Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Rangga & Cinta", Sebuah Ziarah ke Masa Lalu

5 Oktober 2025   08:18 Diperbarui: 5 Oktober 2025   14:07 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Miles Pictures

Saya menonton Rangga & Cinta dengan perasaan yang aneh. Mungkin seperti seseorang yang datang ke reuni sekolah dan menemukan hampir semua orang masih sama, tapi juga tidak sama. Wajah-wajahnya mirip, kata-katanya diulang, hanya ada sedikit yang berbeda. Hal-hal yang dulu terasa ajaib kini seperti bayangan yang tak sepenuhnya hidup.

Film ini disebut sebagai remake, tapi lebih tepatnya seperti salinan dari kenangan. Hampir semua dialog dan adegan diambil dari film Ada Apa dengan Cinta?--film yang dulu bukan hanya dianggap sebagai kisah cinta dua remaja, tapi juga semacam napas generasi. Kini, di tahun 2025, kisah itu dihidupkan kembali dengan pencahayaan baru, warna yang lebih hangat, dan sentuhan musikal.

Di atas kertas, ini terdengar menarik: puisi berubah menjadi lagu, kenangan menjadi pementasan. Tapi di layar, hasilnya terasa seperti melangkah di dua dunia: satu penuh nostalgia, satu lagi berusaha modern.

Adegan-adegan awal seperti mengulang mimpi lama. Cinta masih menjadi gadis yang penuh percaya diri dan sedikit angkuh. Rangga masih misterius, sinis, penyendiri yang menulis puisi di sela-sela diamnya. Bedanya, sekarang mereka bernyanyi.

Ya, di film ini, ada momen-momen ketika kata-kata berhenti, lalu musik mengambil alih. Tidak terasa berlebihan, tapi cukup sering untuk membuat kita sadar bahwa ini bukan Ada Apa dengan Cinta? yang lagendaris itu, melainkan sesuatu yang lain. Lagu-lagunya tidak jelek, justru cukup indah. Ada keintiman yang hangat ketika Rangga menyanyi dengan suara yang sedikit serak, seperti seseorang yang menulis surat tapi tak sempat mengirimnya.

Di titik ini saya mulai merasa jauh. Seolah emosi yang dulu mengalir dengan senyap kini terlalu dipoles. Musik mengambil alih perasaan yang seharusnya dibiarkan diam. Dalam versi lama, keheningan antara Rangga dan Cinta adalah lagu itu sendiri. Di sini, hening itu digantikan oleh melodi.

Menyoal akting, ini jadi bagian yang sulit. Karakter Cinta memang bukan peran yang ringan. Ia bukan tokoh yang selalu menyenangkan: egonya besar, perasaannya labil, dan caranya mencintai sering kali menyakiti orang lain tanpa ia sadari. Tapi dulu, kita mencintainya karena Dian Sastro membuat Cinta terasa hidup. Ia keras, tapi juga lembut. Ia keliru, tapi jujur.

Leya, pemeran Cinta dalam versi baru ini, tampak berusaha keras. Tapi mungkin itu masalahnya: terlalu berusaha. Gesturnya, ekspresinya, bahkan intonasi suaranya terasa seperti menirukan. Bukannya menghadirkan Cinta baru, ia seperti menyalin bayangan lama yang sudah terlalu kuat di ingatan penonton. Ada keindahan yang tak bisa diulang, dan film ini seolah lupa pada fakta itu.

El Putra sebagai Rangga sedikit lebih beruntung. Ia tidak sepenuhnya menjadi Nicholas Saputra, meskipun bayangan Rangga yang diperankannya harus diakui, kuat sekali. Di sini, Putra memilih untuk lebih ringan, lebih terbuka, kadang tersenyum kecil di sela kalimatnya. Dan ketika ia bernyanyi, ada kejujuran yang sulit ditolak. Tidak sempurna, tapi hangat.

Beberapa perubahan kecil sebenarnya cukup menarik. Bar yang dulu menjadi tempat Cinta dan teman-temannya menonton musik kini berubah menjadi toko musik kecil; ruang yang lebih sederhana, tapi terasa lebih intim. Konser Pas Band dan Tere kini digantikan dengan penampilan grup baru bernama GFES. Dan ada tambahan kecil di akhir film: adegan singkat yang memperlihatkan Mamet dan Milly di masa depan.

Adegan itu sederhana, bahkan agak konyol, tapi justru cukup berarti. Karena sebentar saja, ia berhenti meniru, dan mulai bercerita sendiri. Saya berharap film ini lebih banyak mengambil risiko seperti itu, menambahkan sesuatu yang sungguh baru, bukan hanya memoles kenangan lama dengan musik dan pencahayaan lembut.

Tapi saya paham, mungkin memang itu tujuannya: nostalgia. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk mengingat. Ada banyak film yang dibuat dengan motif serupa; membangkitkan memori, menjual rasa rindu. Tapi di antara semua itu, Rangga & Cinta punya posisi yang unik, karena ia bukan hanya kenangan film, tapi kenangan masa remaja banyak orang.

Menonton film ini, mungkin akan membuat kamu merasa seperti menonton diri kamu yang dulu: duduk di ruang tamu, menunggu giliran meminjam VCD Ada Apa dengan Cinta? dari tetangga. Karena saya ingat bagaimana setiap dialog terasa seperti puisi yang ingin saya hafal. Bagaimana tatapan Rangga di perpustakaan membuat dunia terasa luas tapi juga sepi. Dan kini, ketika semua itu dihidupkan kembali dengan cara yang lebih modern, saya sadar bahwa yang saya rindukan bukan filmnya, tapi waktu itu sendiri.

Nostalgia memang begitu: ia menipu dengan lembut. Ia membuat kita percaya bahwa sesuatu yang lama bisa dihidupkan kembali, padahal yang berubah bukan hanya filmnya, tapi juga diri kita yang menontonnya.

Secara teknis, Rangga & Cinta dibuat dengan rapi. Tata cahaya lembut, kamera tenang, desain produksinya penuh warna pastel. Semua tampak manis, tapi mungkin terlalu manis. Tidak ada ketajaman emosional seperti film aslinya, tidak ada perasaan mentah dari cinta pertama yang belum tahu bagaimana menyakiti.

Film ini seperti sepasang kekasih yang berusaha menghidupkan kembali hubungan lama dengan cara yang salah. Dengan meniru masa lalu, bukan dengan mengenangnya secara jujur.

Namun di balik semua itu, saya tidak bisa sepenuhnya menolak film ini. Ada momen-momen kecil yang masih berhasil. Sebuah tatapan di tengah hujan. Sebait lagu yang terdengar seperti pengakuan. Sebuah dialog yang hampir sama tapi terasa sedikit lebih dewasa. Di detik-detik itu, film ini menyentuh sesuatu yang manusiawi: bahwa kita semua, pada dasarnya, ingin diberi kesempatan kedua untuk mencintai hal yang sama dengan cara berbeda.


Mungkin Rangga & Cinta tidak dimaksudkan untuk mengalahkan film aslinya. Mungkin ia hanya ingin berdiri di sampingnya, seperti seseorang yang datang membawa bunga ke makam masa lalu, semata-mata untuk berterima kasih.

Bagi penonton baru yang tidak tumbuh bersama Ada Apa dengan Cinta?, film ini bisa menjadi pintu yang menyenangkan. Sebuah kisah cinta ringan dengan lagu-lagu yang enak didengar dan visual yang hangat. Tapi bagi mereka yang masih menyimpan Rangga dan Cinta dalam ingatan lama, film ini terasa seperti menonton ulang mimpi yang sudah terlalu sering diputar. Indah, tapi tidak lagi menyala.

Akhirnya, saya keluar dari studio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara rindu dan letih. Antara ingin memutar ulang dan ingin melupakan. Seperti membaca puisi lama yang dulu saya tulis untuk seseorang yang sudah lama hilang. Kata-katanya masih sama, tapi maknanya tak lagi sama.

Rangga & Cinta bukan kegagalan. Ia hanya terlalu setia pada sesuatu yang seharusnya dibiarkan pergi. Ia adalah film tentang kenangan yang enggan mati, tentang cinta yang terus diulang karena manusia tidak pernah puas pada satu versi dari kebahagiaan.

Mungkin itu sebabnya, meski saya tahu film ini tidak sepenuhnya berhasil, saya tetap menontonnya sampai habis. Karena seperti cinta, kadang yang kita cari bukan kesempurnaan, tapi kesempatan untuk merasakan sesuatu. Sekali lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun