“Some days we are Poets, other days we are Poems.”
Menonton 100 Tula Para Kay Stella --atau 100 Puisi untuk Stella, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--tidak terasa seperti menonton sebuah film. Rasanya justru lebih dekat dengan membuka sebuah buku catatan tua yang penuh coretan: ada kata-kata yang digoreskan terburu-buru di pojok halaman, ada bait yang disesali, dan ada pengakuan yang tidak pernah sampai pada orang yang dituju.
Film rilisan tahun 2017 ini, dengan segala kesederhanaannya, tidak mengejar keagungan visual. Ia hanya berjalan dengan tenang, seperti seseorang yang duduk di kamar kos, menyalakan lampu seadanya, lalu mencoba menuliskan sesuatu yang bisa menyelamatkan hatinya dari kesepian.
Disutradarai oleh Jason Paul Laxamana, film ini mengisahkan pemuda bernama Fidel, seorang mahasiswa keperawatan, ia jatuh cinta pada Stella, gadis penyanyi kafe dengan suara serak dan wajah nan cantik jelita. Dari semester pertama sampai akhir kuliah, Fidel menulis seratus tula--puisi-puisi kecil--untuk Stella. Tapi setiap bait dan setiap halaman, hanya menjadi rentetan cara untuk menunda.
Fidel si pengecut itu tak lebih dari seseorang yang selalu berdiri di depan pintu, tapi tak pernah punya keberanian untuk mengetuk. Di antara dua insan muda itu ada pesta kecil, ada konser, dan ada tawa. Namun, selalu ada jarak yang tak bisa ditembus. Pada akhirnya, cinta yang begitu setia itu tidak menemukan rumahnya.
Kekuatan film ini bukan pada kebaruan cerita, melainkan pada cara ia membiarkan "yang tak terucapkan" berbicara lebih nyaring daripada percakapan. Di sepanjang film, puisi-puisi Fidel hadir sebagai monolog patah hati yang tak berkesudahan. Untaian puisi yang ditulis dengan sederhana, canggung, bahkan kadang berlebihan, seperti cinta pertama yang memang begitu sifatnya. Ada kejujuran getir yang membuatnya sulit untuk ditertawakan sekaligus sulit untuk tidak ikut tenggelam.
Akting JC Santos sebagai Fidel terasa organik; ia tidak pernah memaksa air mata, tapi setiap kebisuannya memantul lebih keras daripada teriakan. Bela Padilla sebagai Stella juga tidak pernah dibuat sebagai dewi yang tak tersentuh. Ia labil, penuh keraguan, dan terkadang terasa kejam karena ketidaksadarannya. Justru ketidaksempurnaan itu yang membuat Stella begitu manusiawi.
Ada momen dalam film ini ketika Fidel membaca puisinya: Kung kaya ko lang ipilit, matagal na kitang minahal. (Kalau saja aku bisa memaksa, sudah lama aku mencintaimu). Kalimat ini, bila dibaca sekilas, tampak sederhana. Namun di situlah inti film berdiam; tentang cinta yang hidup di dalam diri seseorang tanpa pernah benar-benar lahir. Tentang janin perasaan yang gagal menemukan udara.
Film yang berasal dari negara Filipina ini juga menarik karena keberaniannya menyajikan puisi, yang bukan hanya sebagai ornamen, tetapi sebagai tulang belakang narasi. Banyak film mencoba menyelipkan bait hanya untuk terlihat artistik, tetapi 100 Tula Para Kay Stella justru menjadikan puisi sebagai ruang untuk bernapas. Setiap bait adalah selokan kecil yang menampung banjir emosi Fidel. Kadang keruh, kadang jernih, tapi selalu mengalir.
Namun, ada kelemahan yang sulit diabaikan. Ritmenya kadang terasa terlalu menunggu. Ada bagian film yang seakan berputar-putar dalam lingkaran yang sama: Fidel menulis, Stella bercahaya, lalu jarak tetap tidak berubah.
Untuk sebagian penonton, repetisi ini melelahkan. Tapi mungkin justru di situlah absurditas cinta bersemayam: bukankah orang yang mencintai dalam diam memang hidup dalam siklus yang tak berujung, menulis hal yang sama dalam seratus cara berbeda?
Film ini juga tidak memberi kelegaan. Tidak ada klimaks melodramatis, tidak ada janji yang terpenuhi. Ending-nya dibiarkan pahit, seolah berkata: "Inilah cinta, ia tidak peduli seberapa keras kamu menggenggamnya." Dalam hal ini, 100 Tula Para Kay Stella menolak menjadi dongeng romantis. Ia lebih dekat dengan catatan harian yang ditutup tiba-tiba, tanpa kata penutup, membuat pembaca menggigil karena menyadari betapa banyak hal dalam hidup yang hanya berhenti, bukan selesai.
Menonton film ini seperti membaca karya Cesare Pavese di malam yang terlalu tenang: sunyi, getir, dan penuh absurditas sehari-hari. Ketika Fidel menulis puisinya, kita seperti mendengar gema manusia yang tidak ingin dilupakan, meski tahu dirinya bukan pilihan. Ketika Stella tersenyum pada orang lain, kita seperti mengingat betapa dunia selalu condong ke arah yang bukan milik kita.
Ada kalimat Pavese yang bisa menggambarkan film ini: The only joy in the world is to begin. (Satu-satunya kebahagiaan di dunia ini adalah memulai). Fidel memulai dengan satu puisi, lalu terus menulis hingga seratus. Tetapi, sebagaimana hidup, yang dimulai tidak selalu berakhir dengan bahagia.
Kekuatan film ini terletak pada kesederhanaan narasinya, yang justru melahirkan keintiman. Akting para pemain tidak pernah terasa berlebihan, mereka hadir sebagai manusia yang rapuh, bukan tokoh yang dibuat-buat. Dan yang paling mencolok, keberanian film ini menjadikan puisi bukan sekadar hiasan, melainkan poros utama yang memberi nyawa pada cerita. Bahkan ending yang pahit sekalipun terasa konsisten dengan roh film: ia tidak menghibur, tapi membiarkan luka tetap terbuka.
Namun di balik itu semua, ritme lambat yang repetitif bisa membuat penonton merasa terjebak dalam lingkaran yang sama, seakan menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Beberapa puisinya pun, bila dilepaskan dari konteks, jatuh pada klise yang mudah ditebak. Meski begitu, justru kelemahan inilah yang memperlihatkan absurditas cinta pertama: selalu berputar, selalu sama, namun entah bagaimana tetap menyakitkan.
Tetapi mungkin cinta memang tidak bisa diukur dengan "kelebihan" dan "kekurangan." Sama halnya dengan puisi Fidel, film ini hanya ingin berkata: lihatlah, beginilah rasanya menulis untuk seseorang yang tak pernah membaca.
Dan setelah layar gelap, yang tersisa bukan hanya seratus puisi Fidel, melainkan juga puisi yang tak pernah sempat kita tulis untuk orang yang pernah kita cintai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI