sila Kong Jawir mencairkan suasana.

“Ya, Pak.” Prof. Jonky, Ali Jaka dan Tjakra menikmati buah rambutan yang yang disuguhkan oleh Kong Jawir.

Tak berapa lama kemudian, istri Kong Jawir datang sambil membawa hidangan untuk santap siang. Ikan gurame bakar yang besar, sayur asem, ikan asin, sambel terasi dan semur jengkol menutup seluruh meja. Makan siang yang penuh dengan gairah pun berlangsung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun