Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"100 Tula Para Kay Stella", Seratus Puisi untuk Sebuah Patah Hati yang Panjang

3 Oktober 2025   19:30 Diperbarui: 7 Oktober 2025   12:21 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk sebagian penonton, repetisi ini melelahkan. Tapi mungkin justru di situlah absurditas cinta bersemayam: bukankah orang yang mencintai dalam diam memang hidup dalam siklus yang tak berujung, menulis hal yang sama dalam seratus cara berbeda?

Film ini juga tidak memberi kelegaan. Tidak ada klimaks melodramatis, tidak ada janji yang terpenuhi. Ending-nya dibiarkan pahit, seolah berkata: "Inilah cinta, ia tidak peduli seberapa keras kamu menggenggamnya." Dalam hal ini, 100 Tula Para Kay Stella menolak menjadi dongeng romantis. Ia lebih dekat dengan catatan harian yang ditutup tiba-tiba, tanpa kata penutup, membuat pembaca menggigil karena menyadari betapa banyak hal dalam hidup yang hanya berhenti, bukan selesai.

Menonton film ini seperti membaca karya Cesare Pavese di malam yang terlalu tenang: sunyi, getir, dan penuh absurditas sehari-hari. Ketika Fidel menulis puisinya, kita seperti mendengar gema manusia yang tidak ingin dilupakan, meski tahu dirinya bukan pilihan. Ketika Stella tersenyum pada orang lain, kita seperti mengingat betapa dunia selalu condong ke arah yang bukan milik kita.

Ada kalimat Pavese yang bisa menggambarkan film ini: The only joy in the world is to begin. (Satu-satunya kebahagiaan di dunia ini adalah memulai). Fidel memulai dengan satu puisi, lalu terus menulis hingga seratus. Tetapi, sebagaimana hidup, yang dimulai tidak selalu berakhir dengan bahagia. 

Kekuatan film ini terletak pada kesederhanaan narasinya, yang justru melahirkan keintiman. Akting para pemain tidak pernah terasa berlebihan, mereka hadir sebagai manusia yang rapuh, bukan tokoh yang dibuat-buat. Dan yang paling mencolok, keberanian film ini menjadikan puisi bukan sekadar hiasan, melainkan poros utama yang memberi nyawa pada cerita. Bahkan ending yang pahit sekalipun terasa konsisten dengan roh film: ia tidak menghibur, tapi membiarkan luka tetap terbuka.

Namun di balik itu semua, ritme lambat yang repetitif bisa membuat penonton merasa terjebak dalam lingkaran yang sama, seakan menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Beberapa puisinya pun, bila dilepaskan dari konteks, jatuh pada klise yang mudah ditebak. Meski begitu, justru kelemahan inilah yang memperlihatkan absurditas cinta pertama: selalu berputar, selalu sama, namun entah bagaimana tetap menyakitkan.

Tetapi mungkin cinta memang tidak bisa diukur dengan "kelebihan" dan "kekurangan." Sama halnya dengan puisi Fidel, film ini hanya ingin berkata: lihatlah, beginilah rasanya menulis untuk seseorang yang tak pernah membaca.

Dan setelah layar gelap, yang tersisa bukan hanya seratus puisi Fidel, melainkan juga puisi yang tak pernah sempat kita tulis untuk orang yang pernah kita cintai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun